Pintu, Jendela, dan Hati

72 6 0
                                    

Sudah satu tahun berlalu sejak Angga pergi meninggalkanku. Kini, aku sudah mulai terbiasa melanjutkan hidupku sendiri. Memang sudah seharusnya begitu. Aku bukan lagi Sarah yang takut akan gelap dan kesendirian, tapi aku masih Sarah yang dengan setia menunggu langit sore menjadi merah-keunguan,  sampai akhirnya kembali gelap dengan sedikit cahaya bulan.

Aku sudah menjadi mahasiswi semester 3 di Jurusan Psikologi di salah satu Universitas favorit di Jakarta, dan sudah bisa menyetir mobil sendiri. Jadi, aku tidak perlu menunggu orang lain untuk menjemputku dan tidak membutuhkan tumpangan orang lain, walaupun sesekali ada seseorang yang menjemputku.

Aku masih aktif menulis puisi di blog. Hanya untuk mengisi hari-hariku. Dan saat ini sudah banyak pembaca yang menggemari puisi-puisiku. Aku senang.

***
Aku segera turun menghampiri pintu utama untuk membukakan pintu begitu bel rumah berbunyi. Itu pasti orang yang kutunggu sejak pagi tadi. Orang yang selalu menemaniku setahun belakangan ini.
"Terlambat."
"Iya, maaf, tadi dosennya agak lama jelasin materi hari ini," katanya sambil mengempaskan tubuhnya di sofa.
"Dward, mau minum apa?" tanyaku sambil membuka kulkas.
"Apa aja, Sar," katanya sambil memandang ke arahku dengan senyuman di wajahnya. "Lo yakin kelas lo batal nanti sore?"
"Yakin. Tadi gue udah cek email mahasiswa, dosennya pergi ke Jogja. Ini udah yang ketiga kalinya dia batalin kelas buat liburan," tukasku dengan nada sedikit kesal. Aku meletakan gelas berisi susu coklat.
Edward melanjutkan kuliahnya di universitas yang sama denganku dengan jurusan yang berbeda.
"Oh, yang waktu itu ngebatalin kelas di jam yang harusnya kelas udah dimulai kan?"
"Iya, nyebelin banget kan. Mana kelas pagi pula," gerutuku.
"Padahal lo udah rela-relain bangun pagi setelah ngerjain tugas sampai subuh," tambahya sambil meletakan gelas yang baru saja di minumnya.
"Lho, kok lo tau?"
"Ini udah yang ke...... " Edward menghitung. "ketiga kalinya lo cerita, Sar," jawab Edward santai.
"Edward, untuk menghargai persahabatan. Harusnya lo pura-pura nggak tau dong!" Kataku ketus.
"hahahahhaa, udah jangan marah gue traktir nanti di kafe langganan lo" rayu Edward.
Kafe langgananku... sebenarnya itu adalah kafe yang dulu aku dan Angga sering datangi. Edward tidak tahu. Biarlah tetap begitu.

"Emm... nggak mau ah. Gue laper, mau makanan berat."
"Oh, iya, ada restoran baru, Sar, deket kampus. Mau coba ke sana nggak? Rame sih, kayaknya enak."
"Mau," kataku antusias.
Sejak berada di satu universitas yang sama, hubungan kami memang semakin dekat. Awalnya, aku menjaga jarak dengan Edward, tetapi Edward selalu membantuku, yang membuat jarak yang ku bentangkan secara tak langsung terputus.

***

Saat itu, aku tidak sengaja menjatuhkan minumanku di kantin. Dengan sigap Edward memberikan minuman yang ia pegang, walaupun aku menolaknya. Tak sampai di situ, saat mobilku di derek ke bengkel dekat kampus, aku iseng mengupload video di sosial media mengenai mobilku yang di derek. Lima belas menit setelah itu, Edward sudah berada di bengkel dan mengajakku pulang bersamanya. Ada lagi, ketika aku demam pun, ia tak segan-segan datang ke rumahku pukul 12 malam demi mengambil tugasku yang harus dikumpulkan keesokan harinya.
Terkadang aku bertanya kenapa Edward melakukan semua ini? Padahal, aku merasa tidak pantas mendapat perlakuan seperti itu dari Edward.

***

"Halo ... Sar, mau ke pameran foto nggak? di Jakarta Pusat"
"Oh, pameran itu. Banyak yang ngomongin tuh, Dward. Katanya pamerannya bagus banget."
"Hmm... kesana yuk! Gue jemput ya."
"Asyik! Gue siap-siap dulu."
"Oke!" Katanya lalu menutup sambungan telpon.

***

"Halo Sar, gue udah di depan nih. Keluar dong" kata Edward melalui sambungan telpon.
"Hah? Udah di depan rumah gue?"
"Iya, ban gue kempes lagi."
"Hah?! Bentar, gue turun sekarang."
Aku berlari menuju pintu keluar menghampiri
Edward. Kulihat Edward tengah berjongkok mengamati rodanya.
"Gimana, Dward?"
"Gue mau ganti bannya nih. Boleh tolong ambilin dongkrak nggak, Sar?"
"Di mana?"
"Di belakang. Buka aja pintu belakangnya."
"Oh, oke." Aku langsung berjalan menuju pintu belakang mobil Edward dan terkejut saat membuka pintu belakang. "Edward?"
Edward menghampiriku dengan langkah pelan.
"Apa gue udah bisa sembuhin luka itu?"

Aku bergeming menatapnya tanpa ekspresi. Bunga dan balon yang berada di belakang mobil Edward membuatku bungkam. Kedua benda itu menjadi saksi keberanian yang sarat akan ketulusan Edward untukku. Air mataku mulai menggenang di pelupuk. "Dward." Aku menghela nafas. "Luka itu emang udah mulai pulih, tapi belum sepenuhnya."

"Boleh ijinin gue sembuhin sisa lukanya, Sar? "

Tanpa sadar, air mataku turun seiring dengan senyum yang mengembang di wajahku. "Gue nggak mau ada luka di dalam suatu hubungan. Gue takut suatu saat gue ngelukain lo, Dward. Rasanya nggak enak." 

"Kita nggak akan pernah tahu kalau kita nggak coba" tukas Edward.

"Nggak seharusnya lo kayak gini, Dward. Gue nggak pantas."

Ada rasa haru yang menjalar. Sudah lama aku tidak merasa seberharga ini di mata seseorang.
Edward meraih bunga dari dalam mobilnya, lalu menyodorkannya padaku. "Gua sayang Sar sama lo. "  Edward tersenyum. "Cuma lo Sar.. yang bikin gue nggak fokus kalau lo lagi sedih. Jadi gue harus bahagiain lo terus."

Perasaan yang aku miliki sekarang memang telah berubah, tetapi aku masih belum bisa mengartikan rasa ini. Rasa yang kurasakan saat bersama Edward.

Aku tersenyum. "Edward, sekarang perasaan gue emang udah berubah. Gue ngerasa lebih nyaman kalau kita lagi bareng, tapi gue belum bisa. Hubungan ini nggak akan berhasil, Dward, ini terlalu cepat." Aku mengembalikan bunga yang disodorkan Edward.
Edward bergeming.

Suasana hening cukup lama. Tapi belum ada satu dari kami yang meninggalkan tempat itu.

"Sar, kalau gitu. Ijinin gue nunggu sampai lo siap ya." kata Edward memecah keheningan.

Keheningan kembali menyelimuti kami. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Jujur, aku tidak ingin kehilangan Edward. Hanya itu yang membuatku tidak menolaknya secara lantang. Aku memberikan waktu untuk diriku sendiri, saat Edward menyatakan cintanya aku juga ingin memberikan kesempatan untuk diriku belajar mencintainya. 

"My Purple Goodbye"  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang