Kembali Bertemu

112 12 0
                                    

Mimpi itu membuatku terbangun dari tidur. Rasanya keringat bermunculan melalui pori-pori kulitku. Padahal ruangan ini ber-AC.

Hatiku mendadak tak tenang. Orang itu tiba-tiba berlari menjauhiku.

"Maaf." Hanya itu yang aku katakan saat berusaha mengejarnya. Aku berlari sampai nafasku tersenggal. Mataku terus menatapnya sampai akhirnya aku tak dapat mengejarnya lagi.

Debaran jantung yang tak beraturan membuat mataku tak terpejam. Aku tak bisa tidur.

Mimpi itu berhasil meluncurkan air mata untuk membasahi pipiku, aku rindu mama, aku rindu papa.

Aku memanggil Bi Sum, tetapi ia tak kunjung menjawab panggilanku. Aku meraih ponselku, lalu kulihat jam dinding di kamarku. Pukul 2 pagi. Pantas saja Bi Sum tidak menyahut, ia pasti masih terlelap dalam tidurnya. Sesaat kemudian, aku mencari sebuah nama dari ponselku didaftar kontak.

Angga tidak mengangkat telponku. Aku masih ingin menangis malam ini. Aku tidak tahu kenapa rasanya begitu sedih. Seperti sudah tidak bisa lagi kutahan. Aku hanya ingin menangis malam itu. Selama ini banyak perasaan yang ku pendam, aku rindu dengan kedua orang tua ku. Aku merindukan masa-masa kami bertiga selalu bersama. Aku selalu tidak menampakkannya kepada mereka. Sudah aku putuskan untuk mendukung mereka dan selalu bersikap senang di depan mereka. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk meringankan beban kedua orang tuaku.

Tapi rasanya sesak di dada ini sudah memuncak, sudah tidak dapat lagi berbohong kalau banyak juga yang ingin aku ungkapkan kepada Angga dan kepada mama papa ku yang sudah lama tidak menghabiskan waktu bersamaku. Dulu aku sering mendengar kalau rindu itu bisa menyesakan dada. Tapi aku tidak menyangka kalau itu bukan hanya kiasan semata. Terasa nyata saat ini dan membuatku tidak bisa lagi melanjutkan tidur.

Aku menarik napas dan menghelanya agar aku lebih tenang. Karena ini bukan hanya hidupku, sekuat apapun ledakan dalam hati kecilku semua hal itu lebih baik tetap ku simpan. Biarkan airmata ini mengalir untuk waktu-waktu ini. Agar aku bisa lebih tenang dan kembali bahagia. Tapi rasanya aku tidak ingin sendiri. Aku butuh mendengar suara orang lain selain suara hatiku. Aku kembali mengambil ponselku dan menelpon seseorang.

"Halo, Sar?" ujar seseorang di balik telepon.
"Edward?" tanyaku.
"Iya, ini Edward. Lo kenapa, Sar?" tanyanya cemas.
Tiba-tiba saja aku terisak.
"Sar?" tanya Edward lagi.
"Maaf, gue ganggu lo, Dward," lirihku.
"Iya, nggak apa-apa. Lo kenapa, Sar?"
Aku diam.
"Masih bisa tidur lagi?"
"Nggak bisa." Aku menggeleng kepalaku, walaupun Edward tak bisa melihatnya.
"Gue temenin sampai lo tidur deh. Emang lo mimpi apa?" tanya Edward.

Aku menceritakan apa yang aku alami dalam mimpi. Mimpi yang terasa seperti akumulasi ketakutanku akan kehilangan orang-orang terdekatku. Orang-orang yang aku sayangi.

***

Pukul 10 pagi aku terbangun. Mataku terasa berat sekali. Aku melihat sekeliling kamar, nampaknya ini bukan kamarku. Ah, ini kamar Mama dan Papa. Tetapi, kenapa aku ada di sini? Kenapa Bi Sum tidak membangunkanku? Padahal hari ini adalah hari sekolah.

"Bu, Dik Sarah sudah bangun," ujar Bi Sum yang mengintip dari celah pintu kamar.
"Kamu pusing nggak?" tanya Mama menghampiriku, lalu mengusap keningku. "Semalam kamu demam. Mama udah daftarin kamu ke rumah sakit dan jadwal pemeriksaannya nanti siang."
"Mama kapan sampai?"
"Tadi pagi. Mama dapat kabar dari Bi Sum kalau kamu demam. Jadi, Mama langsung ambil jadwal penerbangan pagi."

Aku memeluk Mama menyalurkan rasa rinduku padanya. Sudah lama aku tidak merasakan hangat pelukkannya. Tanpa aba-aba air mataku mengalir.

"Aku kangen Mama," kataku dengan suara bergetar.
"Maafin Mama sama Papa ya, maafin mama," ujar Mama seraya memelukku. Tangannya yang bebas membelai rambutku lembut. Aku benar-benar merindukannya.

"My Purple Goodbye"  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang