Jakarta 2015.
Aku bosan di sini. Rasanya, aku ingin kembali melihat Bandung.
***
Aku tengah berada di kafe yang dulu sering aku kunjungi bersama Angga. Sudah seharusnya aku membenci tempat ini. Semua itu sudah satu tahun berlalu. Menerima keadaan menjadi salah satu hal dewasa yang bisa ku jalankan. Atau mungkin sebenarnya ada hal yang belum bisa kuhilangkan.
Kubuka laptop putih yang kubawa dengan maksud untuk melanjutkan tugasku. Namun, ternyata membuka foto-foto lama lebih menarik sore ini.
Aku melirik jam tanganku. Sudah 30 menit aku menunggu. Seharusnya, sebentar lagi Edward datang untuk menemaniku. Taro Latte di atas meja dengan lukisan hati masih utuh tanpa sempat kusentuh.
"Hmm... Dward, aku udah tahu ini tangan kamu." gumamku begitu ada yang menutup kedua mataku dari belakang. Segera kututup laptopku agar ia tak melihat apa yang sedang aku lihat.
"Kenapa laptopnya kamu tutup?" tanyanya tanpa melepaskan tangannya dari mataku.
"Dward, lepasin dulu tangan kamu di mata aku. Nanti diliatin orang malu nih." Kataku mencoba bergurau.
"Sampai sekarang aku masih belum bisa sembuhin luka itu ya, Sar?"
Kata-kata itu membuatku terpaku."Apa yang udah kita lewati selama ini masih nggak ada artinya ya, Sar?"
Hatiku bergetar mendengarnya. Aku berusaha melepaskan tangan Edward yang masih menutup mataku. "Dward..." ujarku pelan sambil menoleh ke arah laki-laki itu.
Matanya mulai memerah.
"Sar, boleh nggak kamu jawab aku?" Edward menarik nafas sesaat. "Apa aku masih jadi bayangan Angga?" tanyanya dengan nada tenang, tetapi aku menangkap sedikit kegetiran dalam suaranya.Aku menunduk tanpa menjawab pertanyaan Edward. Tiba-tiba lidahku kelu. Napasku sesak.
"Kapan ya aku bisa diposisi Angga?"
Kali ini kata-kata Edward berhasil membuat aku berbalik menatapnya. Ada air mata terbendung di sudut matanya. Air mata yang tak pernah kulihat selama ini. Sedalam itukah rasa sakit yang kugoreskan?"Dward...." Aku menarik nafasku dalam. "Mungkin kamu benar." Air mata mulai mengalir di pipiku. "Aku kira mudah untuk membohongi perasaan dan membalas cinta kamu. Ternyata, aku nggak bisa." Aku membereskan barang-barangku dari atas meja. Lebih baik aku pergi. Aku tidak ingin menyakiti Edward terlalu dalam. Ia tak pantas mendapat luka dari perbuatanku.
"Sar," panggil Edward menahanku. "Dari awal aku yang pura-pura nggak tahu kalau kamu masih mencintai dia."
"Edward... maafin aku..." desisku. Aku menarik nafas perlahan, lalu mengembuskannya. "Di sini aku yang paling bersalah. Harusnya aku tahu diri. Aku bodoh karena terlalu lama nggak sadar kalau aku masih mencintai dia."
"Sar..." lirihnya.
"Aku nggak pernah mau nyakitin kamu Dward. Tapi kalau aku tetap nggak tahu diri begini. Kamu pasti akan lebih sakit." Aku mulai terisak. Air mata yang terus menerus keluar membuatku semakin tak nyaman.
"Aku minta maaf..." ujarku menghentikan kata- kataku sesaat. "Dward aku sayang kamu.... Tapi, ternyata bukan di posisi dia." tangisku kembali pecah saat mengungkapkan apa yang selama ini bahkan tidak aku sadari. Dalam air mata itu masih ada rasa kecewa terhadap diriku yang masih memikirkan laki-laki itu. Orang yang membuatku menangis bermalam-malam."Maafin aku, Edward." Aku beranjak pergi meninggalkannya, tetapi Edward menahanku lebih dulu. Kami menatap ke arah yang berbeda.
"Sar.., kita harus cari Angga."
Dengan cepat aku mengalihkan pandanganku untuk menatapnya bingung."Maksud kamu apa?"
Ada keheningan menjalar."Awalnya, aku kira lebih baik berpura-pura nggak tahu daripada sakit karena tahu yang sebenarnya," katanya memecah keheningan.
"Cepat atau lambat, kamu dan aku akan menyadari hal yang sebenarnya."
Aku hanya terdiam."Aku pernah bilang kalau aku mau sembuhin luka itu. Mungkin ini hal terakhir yang bisa aku lakuin buat bantu kamu menyembuhkan luka itu, Sar."
"Dward, kamu tahu kan ini akan nyakitin kamu lebih dalam?" tanyaku.
"Akan semakin terasa dalam kalau aku nggak bisa sembuhin luka kamu, Sar."
Pipiku semakin basah. Hati malaikat mana yang dititipkan pada laki-laki di hadapanku sekarang? Aku benar-benar merasa tidak pantas.
"Dward, kamu nggak perlu ngelakuin semua ini."
"Aku harus ngelakuin ini, Sar. Ini hal terakhir yang bisa aku lakuin untuk kamu, walaupun aku tahu kalau cuma Angga yang bisa sembuhin luka itu. Tapi, aku mau pastiin kamu bisa sembuh dari luka itu, Sar."
"Untuk kali ini, biar aku sendiri yang cari Angga. Biarin aku yang selesain urusan masa lalu aku, Dward. Kamu udah terlalu baik."
"Sar, kamu nggak mau nyakitin aku lagi kan?"
Aku mengangguk.
"Kalau begitu, biarin aku ngelakuin ini buat kamu supaya hutang janji aku bisa lunas. Setelah ini aku nggak akan biarin kamu nyakitin aku lagi," ujar Edward final.
KAMU SEDANG MEMBACA
"My Purple Goodbye" [COMPLETED]
Romansa[CERITA TELAH SELESAI] Sarah Regina, adalah seorang pecinta senja seperti kebanyakan gadis diusianya. Dia juga memiliki senjanya sendiri yaitu Angga Bagas Sucipto. Laki-laki yang membuat semua waktunya terasa lebih berarti juga laki-laki yang membu...