Mulai Lagi

118 6 0
                                    

Hari ini aku dan teman-teman lain bersama-sama merayakan kelulusan kami. Karin meminjamkan rumahnya untuk kami merayakan kelulusan ini. Sebelumnya kami sudah mengumpulkan uang untuk membeli bahan barberque malam ini. Sudah dari tadi sore aku dan semuanya menyiapkan bahan masakan untuk di bakar.

Edward membantu menyiapkan api di tempat pembakaran. Matahari mulai redup dan sate-sate tusuk itu siap dibakar oleh Edward dan Edo. Karena lapar aku berdiri dekat Edward. Edward tersenyum ketika melihat tatapanku kepada sate-sate itu. Setelah ada yang matang dia memberikan satu untukku. Aku tersenyum ke arahnya dan langsung berterimakasih.

Aku menghampiri teman lainnya yang asyik bercerita. Aku senang karena sudah terbebas dari ujian dan rasa gugup menunggu hasil ujian.

Sekolahku dinyatakan 100% lulus. Kerja keras kami bersama membuahkan hasil manis. Setelah seusai makan kami saling bertukar cerita dan saling memberitahu dimana kami melanjutkan kuliah.

Karin dan aku tidak satu universitas. Walaupun berkawan dekat dia memiliki jalan sendiri untuk menjadi dokter. Kampusnya masih di Jakarta jadi tidak sulit untuk kami bertemu nantinya. Dia akan menjadi dokter hebat, Karin adalah wanita gigih yang pantang menyerah. Dia juga selalu peduli terhadap temannya. Pasti dia akan menjadi dokter paling cantik di kampusnya.

Beberapa waktu lalu, aku dinyatakan lolos di salah satu kampus swasta daerah Jakarta. Aku gagal masuk universitas negeri. Mama meyakinkan aku kalau tidak apa gagal. Kalau aku mau, aku boleh mengulang tahun depan. Aku tidak bisa menunggu itu. Universitas swasta yang ku pilih cukup terkenal di Jakarta. Jika nilaiku bagus aku pun bisa mengajukan beasiswa di fakultas psikologi yang ku ambil.

Ya, akhirnya aku mengambil fakultas itu. Sudah kupikirkan, jurusan psikologi adalah yang terbaik karena berhubungan juga dengan aku yang saat ini gemar menulis. Mungkin jurusan ini akan membantuku untuk bisa mengerti bagaimana pemikiran manusia dan mendalami perilakunya.

Setelah hari itu, aku tidak lagi menangisi Angga. Sudah banyak airmata yang terbuang sia-sia. Sudah banyak perasaan yang ku korbankan karena terlalu sedih. Aku lupa bukan hanya aku yang bisa bersedih. Mama dan Papa juga bisa bersedih melihat aku yang tidak lagi bersemangat, tidak lagi gembira dan tidak lagi memiliki waktu untuk sekedar tersenyum.

"Sar.." Panggil Karin yang berhasil memecah lamunanku. "Sini nyanyi.." kata Karin yang sedang duduk di sebelah Edo. Edo pintar memainkan gitar, karena ada dia suasana rumah Karin jadi begitu hidup dan kami bisa bernyanyi bersama. Aku menggeleng dan memberikan kode kalau aku ingin pergi kekamar kecil untuk menenangkan pikiran ku yang kembali teringat Angga. Rasanya begitu pedih setiap alam bawah sadarku kembali mengiring kepada ingatan itu. Ingatan yang sangat ingin aku lupakan. Rasa sakit tanpa luka yang masih membekas.

Aku menarik napas berat dan berdiri lalu aku pergi ke kamar mandi. Edward menatapku dan langsung aku beritahu kalau aku ingin ke kamar kecil.

Di kamar mandi aku tidak buang air kecil. Hanya ingin bercermin dan mencuci tangan. Tapi tidak disangka aku justru menghabiskan banyak waktu dengan hanya berdiam diri disini. Belakangan ini aku sering tidak sadar melamun. Pikiranku sering melayang tiba-tiba. Terkadang tidak ada yang aku pikirkan. Atau mungkin aku berpura-pura tidak memikirkan. Aku tidak tahu. Aku hanya merasa tidak bersalah, namun Angga tetap pergi meninggalkan aku. Saat kembali menatap bayanganku di cermin, aku melihat kalau mata ku merah dan bengkak. Aku tidak sadar kalau aku menangis lagi. Segera ku basuh wajahku agar tidak ada yang menyadarinya.

Saat aku berjalan ke teras rumah Karin. Aku melihat Edward yang langsung memperhatikanku. Dia memanggilku untuk kembali berkumpul. Mungkin sudah saatnya menyalakan kembang api bersama.

"Foto yuk!!" Kata Karin sambil menyiapkan kamera miliknya. Semua orang setuju dan kami mengatur posisi terbaik untuk berfoto bersama. Masa remaja ini sudah hampir berakhir. Kebersamaan dan kehangatan ini sudah sampai di ujungnya. Aku baru merasakan syukur saat menyadari banyaknya kebahagiaan yang telah kulalui. Jika aku tidak berpindah ke sekolah ini, mungkin aku tidak akan pernah sebahagia ini.

"My Purple Goodbye"  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang