7. Toko Kue

78 6 0
                                    

       "Besok adalah tugasmu, ya mengambil pesanan kue untuk ulang tahunnya Kimberly," Seok Jin mengingatkan Jimin agar besok tidak lupa mengambil pesanan kue.
       "Aku tidak lupa," jawab Jimin sembari menunggu Yoon Gi membuka kunci pintu begitu mereka kembali ke rumah setelah makan malam.
       Pintu sudah terbuka, Seok Jin bersama adik - adiknya pun masuk rumah lalu istirahat di kamar masing - masing.
                                     ***
       Langkah Jimin tergesa - gesa menuruni tangga dan menyusuri koridor kampus. Matahari hampir tenggelam, dan ia harus segera mengambil pesanan kue ulang tahun untuk Kimberly. Meskipun tidak ada yang tahu dimana keberadaan Kimberly saat ini. Dia masih hidup atau sudah meninggal. Wajahnya seperti apa, dan apa yang sedang dia lakukan sekarang. Tetap saja Bangthan family selalu merayakan ulang tahun Kimberly setiap tahunnya. Sebagai wujud kasih sayang kepada adik kecil mereka. Kue ulang tahun yang mereka pesan memang tidak mungkin disentuh atau bahkan dimakan oleh Kimberly, tapi sebagai pembuktian rasa sayang mereka bertujuh terhadap saudara mereka yang termuda. Kue bukanlah yang terpenting. Yang utama adalah doa dan harapan mereka.
       Mobil dikemudikan agak kencang. Jimin dikejar waktu, kalau pulang dengan tangan kosong, Seok Jin hyung pasti menghabisinya. Hari semakin gelap, dan perasaan cemas semakin menyelimuti hatinya.
       "Eommana," (astaga) keluh Jimin seraya menghentikan mobilnya diantara rentetan kendaraan lain yang panjang di depannya.
       Jimin membenturkan kepalanya pada setir mobil. Mau bagaimana lagi kalau sudah terjebak macet seperti ini. Pikirannya terus berputar putar. Ia harus temukan cara tercepat untuk sampai ke toko kue, lalu segera pulang.
       Sungguh tidak bisa ditoleransi. Dua jam! Bayangkan, terjebak macet dua jam. Jimin serasa jamuran diam di dalam mobil. Karena kehabisan kesabaran, akhirnya ia keluar dari mobil dan berniat menuju ke toko dengan berjalan kaki. Tapi, ada masalah lagi. Jimin tidak tahu alamat tokonya.

Lengkap sudah kesialanku hari ini

Ujarnya dalam hati sambil melirik secarik kertas di tangannya yang bertuliskan alamat toko yang hendak dituju.
       "Anyeong hasseoyo," sapa seorang gadis.
       Jimin menoleh ke arahnya.
       "Kau lagi?" ujarnya sambil mencoba tersenyum.
       "Sedang apa disini?" tanya gadis itu.
       "Tadinya aku mau ke toko kue, tapi terjebak macet dan aku tidak tahu letak tokonya," jawab Jimin ketika moodnya perlahan membaik setelah kembali bertemu dengan gadis yang mirip dengan adiknya. Lagi.
       "Chincaeyo? (benarkah?). Apa kau punya alamatnya?"
       "Eung," Jimin memberikan secarik kertas beralamatkan sebuah toko kue.
       "Aaa, toko ini. Aku tahu tempatnya."
       "Jeongmalyo? Bisa tunjukkan padaku?" wajah Jimin kian sumringah.
       "Mmm . . . Akan sulit jika aku jelaskan. Bagaimana jika aku mengantarmu saja ke toko itu. Tidak jauh dari sini," usul gadis itu.
       "Ne," Jimin mengangguk sambil berjalan mengikuti gadis itu.
       "Kau mau kemana malam malam begini?" tanya Jimin yang mencoba untuk memecah keheningan diantara keduanya.
       "Aku mau pulang ke rumah," jawab gadis itu singkat.
       "Kau baru pulang bekerja?" tanya Jimin lagi seraya terus mencoba menciptakan obrolan selama perjalanan.
       Gadis itu mengangguk.
       "Keureonde (ngomong ngomong), apa rumahmu jauh dari sini?"
       "Aniyo."
       Jimin mengangguk.
       "Ini dia tokonya," ujar gadis itu seraya menghentikan langkahnya di depan sebuah toko kue berdinding kaca.
       "Oh, ne" jawab Jimin sambil berjalan mendekati toko tersebut.
       Gadis itu sebenarnya hendak meninggalkan Jimin di toko tersebut, namun Jimin mencegahnya dengan cepat.
       "Chakhamman . . ."
       Gadis itu berhenti dan menoleh.
       "Aku mungkin akan lupa jalan pulang. Apa kau bisa menungguku dan menunjukkan jalan pulang?" pinta Jimin.
       "Agaessaemnida," jawab gadis itu disertai senyum.
       Jimin membalas senyumannya kemudian berlalu dan memasuki toko. Deretan aneka kue yang memenuhi setiap lemari kaca yang dipajang membuat Jimin sempat tergoda untuk menghabiskan uangnya di sini.
       "Ada yang bisa saya bantu?" ujar seorang pelayan toko. Sehingga membuat Jimin agak terkejut dan kemudian mengalihkan pandangannya dari kue kue yang menggugah selera.
       "Aku ingin mengambil kue yang dipesan oleh kakakku 2 hari yang lalu," jawab Jimin.
       "Tolong tunggu sebentar, ya," pelayan itu masuk dan keluar kembali bersama dengan seorang wanita paruh baya yang jika dilihat dari penampilannya, nampak seperti seorang bos.
       "Anda yang ingin mengambil pesanan?" tanyanya.
       "Ye," jawab Jimin singkat.
       "Kapan Anda memesan kuenya?"
       "Dua hari yang lalu."
       Wanita tersebut membolak balikkan buku catatan pesanan pelanggan dan berhenti di sebuah halaman.
       "Dua hari yang lalu ada seorang lelaki yang memesan kue ulang tahun dan mengatas namakan keluarga Bangthan. Apa kue ini yang Anda maksud?"
       "Ya, benar sekali."
       Wanita itu tersenyum dan mengambilkan sebuah kue ulang tahun dua susun dibalut krim putih dan bermacam macam hiasan lainnya dari dalam lemari es.
       "Gomawossimnida," ujar Jimin sambil menerima kue tersebut dan membungkukkan badan memberi hormat lalu meninggalkan toko.
       Senyum terukir di wajah Jimin begitu keluar, ia melihat gadis itu masih menunggunya. Gadis itu pun membalas senyuman Jimin dengan tak kalah manis.
       "Apa aku terlalu lama?" tanya Jimin.
       Gadis itu menggeleng tanpa meninggalkan senyumnya. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke tempat mobil Jimin terjebak. Sambil sesekali mengobrol ringan dengan gadis itu, hingga tak terasa mereka sampai di tempat.
       "Terima kasih banyak sudah bersedia mengantarku ke toko tadi," kata Jimin.
       "Sama sama."
       "Kalau dipikir pikir, kita sudah 3 kali berturut turut saling bertemu tanpa sengaja. Iya, kan?"
       Gadis itu tertawa kecil sambil mengangguk. Sejenak, Jimin kembali terkesima pada gadis itu.
       "Oh iya . . ." Jimin mengulurkan tangannya.
       "Jimin. Park Ji Min," lanjutnya sambil memperkenalkan diri.
       Gadis itu manggut sambil menerima uluran tangan Jimin.
       "Namamu?" Jimin penasaran karena gadis itu tidak langsung memperkenalkan namanya begitu mereka bersalaman.
       Sentuhan tangannya yang hangat membuat Jimin tidak ingin melepaskannya.
       "Kimberly. Kimberly Park," jawab gadis itu.
       Degh! Kimberly Park. Kimberly Park. Kimberly Park.
       Nama yang baru saja disebutkan oleh gadis itu bagai bergema hingga beberapa kali di telinga Jimin. Tidakkah ia salah dengar? Tangannya melemas. Matanya mulai berkaca kaca. Hati dan pikirannya mulai tidak karuan. Tatapannya kosong seketika. Tidak ada yang dapat dia lihat kecuali wajah Kimberly di depannya.
       "Oppa, sebaiknya aku pulang sekarang. Kau juga sudah dapatkan kuemu," ujar Kimberly yang tidak dijawab oleh Jimin. Melainkan Jimin hanya menatapnya.
       "Sampai jumpa, oppa," ucap Kim sambil berlalu meninggalkan Jimin yang mulai tertunduk lemas dan terurai air mata.
       Nalurinya meyakinkan hatinya bahwa dugaannya selama ini akan gadis itu memanglah benar. Hatinya sakit saat teringat adiknya harus bekerja di restoran untuk dapat membiayai sekolahnya. Miris. Beberapa kali Jimin menyeka air matanya. Namun, semakin ia mencoba maka air mata itu semakin mengalir deras sepanjang perjalanan pulang kerumah.
       Akhirnya ia memutuskan untuk menahan perasaan itu sekuat tenaga. Ia tidak boleh terlihat seperti ini di depan saudarannya. Lagipula belum dipastikan bahwa dia benar benar Kimberlynya keluarga Bangthan.

OUR HIDDEN FAMILY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang