29. Lemari Kaca

58 4 0
                                    

       Usai makan malam, semua orang meninggalkan ruang makan. Nam Joon melanjutkan pekerjaan mengecek dokumen shorum. Yoon Gi, Taehyung, dan Jungkook menonton televisi, sedangkan Ho Seok bermain ponsel sambil mendengarkan musik lewat earphone. Tersisa Seok Jin, Jimin, dan Kim yang masih bersantai seperti di pantai dalam ruang makan.
       Namun sejenak kemudian Seok Jin mulai bangkit lalu merapikan meja dan menyikirkan peralatan makan yang kotor untuk segera dicuci. Setelah semua terkumpul di westafel, Seok Jin mulai memakai celemek, kaos tangan dari karet agar tangannya tidak basah, lalu memutar keran dan menyabuni piring serta mangkuk satu persatu.
       "Biar aku saja," ujar Kim hendak meraih spons cuci piring dari tangan Seok Jin.
       "Aih, kwenchanae," jawab Seok Jin.
       "Gantian. Oppa sudah memasak, sekarang giliranku mencuci piring. Ayo berikan sponsnya," Kim justru merengek membuat Seok Jin tidak sampai hati.
       "Tapi kalau nanti ada yang pecah dan kau terluka, bagaimana?"
       "Jangan berlebihan. Tidak akan terjadi hal seperti itu. Lagipula aku selalu mencuci piring setiap pagi saat tinggal bersama Nenek."
       "Sekarang, kan kau tinggal di rumah kami bukan di rumah Nenek," sahut Jimin sedikit menggoda.
       "Sama saja!" Kim mulai berteriak.
       Seluruh kejadian hari ini baik di kantor maupun di rumah benar benar membuat Seok Jin sakit kepala. Karena tidak ingin terlibat cek cok dengan Kim, akhirnya Seok Jin mengalah dan memberikan celemeknya pada Kim. Dengan girangnya, Kim langsung memakai celemek tersebut dan mulai meremas spons.
       "Gunakan ini juga," Seok Jin menawarkan Kim untuk memakai kaus tangan.
       "Tidak perlu. Tanganku sudah terbiasa melakukan pekerjaan seperti ini," tolak Kim.
       "Adakah yang mungkin perlu oppa bantu?" Jimin tiba tiba menawarkan diri seraya menghampiri Kim.
       "Tolong lap piring dan mangkuk yang sudah bersih," jawabnya.
       "Keurae. Khajja," gumam Jimin sambil meraih sebuah lap.
       "Biar oppa yang bilas," Seok Jin ikut nimbrung di tengah tengah dengan alasan hendak membantu. Padahal aslinya ia sedikit cemburu karena Jimin dan Kim sangat dekat dan kompak dalam beberapa situasi.
      Rasanya menggemaskan melihat mereka yang bekerja sama meski hal sepele. Seok Jin merasa jadi lebih dekat dan mencoba mengerti sifat asli adik bungsunya. Satu demi satu piring dan mangkuk telah bersih, kering, dan tersusun rapi dalam rak. Tidak terasa pekerjaan telah selesai dengan cepat karena dikerjakan bersama sama.
       Mereka tersenyum puas atas hasil kerja sama mereka sehingga dapur dan ruang makan yang berada dalam satu ruangan akhirnya kembali bersih dan rapi. Seok Jin terlebih dahulu meninggalkan dapur, sedangkan Jimin dan Kim mengikutinya bersamaan.
       Nam Joon tampak sangat serius dengan laptopnya. Saat hendak melewatinya, Kim kembali teringat akan kejadian sore tadi saat Nam Joon bersikeras melarangnya ikut taekwondo. Oppa oppanya memang tidak ada lagi yang membahas masalah itu saat makan malam tadi. Tapi begitu melihat Nam Joon, Kim kembali merasa tidak nyaman.
       Jimin oppa sudah berjalan duluan menuju kamarnya. Katanya, mau menyelesaikan tugas kampus. Sedangkan Kim, menghampiri dan duduk di samping Nam Joon yang saat itu ada di sofa depan ruang kerja Seok Jin. Dilihatnya wajah Nam Joon dengan sendu sambil terdiam.
       "Oppa," ujarnya.
       Nam Joon meliriknya sekilas, lalu kembali fokus pada laptopnya.
       "Daega, chinchae mianhaeda," (aku sungguh minta maaf) lanjut Kim pelan.
       "Waegeuraeyo?" (Kenapa?) Nam Joon menatapnya.
       "Karena aku tidak bisa memahamimu. Yang terjadi hari ini, itu sangat buruk. Aku sangat menyukai olahraga taekwondo karena itu aku menekuninya selama 8 tahun. Aku sungguh tidak bermaksud membuatmu cemas," jelas Kim.
      "Hyung, magnae, kau, Ibu, mereka semua adalah duniaku. Kau pasti mengerti apa yang akan terjadi jika ada bagian dari dunia itu hilang. Seperti itulah aku tanpa Ibu saat ini. Kau adalah peninggalan Ibu yang paaaaling berharga. Oppa sangat takut jika terjadi sesuatu padamu. Oppa benar benar menyedihkan saat Ibu meninggalkan kami. Dan sekarang, jika sewaktu waktu kau . . . Ah, oppa mungkin sudah layaknya daun kering yang rapuh dan terombang ambing oleh angin dan badai yang bertiup jika oppa benar benar harus hidup tanpamu," jawab Nam Joon dengan wajah sendu.
        "Aku mohon padamu, tolong ijinkan aku latihan lagi. Oppa, aku sudah latihan 8 tahun. Aku berjanji akan menjaga diri. Oppa . . . " bujuk Kim sambil menggoyangkan lengan Nam Joon.
       "Pergi ke kamarmu dan belajarlah. Besok kau mungkin ada ujian. Kau harus dapatkan nilai bagus dan buat oppamu bangga," Nam Joon mengelus kepala Kim dengan wajah putus asa. Yang Nam Joon katakan bukanlah jawaban yang diharapkan Kim.
       "Kim, ayo kita susun medali, dan pialamu di lemari," Jungkook muncul tiba tiba dan mengajak Kim dengan semangat.
       "Pergilah. Rapikan medali medalimu dalam lemari," pinta Nam Joon.
       Kim terdiam dengan raut wajah kecewa. Akhirnya ia mematuhi Nam Joon dan mengekor pada Jungkook menuju ruang tamu. Disana sudah ada Jimin oppa kesayannya, Taehyung, Ho Seok, dan Seok Jin yang memilah dan memisahkan medali emas serta perak. Sedangkan Yoon Gi menonton TV tanpa ada niat membantu saudaranya.
       Sebuah lemari kaca besar berisi aneka medali penghargaan, piala, piagam, dan sertifikat yang bertuliskan nama 'Jeon Jungkook' tertata dengan apik. Foto foto Jungkook bersama hyung hyungnya saat ia berhasil memenangkan kompetisi. Mereka tampak bahagia dan bangga pada Jungkook.
       Kim mengamatinya beberapa saat. Sambil meratapi nasib mimpinya yang terhalang restu Nam Joon oppa. Melihat pose Jungkook yang memperlihatkan deretan giginya sambil menunjukkan medali yang melingkar di lehernya.
       "Sebentar lagi akan bertambah beberapa foto. Saat kau berhasil memenangkan kompetisi lagi. Lemari ini akan dipenuhi medali medali, dan foto foto kemenangan kita," ujar Jungkook.
       "Jangan khawatir soal Nam Joon," sahut Seok Jin.
       "Kami bisa mengatasinya," timpal Jimin.
       Tak lama, seluruh medali milik Kim akhirnya tersusun rapi dalam lemari kaca. Disandingkan dengan milik Jungkook. Kekompakan mereka yang sama sama berprestasi dalam bidang olahraga taekwondo membuat para hyung
bangga dan terenyuh. Jangan ditanya lagi, Seok Jin pasti sudah berkaca kaca.
       "Pasti menyenangkan bisa berlatih bersama Jungkook oppa," gumam Kim.
       "Kita akan coba jika ada kesempatan," jawab Jungkook.
       "Wah, sepertinya akan ada duel seru antar saudara atlet kita," goda Ho Seok.
       "Hentikan," tegur Seok Jin.
       "Kau teruslah berlatih. Jangan sia siakan 8 tahunmu hanya karena seorang Nam Joon. Kami mendukungmu, jadi teruslah menjadi juara. Ne," ujar Seok Jin menyemangati.
       Kim tersenyum lebar sambil mengangguk lalu memeluk Seok Jin.
       "Gomawo," jawabnya.
       "Aku juga mendukungmu, kenapa aku tidak dipeluk," protes Jimin.
       Kim tersadar lalu gantian memeluk Jimin.
       "Gomawoyo."
       "Eheem," Jungkook berdehem.
       "Ehee ehee eheem," Ho Seok berdehem lebih keras. Seolah memberi isyarat ingin dipeluk juga. (Ini keluarga isinya iri irian, cemburu cemburuan gitu, ya)
       Kim pun tak lupa memeluk Jungkook dan Ho Seok pula.
       "Jeongmal gomabda, oppa."
       Ho Seok mengacak acak rambut Kim. Namun Kim justru tersenyum seperti sedang dibelai. Padahal rambutnya berantakan.
       "Cukup tahu," Tae merasa tersisihkan melihat para hyungnya berpelukan mesra sedang dirinya dilupakan di sudut.
       Kim pun langsung menghambur kepelukan Tae dan mendekapnya sangat erat. Merasakan solidaritas antar saudara, dan dukungannya membuat Kim merasa lebih baik dan bersemangat untuk latihan lebih keras.
                                         ***

Recommended Song :
BTS - Go Go

OUR HIDDEN FAMILY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang