61. Hospitalized

46 3 0
                                    

       Malam sudah semakin larut saja. Tanpa dirasa, sudah 2 jam Kim juga oppa oppanya berdiri di depan pintu ruang rawat Jimin. Selama itu, Kim terus saja menangis sambil melihat Jimin dari celah pintu yang bagian kecilnya dibuat dari kaca. Sehingga ia bisa melihat Jimin dari celah itu.
       "Dia pasti baik baik saja," Jungkook mengelus pundak Kim.
       "Semua ini karena aku," tangisan Kim semakin menjadi. Tapi berusaha ia tahan dengam menutup wajahnya dengan kedua tangan.
       "Aku yang salah. Seharusnya aku tidak perlu pergi dari rumah," lanjutnya.
       "Hentikan. Dokter bilang, dia hanya kekurangan cairan. Dia pasti akan baik baik saja. Oke?" Taehyung juga berusaha menghibur Kim. Sambil memeluk dan mengelus puncak kepala si bungsu.
       "Ayo kita masuk dan jenguk dia," ajak Yoon Gi setelah 2 jam menunggu, karena dokter baru memperbolehkannya dijenguk. Dengan alasan, biarkan Jimin istirahat dengan tenang.
       "Ya ya, ayo masuk," Nam Joon mengiyakan.
       "Cepat cepat," sahut Seok Jin sambil berjalan mengekori Nam Joon. Sedangkan Kim di paling belakang bersama Taehyung, juga Jungkook.
       Jimin dengan wajah pucatnya terbaring lunglai di atas tempat tidur. Selang infus melekat di salah satu punggung tangannya. Kim melihat Jimin yang begitu buruk kondisinya, tidak tahu harus apa.
       "Oppa . . . " Kim berdiri di sisi tempat tidur. Dengan air mata yang meluap luap.
       "Oppa . . . " Kim langsung memeluk Jimin yang matanya tertutup rapat. Air matanya basah, membasahi bahu Jimin.
       Menyesal sekali rasanya. Dari masalah sepele, imbasnya seburuk ini. Karena Kim pergi ke rumah Nenek, Jimin merasa sangat sedih. Sampai tidak mau makan. Karena itu, Jimin mengalami dehidrasi. Dan puncaknya, ia pun pingsan saat tiba di rumah setelah berlibur ke pantai.
       Entah bagaimana mau menjelaskan. Tapi Kim benar benar takut. Jimin tak kunjung sadar sejak tadi.
       "Kim, ayo makan dulu. Kau belum makan sejak siang," ajak Taehyung.
       Kim menggeleng kuat sambil mengelus rambut Jimin.
       "Kalau kau tidak makan nanti sakit," bujuk Jungkook.
       "Biarkan," tolak Kim, keras kepala.
       "Kalau kau sakit, bagaimana mau merawat Jimin?" sahut Yoon Gi.
       "Aku tidak bisa makan sekarang. Nanti saja kalau Jimin oppa sudah bangun," jawab Kim di sela isaknya.
       "Tapi . . ."
       "Ssssttt," Nam Joon mencegah Yoon Gi. Seolah mengatakan, "Biarkan saja."
                                      ***
       Sinar mentari pagi ini menembus tirai jendela. Saat Jimin membuka mata, matahari sudah tinggi. Seok Jin, Nam Joon, dan Taehyung masih tertidur pulas di sofa. Jungkook, Yoon Gi, dan Ho Seok di sofa dekat pintu. Sedangkan Kim di sisi tempat tidur Jimin. Nampaknya Kim sangat khawatir sampai tidak mau enyah dari sisinya.
       Kim mengerjapkan mata saat merasakan sebuah tangan mengelus kepalanya. Matanya langsung terbuka lebar saat melihat Jimin sudah terbangun.
       "Oppa . . . ? O . . . Oppa sudah bangun?" Kim seperti orang linglun.
       Tak lama, Nam Joon mengucek ucek matanya. Lalu terbangun bersama yang lain. Dan langsung mendekati tempat tidur karena terkejut sebab Jimin sudah terbangun.
       "Kau . . . Kau baik baik saja? Kau butuh sesuatu?" cecar Seok Jin.
       "Apa kau ingin makan sesuatu? Ramyeon?" timpal Ho Seok.
       "Aku tidak ingin apapun," jawab Jimin singkat.
       "Oppa harus makan bubur. Kalau makan yang lain nanti sakit perut," ucap Kim.
       "Kau juga tidak makan sejak semalam, kan?" sahut Taehyung.
       "Injeong," (benar) Jungkook membenarkan.
       "Hyung, ayo keluar dan beli sesuatu," ajak Taehyung.
       "Ya, sebenarnya aku sangat lapar," sahut Nam Joon.
       "Khajja," ujar Yoon Gi sambil beranjak. Diikuti Taehyung.
                                         ***
       Koper hitam besar diseret oleh Seul Gi menuju keluar rumah. Hanya pasrah yang bisa Seul Gi lakukan. Keputusan sang Ayah untuk mengirimnya ke Amerika tidak bisa dibantah. Lagipula semua ini karena kebodohannya. Bisa bisanya Seul Gi tidak mengetahui kalau gadis itu adalah adik dari rekan bisnis dan investor Ayahnya. Sekarang semuanya akan berjalan seperti yang Ayahnya inginkan. Seul Gi akan ke Amerika dan tidak akan bertemu Jimin lagi.
       Ayah membukakan pintu mobil untuknya. Dengan wajah tanpa ekspresi. Seul Gi dengan patuhnya dan mata yang berkaca kaca memasuki mobil. Tapi tiba tiba, Ayahnya turut masuk. Seul Gi pikir akan pergi bersama supir. Ternyata Ayah sendiri yang akan mengantarnya.
       "Ayah, aku menginginkan sesuatu sebelum pergi," ucap Seul Gi.
       "Katakan," jawab Ayah.
       "Aku ingin membeli bunga dan menjenguk Jimin. Aku berjanji akan meminta maaf pada gadis itu, pada Jimin, juga pada Tuan Kim," ujar Seul Gi.
       "Lakukan apapun yang kau mau," Ayahnya tetap datar. Membuat Seul Gi semakin sedih dan terus menangis sepanjang jalan.
       "Di dekat rumah sakit ada toko bunga. Ayah, tolong berhenti di sana sebentar," kata Seul Gi lagi.
       Ayah hanya diam. Nampak masih marah tapi tidak semurka kemarin sore.
                                         ***
       "Tidak tidak. Aku . . . Tidak mau disuap," Jimin memalingkan wajah saat Kim mencoba menyuapkan bubur.
       "Tapi . . . "
       "Aku bisa makan sendiri," potong Jimin sambil meraih sendok dari tangan Kim. Kemudian langsung menyendok dan langsung memakan bubur tersebut.
       "Ayo. Kau juga makan. Kau belum makan sejak semalam, kan?" Jimin memberi sendok pada Kim.
       Kim hanya terdiam.
       "Ayo makan," lanjutnya.
       Kim mengangguk sambil menerima sendok dan makan dari kotak makan yang sama.
       "Apa kau sungguh baik baik saja?" tanya Kim.
       Jimin mengangguk sambil menikmati buburnya.
       "Deo . . . Mianhaeyo."
       Jimin berhenti mengunyah lalu tertegun.
       "Ne?"
       "Kau harus janji. Jangan abaikan makan. Kalau sakit bagaimana?"
       "Ania," Jimin tersenyum sambil mengelus puncak kepala Kim.
       "Aku hanya terlalu merindukanmu sampai tidak nafsu makan. Aku yang harusnya minta maaf," lanjut Jimin lembut.
       "Lihat. Kalau sakit, aku jadi panik. Kau tidak kasihan?" Kim memajukan bibirnya.
       "Chaeseonghaendeyo," jawab Jimin.
       "Keundae . . . Daega neomu haengbokkhaeyo," (tapi . . . Aku sangat bahagia).
       "Musseunseueoyo?" (Apa maksudmu?)
       "Walapun marah, tapi adikku ini tetap mengkhawatirkanku."
       "Keurae. Sebenarnya aku tidak bisa mengabaikanmu," jawab Kim.
       "Annyeong hasseyo," suara seorang perempuan menyapa dari pintu sambil membawa buket bunga.
       Jimin dan Kim menoleh cepat lalu mengerutkan dahi begitu melihat siapa perempuan itu.

Mau apa lagi dia?

Batin Jimin yang senyumnya memudar.

Mau apa dia ke sini?

Batin Kim, sehati dengan oppanya.
       "Apa . . . Aku mengganggu waktu kalian?" tanya Seul Gi setengah ragu.
       Jimin dan Kim saling melempar pandangan dan terdiam sejenak.
       "Aku akan keluar. Kalian bicaralah," ucap Kim sambil beranjak.
       "Tidak tidak. Kau di sini saja. Aku ingin bicara pada kalian berdua," cegah Seul Gi sambil meletakkan buket yang dibawanya di atas meja.
       Kim sedikit merasa aneh. Sejauh ini Seul Gi berlaku sangat jahat padanya dan Jimin. Mencurigakan sekali sikap Seul Gi yang tiba tiba bicara manis dan lembut seperti soft cake.
       "Tolong kalian maafkan aku atas semua masalah ini. Aku juga menyadari, kalau itu bukan cinta, tapi obsesi. Aku sangat hina dan rendah. Aku melakukan hal yang memalukan dan aku juga mengganggumu. Aku mohon maafkan
aku . . . " ujar Seul Gi sambil meneteskan air mata.
      Kim refleks mengelus pundak Seul Gi.
       "Aku datang karena ini adalah kesempatan terakhirku. Aku mungkin tidak akan bisa hidup tenang jika kalian tidak memaafkanku. Ini adalah hari terakhirku. Karena kesalahan yang kubuat, Ayah mengirimku pergi jauh meski sesungguhnya aku tidak menginginkannya. Aku sungguh tidak tahu jika yang kulakukan pada kalian ternyata berdampak pada keluargaku," Seul Gi terus terisak sampai Kim yang berdiri di depannya merasa iba.
       Seul Gi terus bicara, menangis, dan meminta maaf sampai Jimin tidak tahu harus bilang apa. Karena masalah ini juga, Jimin sampai masuk rumah sakit.
       "Kimberly, Jimin pasti sangat menyayangimu. Melihatmu saja, aku merasa kau adalah anak yang manis. Jika bukan karena aku, maka kalian tidak akan berada di sini. Aku . . . "
       "Sudahlah, eonnie," potong Kim, karena tangis Seul Gi semakin tidak terkontrol sampai dia sendiri kesulitan bicara.
       "Kami pasti memaafkanmu," lanjut Kim sambil memeluk Seul Gi.
       "Baiklah. Aku harus pergi. Ayah pasti sudah menungguku di luar," jawab Seul Gi sambil melepas pelukan dan mengusap air matanya.
       "Kemana . . . Kau akan pergi?" tanya Jimin ragu.
       "Ayah akan membawaku ke Amerika," jawab Seul Gi singkat.
       "Selamat tinggal," tambahnya.
       "Selamat tinggal," jawab Jimin.
       Seul Gi lalu keluar, dan atmosfernya terasa lain.
                                         ***
       "Hei, kenapa kalian di sini? Kenapa tidak di dalam saja," Seok Jin tersentak melihat semua adik adiknya berada di luar begitu ia kembali dari toilet.
       "Di dalam ada Seul Gi. Aku malas melihat wajahnya," jawab Nam Joon tanpa mengaluhkan pandangannya dari buku. Entah buku macam apa yang sedang dia baca.
       "Seul Gi?!" Seok Jin sedikit terbelalak.
       "Apa yang dia dilakukan di sini?" lanjutnya.
       "Entahlah," jawab Yoon Gi sambil menutup mata seperti orang mengantuk.
       "Ah, lupakan. Aku akan pergi menebus obat. Jika perempuan itu sudah keluar, segera tanyakan pada Kim, dia membicarakan apa saja," pesan Seok Jin.
       "Arraseo," ujar Taehyung, tetap asyik memainkan game di ponselnya bersama Jungkook.
       Dan sesaat kemudian, Seok Jin sudah pergi.
       "Eung? Annyeong hasseyo, Ahjussi, (tuan)" sapa Seok Jin saat ia bertemu dengan Tuan Kang, rekan kerjanya di lobby.
       "Annyeong hasseyo, Ahjussi. Kebetulan sekali bertemu di sini. Apa yang kau sedang lakukan?" balas Tuan Kang.
       "Oh, aku mau menebus obat. Salah satu adikku sedang sakit," jawab Seok Jin.
       "Kau sendiri? Apa yang sedang kau lakukan?" Seok Jin balik bertanya.
       "Aku sedang menunggu putriku. Sedang menjenguk kawannya yang sakit," jawab Tuan Kang.
       "Begitu rupanya," Seok Jin manggut manggut.
       "Ayah . . . ?" Seul Gi memanggil Ayahnya.
       "Hei, Seul Gi. Kau . . . ?" Seok Jin terbelalak melihat dan mendengar Seul Gi memanggil Tuan Kang dengan sebutan Ayah.
       "Ne, Ahjussi. Seul Gi adalah putriku," sahut Tuan Kang.
       Seok Jin melotot.

Ya ampun. Aku bahkan menceritakan soal Jimin pada Tuan Kang. Dan ternyata Seul Gi itu putrinya? Aku ini bodoh atau apa?

Batin Seok Jin.
       "Chaeseonghamnida, Ahjussi. Tapi kami harus pergi. Permisi," ucap Tuan Kang.
       "Ne? Ne," jawab Seok Jin seperti orang dungu.
       "Ya ampun," desahnya sepeninggalan Tuan Kang.
       "Tentu saja. Marga mereka sama. Kang Soo Young, Kang Seul Gi. Ah, kenapa aku tidak memikirkannya," omel Seok Jin sambil terus berjalan dan menyelesaikan urusannya.

                                    ***

Recommended song :
BTS V - Winter Bear

OUR HIDDEN FAMILY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang