39. What's Going On With Nam Joon Oppa? 2

49 4 0
                                    

       Sinar matahari masuk ke dalam kamar melalui jendela yang terbuka. Tirai abu abu yang menutupinya disingkapkan oleh Kim sehingga sinarnya terpancar langsung ke wajah Nam Joon. Silaunya cahaya matahari membuatnya tidak tahan. Oleh karena itu, Nam Joon mengerjapkan mata dan menutupi sebagian wajahnya dengan tangan.
       "Oppa sudah bangun?" Kim menghampirinya.
       Nam Joon hanya mengedipkan mata.
       "Keadaanmu sangat buruk saat kau pulang," ujar Kim dengan mata berkaca kaca.
       "Chaeseonghaeyo," jawab Nam Joon sambil mengusap air mata sang adik.
       "Kau pasti sangat cemas. Oppa bukan anak kecil lagi. Harusnya kau tidur dengan tenang di kamarmu. Sangat sulit pasti menjagaku semalaman."
       "Bagaimana . . . ? Oppa sudah sadar sejak semalam?" mata Kim membulat.
       Nam Joon tersenyum simpul.
       "Kenapa tidak membangunkanku?"
       "Oppa tidak sampai hati melakukannya."
       "Sudah jam berapa sekarang? Aku bisa terlambat ke shorum. Kau belum berangkat ke sekolah?" lanjut Nam Joon seraya berusaha untuk bangkit.
       "Oppa mau kemana? Istirahat saja di sini. Hari ini tidak usah kemana mana. Tunggu pulih dulu. Aku akan berangkat sekolah setelah oppa sarapan. Masih ada waktu sekitar 30 menit."
       "Kau sengaja bangun lebih awal?"
       "Mmmm," Kim mengangguk sambil meraih piring berisi sarapan untuk Nam Joon oppa yang ia letakkan di meja.
       "Ayo, buka mulutmu," Kim mengarahkan sendok ke mulut Nam Joon.
       Nam Joon tersenyum lalu membuka mulutnya. Makanan dari sendok dengan cepat berpindah masuk ke dalam mulutnya.
       "Hari ini aku ujian akhir semester. Aku akan pulang cepat dan menemuimu lagi nanti. Oke?" Kim tersenyum lebar usai menyuapi Nam Joon.
       "Oke," jawab Nam Joon, tersenyum pula.
       "Aku akan ganti pakaian dulu," Kim beranjak dari tempat duduknya hendak meninggalkan kamar Nam Joon.
       Nam Joon hanya tersenyum.
       "Jaga dirimu," kini Kim sudah tak terlihat lagi.
       Sepeninggalan Kim, Nam Joon merintih sendu. Kasih sayang Kim sangat dalam ia rasakan. Kim sekarang sudah seperti pengganti sosok Ibu baginya. Nam Joon merasa Tuhan memberkatinya dengan hadirnya Kim dalam hidup mereka. Dia merawat mereka saat sakit, dia membuat mereka bangga, dia juga lucu dan menggemaskan. Kehidupan macam ini hanya terjadi setelah Kim datang ke rumah keluarga Bangthan. Itulah yang dirasakan Nam Joon saat ini. Meski dongsaeng dan hyungnya menyebut dirinya monster, tapi nyatanya Nam Joon menangis tak bersuara sekarang.
       Sendiri.
       Dalam suasana rumah yang sepi.
                                        ***
       Ceklek.
       "Oppa," Kim tiba tiba membuka pintu.
       "Eung, kau sudah kembali?" Nam Joon terkejut.
       "Tadi sudah kubilang kan, hari ini aku ujian akhir semester. Jadi aku bisa pulang lebih cepat," jawab Kim.
       Nam Joon mengangguk.
       "Oppa mau makan siang sekarang?"
       "Tidak. Nanti saja."
       "Apa sekarang tubuhmu masih terasa sakit?" Kim menatapnya sendu.
       "Tidak. Oppa baik baik saja," jawab Nam Joon sambil mengelus kepala Kim.
       "Kau bilang baik baik saja?! Mau bangun saja tidak bisa," omel Kim. Lagi lagi dia mengomel. Sama seperti saat ia memarahi Ho Seok 2 hari yang lalu.
       "Oppa minta maaf membuatmu cemas."
       "Aku akan ambilkan makan siangmu supaya kau bisa segera minum obat," Kim beranjak menuju dapur dan kembali membawa sepiring makanan dan segelas air.
       "Makanlah," Kim menyuapkan sesendok nasi ke mulut Nam Joon.
       "Aku bukan anak kecil. Kenapa terus disuap?" protes Nam Joon.
       "Ya sudah kalau tidak mau," Kim menurunkan tangannya. Juga mengurungkan niat untuk menyuapi Nam Joon.
       Baru saja mau diturunkan, tangan Nam Joon langsung memegang dan menahan Kim. Diarahkannya tangan Kim yang masih memegang sendok ke dalam mulutnya.

Tadi katanya tidak mau disuap

Gumam Kim.
       "Suapi lagi," pinta Nam Joon saat nasi di mulutnya habis begitu cepat.
       Kim tersenyum geli sambil terus menyuapi oppanya hingga makanan habis. Sangat tidak lucu berpura pura tidak mau disuap. Kalau ada salah satu saudaranya melihat, pasti akan ribut. Sekarangkan hanya mereka berdua di rumah. Jadi nikmati dan habiskan waktu bersama Kim sebelum yang lain kembali dari kantor dan kampus. Iya, kan? (Aji mumpung nih, bang Rapmon).
                                         ***
       "Hei, pelan pelan. Kenapa terburu buru? Nanti tersedak," tegur Seok Jin saat Kim meneguk air minum dengan cepat usai makan malam.
       "Mau kemana?" Jimin menatap Kim bingung.
       "Ke kamar Nam Joon oppa," jawab Kim sambi berlari meninggalkan meja makan.
       "Dia sungguh mengabaikan kita," gumam Taehyung.
       "Nam Joon sedang sakit. Apa kau tidak mengerti? Kim adalah saudara perempuan kita satu satunya. Wajar saja jika dia seperti itu," bela Ho Seok.
       "Kau semakin bijak setelah sakit karena makan durian," sahut Seok Jin sambil tersenyum geli.
       "Ayolah, jangan bahas itu lagi," Ho Seok memutar bola mata.
       "Tapi aku juga sakit. Sakit hati aku diabaikan," Taehyung mulai dramatis.
       "Sakit jiwa," bisik Jungkook sambil tersenyum geli.
       Jimin turut tersenyum bersama Jungkook saat mendengarnya.
       "Mwolageu?" (Apa kau bilang?) tanya Taehyung mengejutkan saudaranya sesama magnae.
       "Aniyo," sangkal Jungkook.
       "Eung, hyungnim. Kau mau ke kamar Nam Joon?" Yoon Gi menatap Seok Jin yang langsung beranjak begitu selesai makan.
       "Ne," jawab Seok Jin singkat.
       "Biarkan aku ikut," Yoon Gi turut beranjak.
       "Kami juga ikut," Jimin mengikuti Yoon Gi bersama yang lain.
       "Khajja," ucap Seok Jin.
       "Wah, ini sungguh tidak adil," desah Taehyung saat memasuki kamar Nam Joon dan melihat Kim sedang mengobrol bersamanya.
       "Mwo?" Nam Joon menautkan alis.
       "Dia selalu bersamamu seharian ini," Taehyung memajukan bibir beberapa senti.
       "Hentikan!" Yoon Gi menyikutnya.
       "Oppa, bisakah kau ceritakan pada kami, apa yang menimpamu?" tanya Kim lembut. Mendadak topiknya menjadi tegang dan menarik.
       Semua memasang telinga.
       "Semua terjadi begitu cepat. Dan orang itu . . . . . "
       "Apa yang dia lakukan?" Ho Seok penasaran.
       "Dia . . . . ."
                                         ***
       Matahari sudah hampir terbenam. Nam Joon menyuruh karyawannya pulang lebih dulu sehingga ia tertahan di shorum karena beberapa pekerjaan yang belum terselesaikan. Suara deru mobil terdengar berhenti tepat di depan shorum. Mobil itu membunyikan klakson seperti yang dilakukan beberapa mobil yang hendak mengisi ulang bahan bakar.
       Karena hanya tersisa dirinya sendiri di shorum, maka Nam Joon harus turun sendiri melayani pelanggan tersebut. Segera ia keluar dan memang benar, sebuah mobil hitam berhenti tepat di dekat pom bensin di depan shorumnya. Seolah sudah mengerti, Nam Joon langsung membuka penutup tempat bahan bakar tersebut dan mulai mengisinya dengan bensin.
       Pengisian akhirnya selesai, namun pengendaranya tidak keluar. Ia hanya melemparkan uang pembayaran melalui jendela mobilnya. Merasa semua ini tidak benar, Nam Joon berusaha menghentikan mobil tersebut.
       "Permisi," Nam Joon mengetuk kaca mobil itu.
       Jendelanya perlahan terbuka. Seorang pria sedikit lebih kekar dari Nam Joon menampakkan wajahnya. Sedikit, hanya sedikit lebih kekar. Menatap sinis ke arahnya tanpa bertanya apapun.
       "Apa maksudmu melempar uang seperti itu?" tanya Nam Joon tanpa ada niat memungut uang tersebut.
       Pria itu keluar dari mobil.
       "Kenapa? Kau tidak suka?" tanya orang itu.
       "Kau membuang uang itu layaknya kertas yang tak berarti. Aku tidak mau memungut sebuah kertas. Memangnya kau ini orang penting seperti apa? Jika aku boleh mengatakannya, kau ini sangat sombong. Apa harga diri itu hanya milikmu saja?" cerocos Nam Joon.
       "Aku tidak peduli. Aku sudah membayarnya. Jika kau tidak mau dibayar, anggap saja itu sedekah!" bentak pengendara mobil tersebut.
       "Halo!! Kau tidak bisa seenaknya!" Nam Joon balas membentaknya.
       "Benarkah?" tanya pria itu sejurus dengan sebuah bogeman yang melayang di pipi Nam Joon.
       Nam Joon sedikit terpelanting. Namun ia berusaha bangkit dan berniat membalasnya. Baru saja ia hendak berdiri, pria itu kembali memukul wajah Nam Joon. Wajah dan perutnya menjadi sasaran pria tersebut dengan brutalnya. Pria itu dengan kejamnya menendang tubuh Nam Joon saat ia sudah tidak berdaya dan tergeletak di tanah. Sehingga ia terguling guling.
       Merasa tidak mungkin melawannya, Nam Joon membalas serangan pria itu dengan mencoba bangkit dengan sisa kekuatannya. Ia benar benar bangkit dan memungut beberapa lembar uang pembayaran yang dilempar pria tersebut. Bukannya dikantongi, Nam Joon justru dengan berani melemparkan uang itu ke dalam api pembakaran sampah.
       Wajah pria itu memerah seperti akan meledak. Dia mendekat, lalu menarik kerah baju Nam Joon dan menyayatkan benda tajam ke perut Nam Joon. Darahnya menetes dan lututnya gemetar. Perlahan kakinya melemas dan napasnya terasa sesak. Masih beruntung ptia itu hanya menyayat. Bukan menghunus benda tajam yang dipegangnya.
       Nam Joon tidak yakin ia mampu pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini. Hari sudah semakin gelap. Lampu jalanan sudah menyala terang yang menandakan hari sudah malam. Ia tidak pernah pulang sangat terlambat. Saudara saudaranya di rumah mungkin sangat cemas dan akan menanyainya layaknya petugas polisi yang sedang menginterogasi seorang tersangka.
                                        ***
       "Siapa orang itu?" gumam Kim saat Nam Joon menceritakan perihal yang menimpanya.
       "Kau tidak punya musuh, kan?" ujar Yoon Gi.
       "Apa yang kau bicarakan," sangkal Nam Joon.
       "Apa kau pernah melihat pria itu sebelumnya?" tanya Seok Jin.
       "Ini pertama kalinya aku melihat pria itu."
       "Jika seandainya kau bertemu dengannya lagi, apa kau bisa mengenali wajahnya?" tanya Kim penuh telisik.
       "Keurae," jawab Nam Joon yakin.
       "Tidak bisa dibiarkan. Aku akan telepon pengacara," Seok Jin merogoh ponsel di saku celananya.
       "Jangan lakukan," cegah Nam Joon.
       "Hei! Kenapa?!" Jimin melotot.
       "Kau sudah dibuat hampir mati olehnya. Apa maksudmu?" Ho Seok juga ikut melotot.
       "Aku pasti akan bertemu dengannya lagi," ujar Nam Joon pelan.
       "Apa yang akan kau lakukan?" tanya Jungkook.
       "Entah."
       "Pasti luar biasa jika kau bertemu pria itu saat kau sedang bersama Kim atau Jungkook, atau keduanya," Taehyung tersenyum jahat.
       "Chinchae. Kolaborasi jurus pasti menyenangkan. Pria itu bisa menjadi sasaran yang cocok. Ngomong ngomong, aku sudah lama tidak mengasah jurus tendangan guntingku," timpal Jungkook geram.
       "Keurae. Pastikan aku merekamnya nanti," ujar Taehyung.
       "Jangan bercanda," Seok Jin mendorong bahu Taehyung.
       "Memang siapa yang bercanda?" Taehyung membela diri.
       Semua menatapnya jengah.
                                        ***
       Terbaring selama kurang lebih 3 hari membuat Nam Joon merasa bosan. Kadang kadang bahu dan otot perutnya terasa sakit jika ia mencoba untuk bangun. Sejak pagi ia gelisah di tempat tidur. Nasib. Di rumah hanya sendiri. Rasanya ingin sekali ia keluar rumah dan menghirup udara segar. Tapi bagaimana? Semua orang pergi ke kantor, ke kampus, dan ke sekolah. Jadi, Nam Joon bisa apa?
       "Oppa," Kim muncul dari balik pintu kamar Nam Joon.
       "Eung," Nam Joon tersenyum.
       "Oppa sedang apa?" tanya Kim seraya memasuki kamar Nam Joon oppa lalu duduk di sisi Nam Joon.
       Nam Joon menghela napas.
       "Apa kau ingin sesuatu?"
       "Aku bosan di rumah."
       "Kau mau jalan jalan?"
       "Chinchae?"
       Kim mengangguk.
       "Keundae . . . " Nam Joon menyabarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar seperti sedang mencari sesuatu.
       "Kau mencari sesuatu?"
       "Aku ingin mandi. Kepala sangat gatal karena sudah lama tidak mencuci rambut," Nam Joon menggaruk garuk kepalanya.
       "Dimana handukku?" gumam Nam Joon.
       "Memangnya oppa bisa?"
       "Aku bisa mandi sendiri. Tapi tolong bantu aku mencuci rambut, ya."
       "Baiklah."
       Nam Joon meraih handuk di gantungan dan berjalan menuju kamar mandi. Nampak luka sayatan di perutnya sudah mengering dan lebam di bahu kanannya mulai tersamarkan saat Nam Joon membuka pakaiannya. Sehingga ia hanya menggunakan kaos dalam dan handuk.
       "Lihat, lukanya sudah kering," ujar Kim.
       "Ne," Nam Joon terkekeh.
       "Cepat cepat. Aku sudah tidak tahan," Nam Joon menundukkan kepalanya agar Kim bisa menyiram dengan mudah.
       Kim mulai menyalakan shower dan membasahi rambut Nam Joon.
       "Aaah, ini sangat menyegarkan," ujarnya.
       "Keuraeyo?"
       "Mmm."
       Setelah basah, Kim menuangkan sampo di kepala oppanya. Busanya berbuih saat Kim memijat kepala Nam Joon. Nam Joon sendiri sangat menikmati pijatan Kim dan diginnya air yang memang sudah beberapa hari terakhir tidak ia rasakan. Kim terus menggosok dan memijat kepala Nam Joon hingga busanya semakin banyak. Setelah beberapa menit, Kim mulai membilas rambut Nam Joon sampai busanya benar benar hilang.
       Kim lalu mengeringkan rambut oppanya dengan handuk.
       "Haruskah kugunakan pengering rambut?" tanya Kim.
       "Tidak, jangan. Biarkan dia kering sendiri. Terus gosok dengan handuk agar tidak terlalu basah," jawab Nam Joon.
       "Seperti ini?" tanya Kim sambil terus menggosok kepala Nam Joon.
       Rasanya sangat lega dan segar begitu selesai mandi. Kepalanya terasa sangat sejuk setelah keramas. Kim membantu memilihkan baju untuknya yang ia ambil dari lemari. Nam Joon segera memakai baju tersebut dan mereka keluar rumah untuk menghirup udara di luar seperti yang Nam Joon inginkan.
                                        ***
       
    

OUR HIDDEN FAMILY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang