50. Pilu Aku Pilu

43 5 0
                                    

       "Apa kau masih ada mata kuliah lagi?" Jimin dan Taehyung berjalan melewati koridor bersama.
       "Tersisa 1 lagi. Tapi baru dimulai pukul 14.30 . Waeyo?" jawab Taehyung.
       "Sekarang baru pukul 13.30 . Pergilah dan jemput Kim. Masih ada waktu 1 jam sebelum mata kuliahmu dimulai, kan?"
       Taehyung mengangguk.
       "Eung, keurae. Tapi, apa kau tidak mau mencoba bertemu dengannya? Memangnya tidak rindu?"
       "Aku sangat ingin tapi tak bisa. Dia pasti marah padaku. Aku sedang berusaha keras menjauh darinya. Aku sudah membohonginya. Kau tahu?" Jimin mulai berkaca kaca.
       "Arraseo. Tapi sebenarnya kau ini tidak berbohong. Seul Gi saja yang banyak tingkah. Ngomong ngomong, aku sangat puas melihat aksimu tadi," puji Taehyung.
       Jimin terkekeh.
       "Kenapa jadi kau yang puas?"
       "Dengar, masalahmu ini juga membuatku risau, tahu tidak. Anggota keluargaku sedang berselisih dan penyebabnya benar benar hal sepele yang dibesar besarkan. Wanita itu . . . Aku sangat ingin memukul wajahnya," gerutu Taehyung.
       "Kami semua menyayangimu dan juga Kim. Kami pasti bantu sampai semuanya selesai," timpalnya.
      "Aku sangat lega sudah mengeluarkan semua yang mengganjal di hatiku. Kurasa dia memang pantas mendapatkannya," jawab Jimin.
       "Dapat apanya? Kau hanya menghinanya saja. Bagiku itu belum cukup. Kau tahu, aku sangat ingin menghajarnya.
       "Kenapa kau jadi seperti ini? Lagi pula aku melakukannya di depan banyak orang, kan?"
       Taehyung membuang napas.
       "Baiklah. Aku akan pergi menjemputnya," ujarnya sambil menepuk dan mengelus bahu Jimin, kemudian berlalu meninggalkannya.
       "Hati hati," jawab Jimin sambil berusaha tersenyum.
        Taehyung pun menghilang dari pandangan.
                                         ***
       Usai pelajaran terakhir, Kim menggendong tas keluar lingkungan sekolah. Hatinya sedang tidak menentu. Kira kira Jimin akan menjemputnya atau tidak, ya? Kim berniat mencoba berbicara dan tidak lagi saling diam diaman. Yang dikatakan Taehyung memang benar. Harusnya Kim memang lebih percaya pada Jimin dari pada Seul Gi yang sudah gila.
       "Kim(ssi)! Annyeong!" teriak Taehyung saat dilihatnya Kim baru saja keluar.
       "Ah, ne," Kim segera menghampirinya dan segera masuk ke mobil.
       Dan setelah itu, Kim merasa sedikit kecewa. Hanya sedikit. Ternyata Jimin tidak menjemputnya. Hanya ada Taehyung di dalam mobil sebelum Kim masuk. Awalnya ia berharap besar Jimin akan menjemputnya seperti biasa. Karena itu, mereka jadi memiliki ruang untuk saling bicara.
       Kim berpikir, ia sudah melakukan hal yang salah dengan mengabaikan oppanya. Lalu apa sekarang dia juga mulai mengabaikan Kim juga? Harus bagaimana sekarang? Bagaimana jika hubungan keduanya semakin memburuk? Kim benar benar tidak tahu harus apa. Yang diinginkannya saat ini adalah menenangkan diri sambil memikirkan cara untuk menyelesaikannya. Sesaat Kim menduga, bahwa seharusnya ia tidak perlu sampai mengabaikan oppanya seperti ini. Tapi, sudahlah. Memang sudah terjadi.

Aku harus pikirkan cara untuk selesaikan ini.

Ujar Kim dalam hati.
                                         ***
       Drrrrt Drrrrrt
       Drrrrt Drrrrrt
       Ponsel Jimin bergetar saat benda itu ditinggalkan oleh pemiliknya di atas meja makan. Saat Kim melintas seusai mandi, ia melihat nama Seul Gi tertera di layarnya. Jimin meninggalkan ponselnya dan pergi entah kemana. Karena penasaran, Kim membuka dan membaca pesan dari Seul Gi bertopeng. (Seul Gi bertopeng? Gimana, tuh?). (Kebanyakan pura pura, padahal aslinya busuk. Selalu pasang muka sok polos sebagai topeng andalannya). (Eh, woles donk).

Seul Gi : Jimin, kau dimana?
Seul Gi : Apa kau benar benar marah besar
                padaku?
Seul Gi : Mian, Jimin(ah)

       Kim membuang muka. Jijik membaca pesan seperti itu. Seolah dia adalah korbannya. Ternyata Jimin masih berhubungan dengan wanita itu. Kim melihat, bahwa mereka masih sering chat bersama. Tapi tunggu . . . Tadi Seul Gi mengatakan kalau Jimin marah besar padanya? (Bukan dibilang, tapi diketik). (Serah lu, dah). (Kim, nggak boleh buka HP orang sembarangan, nak).
                                        ***
       "Ah, ponselku dimana, ya?" Jimin bergumam seraya mencari ponselnya dengan rambut yang masih basah setelah mandi.
       Setelah mengecek seluruh ruang tamu, ia akhirnya menemukan benda itu di atas meja makan. Langsung saja ia ambil kemudian berlalu dan duduk santai di sofa ruang tamu. Karena tidak tahu mau melakukan apa, Jimin pun memainkan ponsel. Sampai akhirnya ia membaca pesan dari Seul Gi. Dengan malas ia baca pesan tersebut tanpa ada niat untuk merespon. Benar, hanya dibaca.
       Baca sekilas, blokir.
       Sesaat kemudian, ia kembali ke dapur hendak membuat cokelat panas. Berhubung sudah ada air panas dalam teremos, jadi tidak perlu merebus air lagi. Seok Jin hyung memang terbaik. Akhir akhir ini Jimin merasa stress karena masalahnya dengan Kim. Semoga saja, secangkir cokelat panas bisa membantunya lebih tenang dan rileks.
       Saat sedang mengaduk minuman, tiba tiba saja ponselnya berdering. Panggilan masuk, dari Seul Gi. Jimin memutar bola mata malas saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
       Reject.
       Blokir.
                                         ***
       "Oppa . . ."
       "Ne?"
       "Aku ingin menginap di rumah Nenek. Tidak apa apa, kan?"
       Mata Taehyung membulat saat mendengar Kim ingin tinggal bersama Neneknya.
       "Mwo? Waeyo?" Taehyung menginjak rem tiba tiba.
       "Anya. Aku hanya merindukan Nenek," jawab Kim.
       Taehyung menghembuskan napas. Ada ada saja masalah baru. Ia menebak, Kim mungkin saja ingin menjauh dari Jimin. Semoga saja tidak lama. Makin buruk saja. Membuat Taehyung serasa ingin mencari dan memaki seorang Seul Gi.
      Tapi Taehyung tidak mengatakan hal itu. Atmosfer di dalam mobil saat ini sedang keruh. Mengungkit masalah ini sama saja membuatnya semakin memburuk. Tunggu saja bagaimana reaksi saudara saudaranya mendengar ini. Terutama Jimin.
       "Annyeong hasimnikka!" Taehyung membuka pintu lalu segera masuk diikuti Kim yang baru saja pulang les sore.
       Kim langsung menuju kamarnya tanpa menyapa atau mengatakan sepatah sambutan untuk oppa oppanya yang sedang nimbrung di ruang tamu. (Lah, sambutan? Maulid an, emangnya?). Mereka yang menyaksikan hal ini benar benar merasa, ini sungguh menyedihkan. Dia lewat begitu saja, tanpa menoleh sedikit pun. Dan, Jimin? Dia hanya menunduk. Merasa semua ini adalah kesalahannya.
       "Ah, aigoo," desah Taehyung sambil merebahkan tubuhnya di sofa.
       "Waeyo?" tanya Seok Jin yang merasa aneh dengan desahan Taehyung.
       "Eommae, jaebalyo," (Ibu, aku mohon) runtuk Taehyung.
       "Wae?" Jungkook penasaran sambil mulai menarik narik celana hyungnya.
       "Aih, geuman." (Hentikan).
       "Kau tampak tidak baik," ujar Yoon Gi.
       "Apa terjadi sesuatu?" tanya Jimin serius dan cemas juga. Sejak 3 hari yang lalu ia sama sekali tidak bersama Kim. Jadi sedikit khawatir karena biasanya Kim berada dalam pengawasannya. Namun untuk saat ini, tugas tersebut ia mandatkan kepada Tae alien. Harap harap Kim tetap oke tanpa dirinya.
      Tapi Taehyung sesungguhnya lebih mirip mata mata dari pada petugas pengganti. Apa apa tidak bisa ia putuskan sendiri. Apa yang Kim katakan, apa yang dia inginkan, bagaimana suasana hatinya, semua itu Taehyung sama sekali tidak terbiasa dan tidak paham. Ia akan selalu memberitahu Jimin lalu bertanya apa yang sebaiknya dia lakukan. Mungkin Taehyung belum memahami Kim luar dalam, tapi kalau ditanya soal sayang, lebih baik ambil kebahagiannya dari pada harus kehilangan si bungsu sekali lagi.
       "Dia minta menginap di rumah Nenek untuk beberapa hari," ucap Taehyung dengan nada lemah.
       "Mwo??!!" semua terbelalak. Kecuali Jimin.
       "Pasti karena aku," gumamnya.
       "Haruskah kuijinkan?"
       "Bagus jika dia mengatakannya padamu. Kalau dia pergi tanpa beritahu kita, itu baru buruk," jawab Yoon Gi.
       "Yak, chinchae. Sampai seperti ini perempuan itu mengganggu Kim? Dasar gila," ujar Jungkook sebal.
       "Haruskah aku meretas atau membajak ponsel dan media sosialnya?" Nam Joon mulai frustasi.
       "Andae," (jangan) larang Seok Jin.
       "Jimin(ah), eottae?" Ho Seok menatap Jimin yang terdiam dan menunduk.
       "Mworeugaesseo," (aku tidak tahu) jawabnya.
       "Dia ke sana hanya untuk beberapa hari, kan?" ucap Nam Joon.
       "Eung," Taehyung mengangguk.
       "Lalu apa masalahnya?" tanya Nam Joon lagi dengan polosnya.
       Seok Jin langsung menyikut perut Nam Joon.
       "Aa!" pekiknya.
       Seok Jin memberi isyarat dengan melirik ke arah Jimin sesaat. Bahwa Jimin akan menjadi yang paling sedih jika Kim dijinkan tinggal di rumah Nenek. Nam Joon kemudian mengangguk mengerti. Perkataannya tadi mungkin akan membuat Jimin semakin sedih. Mau tidur saja tidak bisa kalau belum memeluk si bungsu itu layaknya sedang memeluk boneka kesayangan. Dia pasti tidak akan bisa tidur semalam utuh kalau nanti Kim pergi ke rumah Nenek.
       "Besok akhir pekan. Antar saja Kim jika dia memang ingin menginap di rumah Nenek," ujar Jimin tiba tiba.
       "Eung?!" lagi lagi semua terbelalak.
       "Wae? apa nanti kau akan baik baik saja?" tanya Taehyung ragu.
       "Antar saja besok pagi," jawab Jimin dengan sekuat tenaga menyembunyikan hatinya yang pilu.
                                         ***

Capek ngetik. Capeeeek!!!!!!!
Udah sebanyak ini, komentarnya mana?!! Mana, hoy??!!!! Manaaa!!!!!!
Sebenernya ini cerita bagus nggak, sih?
EYDnya oke nggak, sih?
Typonya banyak nggak, sih?

Huuuu, mana komentarnya ini??
Ngenes gila idup gue, gan.

OUR HIDDEN FAMILY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang