45. Keterlaluan

46 3 0
                                    

       "Bagaimana harimu?" Jimin menyeret kursi lalu duduk di samping Kim yang sedang belajar seperti yang selalu dilakukannya setiap malam.
       "Baik," jawab Kim sambil menoleh sekilas kemudian kembali fokus pada bukunya.
       "Dengar, oppa sungguh tidak menyukai perempuan itu."
       "Apa yang oppa bicarakan sebenarnya?" Kim berhenti menulis dan menatap Jimin.
       "Kau tahu apa yang oppa bicarakan. Perempuan itu . . . Seul Gi . . . Aku
sungguh . . . Ah," Jimin mengacak acak rambutnya frustasi.
       "Arraseoyo," Kim berusaha tersenyum.
       "Oppa berjanji akan mengurus semua ini. Kau tidak perlu merasa cemas ataupun ketakutan lagi," Jimin mengelus puncak kepala adiknya.
       Kim hanya mengangguk.
       "Aku sungguh tidak menyukainya. Tidak pernah, tidak akan pernah. Tidak mungkin dan tidak akan mungkin. Akan sangat buruk jika sampai aku berkencan dengannya. Dia sangat keterlaluan dan juga memalukan. Aku tidak percaya jika kami pernah menjadi teman," Jimin bermonolog meski Kim masih bisa mendengarnya.
       Jimin tampak sangat sensitif tentang masalah ini. Sorot matanya membuat Kim berpikir, Jimin menanggapinya tidak main main.
       "Aku berjanji. Aku berjanji tidak akan mempunyai kekasih seperti itu. Kalau perlu aku tidak usah punya kekasih," lanjut Jimin.
       "Kau akan membujang seumur hidup?" goda Kim.
       "Apa masalahnya? Bahkan jika semua hyung telah memiliki istri nanti dan mereka memiliki rumah sendiri, aku akan tetap berada di sini. Biarkan saja semua saudara kita menikah. Kita berdua akan tetap tinggal di rumah ini. Dan kau . . . Kau akan menjadi putriku nanti," gurau Jimin.
       Mata Kim membulat.
       "Apa yang kau bicarakan?" Kim mencubit perut Jimin.
       Jimin menggeliat lalu tersenyum.
       "Biarkan saja aku tidak beristri. Yang penting kau selalu di sampingku," jawab Jimin yang disambut gelak tawa oleh Kim. Tak disadari Jimin pun turut tertawa karena candaannya sendiri.
       Kim tampaknya mulai melupakan masalah itu. Ia tertawa lepas saat ini tanpa adanya beban. Jimin beranjak lalu memeluk Kim erat. Mungkin masih akan ada lagi masalah masalah baru yang timbul dalam hidup Kim dan juga hidup oppa oppanya. Dan entah mereka bisa mengatasinya atau tidak.
       "Sudah. Jangan tidur terlalu larut. Oppa mau keluar," Jimin melepas pelukkannya.
       Kim hanya menjawabnya dengan anggukan. Lalu Jimin melangkah keluar dari kamarnya.
                                        ***
       Pagi ini Jimin bersiap ke kampus bersama Kim, Taehyung, dan Jungkook. Keadaan Kim sudah lebih baik dari terakhir kali. Hubungan Jimin dan Seul Gi juga sudah membaik dan kembali seperti dulu. Hanya saja tidak terlalu intens. Kalian pasti tahu, kan yang namanya sahabat itu dekatnya seperti apa. Tapi sekarang Jimin hanya mau bicara atau bertemu Seul Gi seperlunya saja. Sudah jarang senda gurau antara mereka dan Taehyung serta Jungkook juga mengetahui hal itu.    
       Pasalnya Seul Gi sudah meminta maaf dan Jimin pun sudah memaafkannya. Jimin juga memintanya untuk minta maaf langsung pada Kim. Seul Gi memang sudah mengiyakan. Tapi notabennya, Seul Gi sama sekali belum bertemu atau mencoba bertemu dengan Kim. Di depan Jimin ia selalu beralasan. Entah karena di memang jujur atau enggan untuk meminta maaf.
       Siang itu setelah Mr. Yoon meninggalkan kelas, Jimin menghampiri Seul Gi yang nampaknya sedang mengemasi beberapa buku.
       "Aku ingin bicara denganmu. Apa kau ada waktu?" tanyanya tanpa basa basi.
       "Eung? Tentu," jawab Seul Gi dengan wajah berbinar. Sudah pasti dia senang. Akhirnya Jimin kembali mengajaknya bicara. Biasanya selalu Seul Gi yang mulai.
       "Aku tunggu di taman," ucap Jimin sedingin es balok.
      Seul Gi mengangguk kemudian ia mengikuti Jimin menuju taman.   
       Tak butuh waktu lama, Jimin sudah stay di kursi taman saat Seul Gi baru saja sampai.
       "Jadi, apa yang mau kau bicarakan?" tanya Seul Gi dengan senyum merekah.
       "Aku ada tugas merangkum yang harus kukumpul 4 hari lagi. Aku ingat buku yang kubutuhkan ada padamu. Jadi aku menginginkannya hari ini," jawab Jimin seperlunya dengan wajah datar.
       "Begitu rupanya. Tapi aku tidak membawanya hari ini," Seul Gi acting berekspresi seperti orang lupa dan tidak tahu apa apa.
       "Bagaimana kalau kita ambil bukunya di rumahku? Kau tidak keberatan, kan?"
       "Kau saja yang pergi. Aku akan tetap di sini menunggu."
       "Ayolah. Kita naik mobil masing masing saja, ya. Aku mohon . . . . . " bujuk Seul Gi.
       Jimin tidak menjawab melainkan langsung beranjak dan 2 langkah meninggalkan Seul Gi yang masih terduduk.
       "Ayo pergi," ujar Jimin tenang tanpa menoleh.
       Seul Gi dengan senangnya mengekor di belakang Jimin menuju parkiran lalu berangkat ke rumah Seul Gi. Andaikan buku itu tidak penting, Jimin tidak mau menginjak rumahnya.    
       Butuh waktu sekitar 6 menit untuk sampai di rumah Seul Gi. Dulu Jimin memang sering datang kemari. Tapi kejadian beberapa hari yang lalu ternyata menciptakan jarak antara mereka.
       Sebuah pintu rumah yang besar, berwarna cokelat khas pelitur dibukakan oleh Seul Gi dan mempersilahkan Jimin untuk masuk. Cat dinding putih bersih dan beberapa lukisan serta furniture mini nampak indah mendekorasi ruang tamu. Sofa berwarna cokelat gelap juga terlihat sangat cocok dengan ruangan itu.
       "Duduklah. Akan aku buatkan minum lalu mengambil bukumu," ujar Seul Gi.
       "Tidak usah repot repot. Ambil saja bukunya. Setelah itu aku bisa pergi," jawab Jimin.
       "Ah, apanya yang repot. Tunggu sebentar, ya," Seul Gi meninggalkan Jimin di ruang tamu dan berjalan menuju dapur.
       Ia tersenyum smirk saat memasuki dapur. Entah apa yang ia pikirkan atau bahkan rencanakan saat ini. Tempo hari, Seul Gi terlihat seperti begitu dendam pada Kim. Ia dan Jimin sudah tidak terlalu akrab lagi seperti sebelumnya karena ia ketahuan memperlakukan Kim dengan sangat buruk dan keterlaluan. Apalagi Seul Gi sudah mengaku bahwa ia menyukai Jimin. Sayangnya Jimin selalu datar terhadapnya. Sejak hari itu hingga sekarang.
       Diraihnya gelas kaca dari rak piring lalu menuangkan soft drink dan beberapa es batu. Kemudian ia mengambil sebuah bungkusan kecil dari dalam lemari kabinet. Butiran butiran yang berasal dari bubuk dalam bungkusan itu meluncur bebas dan terlarut dalam minuman tersebut. Sedikit adukan membuat bubuk berwarna putih itu benar benar larut tanpa sisa sehingga minuman itu nampak biasa saja. Warnanya tidak berubah, begitu juga dengan aroma dan rasanya. Padahal sesungguhnya Seul Gi telah menambahkan sesuatu ke dalamnya.
       Seolah tidak terjadi sesuatu, Seul Gi keluar dengan membawa gelas berisi soft drink tersebut. Langkahnya menuju ke tempat dimana Jimin sedang duduk.
       "Minumlah. Aku akan ke kamar untuk mengambil bukumu," ucapnya sambil meletakkan minuman tersebut di atas meja tepat di depan Jimin.
       Jimin hanya mengangguk sambil tersenyum tapi terpaksa. Seul Gi berlalu menuju kamar setelahnya dan tinggallah Jimin yang menunggu sendirian. Karena bosan, ia memainkan ponsel asal asalan. Melihat galeri sambil tersenyum sendiri saat melihat potret Kim. Mulai dari ekspresi imut, manis, marah, cemberut, senang, datar, bahkan foto aib sang adik pun turut memenuhi galeri ponselnya.
       Jimin memutuskan untuk mengganti wallpaper layar depan ponselnya dengan fotonya bersama Kim. Foto itu diambil ketika Kim baru saja memenangkan kompetisi Taekwondo di Los Angles beberapa waktu lalu. Dijamin, Jimin jadi lebih semangat saat menatap layar ponselnya. Ia juga pernah melihat Nam Joon memakai foto Kim sebagai wallpaper ponselnya. Yang membedakan, di situ Kim hanya sendiri. Sedangkan yang dipilih Jimin sebagai wallpaper ponselnya adalah Kim beserta dirinya pula dalam satu frame yang sama.
       Jimin terus tersenyum menatap ponselnya. Asyik scroll ke kanan ke kiri melihat lihat foto Kim di sana. Sesekali ia mengingat peristiwa yang terjadi dalam foto itu kemudian dia mulai tersenyum sendiri lagi. Ini terus berlanjut selama beberapa menit. Seul Gi sungguh lama dari yang Jimin pikirkan. Sambil menunggu, Jimin meneguk minuman dingin yang Seul Gi suguhkan beberapa saat lalu. Hingga minuman tersisa setengah, kemudian Jimin kembali fokus pada ponselnya.
       Satu menit, 2 menit, perlahan Jimin mulai merasakan sesuatu terjadi pada dirinya. Tiba tiba saja ia merasa kantuk dan sulit untuk tetap membuka mata. Pandangannya saat melihat layar ponsel membuat matanya perih dan semakin sulit tetap terbuka. Sesekali ia juga menguap dan beberapa saat kemudian, Jimin sudah terkulai.
       Seseorang nampak tersenyum puas melihat Jimin yang sudah berhasil dikuasai oleh obat tidur yang ia campurkan ke dalam minuman Jimin tadi. Orang itu yang tidak bukan adalah Seul Gi akhirnya turun bersama kedua temannya yang ternyata juga ada di rumah Seul Gi. Mereka diminta bersembunyi saat Jimin ada di sini. Karena saat ini Jimin sudah tidak berdaya dan tidak sadarkan diri, mereka bisa berhenti bersembunyi, lalu membantu Seul Gi untuk mengatasinya.
       Tanpa ada rasa bersalah atau cemas, Seul Gi bersama 2 rekannya turun dari lantai 2 setelah lelah mengintai Jimin dari sana. Mereka langsung mencoba untuk memindahkan tubuh Jimin dari sofa ke kamar tamu yang tidak jauh tempatnya sekarang. Dengan susah payah mereka memapah Jimin dengan hati hati sambil mengeluarkan semua tenaga yang mereka miliki.
       Sudah tentu bukan hal yang mudah untuk memindahkan seorang pria bertubuh lumayan seperti Jimin. Sampai di kamar, mereka langsung menghempaskan tubuh Jimin begitu saja di tempat tidur.
       "Kau yakin akan lakukan ini?" tanya salah satu rekan Seul Gi sambil mengatur napas.
       "Bukannya ini terlalu berlebihan?" sambung lainnya dengan napas tersengal sengal.
       "Tidak usah dipikirkan. Yang penting, berikan pelajaran untuk gadis kecil itu," jawab Seul Gi santai sambil tersenyum miring.
       "Arraseo, terserah," ujar rekannya.
       Dengan sigap Seul Gi menyelimuti tubuh Jimin dengan selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Pelan pelan ia pun turut berbaring di samping Jimin dan juga menyelimuti seluruh tubuhnya. Pakaiannya yang sleeveless membuat Seul Gi nampak tak berpakaian! Yang lebih menjijikkannya lagi, ia terus merapat ke tubuh Jimin hingga hidungnya bersentuhan dengan kening Seul Gi sehingga terlihatnya mereka sedang tidur bersama. (Grebek ae, bang).
       Seolah mengerti, kedua rekan Seul Gi segera mengambil ponsel dan memotretnya. Bahkan sampai beberapa kali. Ternyata inilah rencananya. Mengusik Kim dengan berbekal foto memalukan itu.
       Begitu selesai dipotret, Seul Gi segera bangkit dan melihat hasil fotonya. Sempurna.
       "Sekarang apalagi?" tanya salah seorang temannya.
       "Kita kembalikan dia ke tempat semula," jawab Seul Gi tenang.
       "Hah?!" mereka membelalak.
       "Dia itu . . . Berat," keluh salah satunya sambil berbisik. Takut takut kalau Jimin terbangun.
       "Sudahlah. Lakukan saja," paksa Seul Gi.
      Dengan pasrah, akhirnya mereka menuruti kemauan Seul Gi dan kembali bersusah payah memindahkan Jimin ke ruang tamu. Persis seperti posisinya yang semula. Senyum puas merekah di bibir perempuan yang entah sebutan apa yang pantas baginya.
       "Bagaimana bisa aku tertidur di sini?" Jimin bertanya pada dirinya sendiri saat terbangun meski kesadarannya belum 100%.
       Kepalanya tiba tiba pening, namun perlahan pandangannya kembali jernih.
       "Kau sudah bangun?" Seul Gi menghampiri Jimin sambil membawa sebuah buku tebal bersampul cokelat.
       "Ya. Tapi . . ." Jimin memijit kening.
       "Tampaknya kau sedang ada beban pikiran. Atau mungkin kau kelelahan sampai tertidur," Seul Gi tersenyum palsu. (Pengen gue bejek bejek muke lu).
       "Apa aku tertidur sangt lama?"
       "Anio. Ngomong ngomong, ini bukumu. Terima kasih karena bersedia meminjamkannya padaku. Aku minta maaf karena memaksamu kemari untuk mengambilnya. Sekali lagi terima kasih," disodorkannya buku tersebut sambil bersikap sangat manis di depan Jimin. (Sini! Biar gue ancurin tuh muka. Dasar ratu drama! Munafik!). (Author kok marah marah, ya?). (Astagfirullah, lupa kalau lagi bulan puasa).
       "Keurae. Cheonmanaeyo (sama sama)," Jimin mengambil buku tersebut dari tangan Seul Gi kemudian beranjak hendak kembali ke kampus.
       "Aku akan kembali ke kampus. Sampai jumpa," lanjutnya.
       "Ne. Annyeongghi kyeseo," jawab Seul Gi.
                                        ***
       Pelajaran olahraga di jam pertama menjadi pembuka serangkaian aktifitas Kim di sekolah seperti biasa. Berlari keliling lapangan, pemanasan, dan latihan inti sudah menjadi hal wajib dalam olahraga. Semua pasti sudah tahu, kan. Meski lelah, panas, gerah, dan bercucuran keringat, tapi baik untuk tubuh. Kim selalu dinasehati oleh oppa oppanya, bahwa olahraga sangat baik untuk kerja otak. Lihat saja, tubuh oppa oppanya Kim semuanya atletis. (Bonus otak encer buat Nam Joon).
       Selepas jam olahraga, Kim menuju loker untuk mengambil seragam. Bersama Rae In, ia berjalan dengan keadaan bercucuran peluh. Setibanya di loker, Kim melihat sosok perempuan cantik mengenakan mini dress berwarna biru dan rambut panjang berwarna cokelat.
       Perempuan itu lagi. Kim menatapnya tanpa rasa takut kali ini. Kehadiran Seul Gi di sekolahnya membuat Kim seperti kendaraan yang direm. Langkahnya langsung terhenti begitu melihat wajah Seul Gi yang seluruh bagiannya adalah kepalsuan.
       Rae In menepuk bahu Kim, sehingga ia sedikit terkejut.
       "Duluan saja. Nanti aku menyusul," ujar Kim.
       "Baiklah," Rae In mengambil seragamnya dari dalam loker lalu meninggalkan Kim untuk lebih dulu mengganti baju olahraga.
       Dan sekarang, tersisa dirinya dan Seul Gi. Saling melempar pandangan satu sama lain, tapi tidak ada yang mau memulai perkacapan.
                                        ***

Assalamualaikum.
Hari ini adalah Ramadhan yang ke-13. Senin, 20 Mei 2019. Saat ini pukul 21.57 ketika sedang mengetik. Selamat berpuasa readers semua!!! Tetap semangat walaupun lagi puasa. Semangat beraktifitas, contohnya baca wattpad. Jangan lupa divote, dan comment. Doanya semua yang terbaik untuk kalian.
Wassalam.

OUR HIDDEN FAMILY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang