41. Jimin Clue

53 3 0
                                    

       "Annyeong hasimnikka," Taehyung mengucap salam saat ia membuka pintu, baru saja kembali dari kampus.
       "Wah, oppa cepat pulang?" Kim menghampirinya.
       "Mmm," Taehyung mengangguk lalu merebahkan diri di sofa ruang tamu.
       "Oppa tidak bersama Jungkook oppa?"
       "Ada. Dia masih ada di luar."
       "Kau tampak lelah," Kim duduk di sisi Taehyung.
       "Sini," Taehyung melambaikan tangannya ke arah Kim, memintanya untuk mendekat.
       "Hari ini sangat melelahkan," desah Taehyung sambil merangkul Kim dan memejamkan mata.
       "Studi tour, karyawisata, skripsi . . . Aih, kepalaku pusing," Taehyung mengacak acak rambutnya.
       "Haruskah aku pijat agar oppa merasa lebih baik?" Kim menawarkan diri.
       "Kau sungguh bisa melakukannya?" Taehyung terkekeh.
       Kim mulai memijat bahu Taehyung perlahan. Ia nampak memejamkan mata seperti menikmati pijatan Kim yang lumayan juga.
       "Wah, ternyata kau pandai juga," puji Taehyung.
       "Apa sudah lebih baik?"
       "Ya, sedikit."
       "Annyeong hasimnikka!" Jungkook masuk rumah lalu melihat Kim sedang memijat Taehyung.
       "Ne," jawab Taehyung tanpa membuka mata.
       "Enak sekali. Aku juga mau dipijat," ujar Jungkook sambil meraih salah satu tangan Kim sehingga ia berhenti memijat.
       "Mwoya?!" Taehyung bangkit dan membuka mata.
       "Mandi dulu kau," Taehyung menarik tas yang masih melekat di punggung Jungkook sehingga ia turut terseret.
       Itu seperti sebuah balasan karena mengganggu Taehyung saat dipijat. Maka dengan cepat disingkirkannya sang adik tersebut. Kembali Kim hanya geleng geleng kepala. Bisa apalagi dia?
       Guyuran air yang mengalir dari shower, terjun bebas membasahi tubuh Taehyung dari rambut hingga kaki. Segarnya air ternyata mampu menyingkirkan kesuntukannya. Hari ini ia pulang lebih awal. Sebelum pukul 4 ia sudah di rumah. Memasuki akhir semester 6, ia semakin sibuk saja. Oleh karena itu, ia akan full istirahat hingga malam nanti.
       Selesai mandi, Taehyung menghempaskan tubuhnya lagi di sofa ruang tamu. Sudah berpakaian tentunya. Sesaat setelahnya ia sudah larut dengan ponselnya. Padahal baru saja ia selesai mandi, tiba tiba sudah pukul 5 sore.
       "Jimin oppa kenapa belum pulang, ya?" ujar Kim seraya duduk di samping Taehyung yang konsentrasi dengan ponselnya.
       "Dia pulang sedikit terlambat hari ini," jawab Taehyung tanpa menoleh.
       "Syukurlah," desah Kim.
       "Wae?"
       "Ani. Aku hanya cemas. Dia pulang terlambat, dan sampai di rumah dalam keadaan seperti . . . Nam Joon oppa."
       "Aish, dia baik baik saja. Dia pulang terlambat karena mengurus sesuatu dengan rekannya. O, apa aku belum pernah cerita padamu?" Taehyung bangkit dari posisi baring.
       "Mwoga?"
       "Jimin itu ketua senior di kampus. Jadi wajar kalau sibuk."
       "Chinchae?"
       "Bukan hanya itu, jika kuceritakan lebih banyak kau pasti terkejut."
       "Apalagi?"
       "Dia itu asisten dosen di jurusannya," cerita Taehyung meyakinkan.
       "Waaa, daebak," Kim terkesima.
       "Apa yang hebat?" Jimin tiba tiba muncul dari pintu.
       "Jangan beritahu," bisik Taehyung.
       "Wae?" tanya Kim berbisik pula.
       "Nanti dia sombong."
       "Hei! Kenapa bisik bisik? Kalian membicarakan aku, ya," tebak Jimin.
       "Tidak," jawab Taehyung cepat.
       "Keojitmal." (bohong)
       "Ngomong ngomong, dengan siapa kau pulang?" Taehyung mengalihkan topik.
      "Dengan temanku," jawab Jimin sambil bergabung duduk diantara Taehyung dan Kim.
      "Apa dengan Seul Gi?" tebak Taehyung setengah menggoda.
       "Seorang wanita?" Kim penasaran.
       "Keurae," sahut Taehyung sambil senyum meledek.
       "Keudae, sudah sejauh mana kau dengannya? Apa kalian sudah berkencan?" tambahnya.
       "Mwo? Benarkah oppa mulai berkencan?" Kim terkejut.
       Jimin melempari Taehyung dengan bantal. Taehyung hanya tersenyum jahil.
       "Aku tidak berkencan! Kami hanya teman," Jimin melotot.
       "Aa, lihat. Wajahnya merah. Dia pasti tersipu," goda Taehyung semakin menjadi.
       "Hentikan!" Jimin langsung menubruk Taehyung dan terjadilah pergulatan antara keduanya. Taehyung hanya tertawa tawa setelah mengoda Jimin.
       Kim turut tersenyum bahkan sesekali ia tertawa melihat Taehyung menggeliat geliat saat Jimin menggelitiknya. Bagaimana tidak tertawa, Jimin menggelitik Taehyung sampai ia jungkir balik di lantai tidak ada ampun.
       "Hentikaaan!!! Hei! Sakit, sakit. Perutku sakit. Hentikan. Kau bau!!" teriak Taehyung sambil meronta dan memukuli punggung Jimin.
       "Mandi sana!" perintahnya.
       Jimin beranjak sambil melempar Taehyung dengan bantal lalu pergi ke kamarnya.
                                        ***
       "Kau belum tidur?" Jimin membuka pintu kamar Kim lalu memasukinya.
       "Sebentar lagi," jawab Kim.
       "Apa yang sedang kau kerjakan?" tanya Jimin seraya menghampiri Kim.
       "Ada tugas sekolah yang harus diselesaikan."
       "Haruskah kubantu?"
       "Ania, aku baru saja selesai. Chinchae."
       Jimin mengangguk.
       "Oppa sendiri kenapa belum tidur?" Kim bertanya balik.
       "Aku hanya takut tidak bisa tidur seperti beberapa hari yang lalu. Karena itulah aku kemari."
       "Wae?"
       "Aku tidak tahu."
       "Aku pernah membaca, jika seseorang mengalami susah tidur, minum susu hangat adalah salah satu solusi."
       "Sebenarnya aku punya solusinya."
       "Benarkah?"
       "Peluk aku dan aku pasti langsung mengantuk," ucap Jimin penuh senyum.
       "Mwoya?"
       Jimin hanya tersenyum kecil.
       "Keureondae, apa kawanmu yang bernama Seul Gi itu cantik?"
       "Kenapa membahas itu lagi? Aku tidak mau dengar dan tidak mau jawab," Jimin menghembuskan napas berat.
       "Akukan hanya bertanya. Oppa marah? Baiklah aku tidak akan bertanya lagi."
       "Dia teman dekatku di kampus. Kami sering mengerjakan tugas bersama. Aku membantunya dan dia juga membantuku. Dia sangat baik, dan aku senang memiliki teman sepertinya," Jimin akhirnya buka suara tentang Seul Gi. Sambil berbaring dan menerawang.
       "Aku pernah membaca, kalau cinta biasanya tumbuh dari pertemanan atau persahabatan. Mmm, aku rasa benih benih cintanya sudah mulai tumbuh," sindir Kim sambil melirik oppanya.
      Jimin terkekeh.
       "Sepertinya kau begitu rajin membaca," Jimin mengacak acak rambut Kim.
       "Bisakah oppa kenalkan aku dengannya? Paling tidak aku tahu seperti apa wajahnya."
       Jimin terkekeh.
       "Tidak perlu," jawabnya.
       "Wae?"
       "Maksudku, untuk apa?"
       "Aku ingin tahu seperti apa wajahnya. Apa dia memang cantik, atau bagaimana."
       Jimin tidak merespon.
       "Oppa . . . " mohon Kim dengan wajah polosnya membuat Jimin tidak sampai hati untuk menolak.
       "Lain kali saja, kalau ada waktu."
       "Chinchae? Gomawo," Kim tampak berbinar.
       Jimin hanya tersenyum.
       "Cepatlah tidur. Sudah larut. Aku akan kembali ke kamarku," ujar Jimin.
       "Keurae."
       "Eh, peluk dulu," Jimin kembali setelah beberapa langkah hendak meninggalkan kamar Kim.
       Kim memutar bola mata.
       "Nanti aku tidak bisa tidur," Jimin mulai merengek.
       Jimin akhirnya tersenyum puas setelah ia memeluk Kim dan akan tidur dengan tenang. Sepertinya ini akan menjadi kebiasaan baru baginya. Memeluk Kim sebelum tidur. Segera ia kembali ke kamarnya setelah acara berpelukan layaknya telletubbies itu usai. Tetap aman dan terkendali, karena tidak ada yang melihatnya masuk ke kamar Kim lalu berpelukan dengan si bungsu. Kalau tertangkap basah, pasti jadi ramai.
                                       ***
       Terik mentari di siang hari seolah tidak memberi ampun pada apapun yang ada di bumi. Panasnya menyengat layaknya hendak membakar kulit. Mahasiswa di kampus Jimin justru tidak terpengaruh dengan teriknya hari yang saat ini memang sedang musim panas. Begitu mata kuliah selesai, ia akan pergi untuk menjemput Kim. Jika masih ada waktu, ia bisa makan siang bersama di rumah.
       "Bagaimana harimu?" Jimin berbasa basi saat Kim masuk ke mobilnya begitu pulang sekolah.
       "Baik," jawab Kim sambil memasang sabuk pengaman.
       "Keurae," ujar Jimin sambil menarik tuas gigi dan mobil melaju menuju rumah.
       "Hari ini sepertinya aku akan pulang terlambat lagi," lanjutnya.
       "Ne? Waeyo?"
       "Aku harus mengerjakan skripsi bersama seorang teman. Akan kuminta Tae untuk membawa pulang mobil ini. Biar aku pulang bersama temanku itu. Tapi oppa janji tidak akan melewatkan makan malam. Oke?"
       "Begitu rupanya."
       "Berjanjilah kau tidak akan cemas."
       Kim mengangguk sambil mencoba tersenyum.
       "Sudah sampaaaaai!!! Aku akan turun sebentar untuk makan siang," ujar Jimin, masih semangat.
       Kim akhirnya turun dari mobil diikuti Jimin di belakangnya.
       Di dapur, Lee ahjumma baru saja selesai membersihkan meja dengan selembar serbet. Ia langsung siaga saat melihat Jimin dan Kim pulang bersamaan pada waktu makan siang.
       "Annyeong hasseyo, ahjumma," sapa Kim sambil membungkuk memberi hormat. Jimin juga melakukan hal yang sama, kemudian langsung duduk sambil menunggu Lee ahjumma menyiapkan makanannya.
       "Aku akan ganti baju," ucap Kim sembari berlalu menuju kamarnya.
       Jimin mengangguk sambil tersenyum kecil.
       Aneka menu tersaji di atas meja. Mulai dari telur gulung, kimchi yang tidak boleh tertinggal, nasi, tumis daging asam manis, tumis sayuran hijau makanan wajib favorit Kim, udang tempura dan bibimbab. Begitu semua menu keluar, tinggalah Jimin dan Kim yang cacing di perutnya meronta ronta minta diisi. Saliva di mulut sampai terasa asam karena tergiur oleh makanan makanan tersebut.
       Kim langsung mencomot kimchi dengan sumpitnya begitu Lee ahjumma meletakkannya di atas meja. Padahal hanya kimchi, pedas pula. Tapi entah apa yang membuat Kim begitu menyukainya.
       "Kau menyukainya?" Jimin menatap Kim yang menikmati tiap kunyahnya.
       Kim hanya mengangguk.
       "Kimchinya berbeda. Ini kimchi lobak muda. Lebih enak dari kimchi sawi putih. Ahjumma, kau luar biasa," ujarnya.
       "Chinchae?"
       "Cobalah."
       Jimin membuka mulut.
       "Apa?" Kim menautkan alis. Aneh melihat Jimin seperti itu.
       "Suapi aku."
       "Ne?" Kim tersentak. Apalagi Lee ahjumma seperti mengamati mereka.
       "Kau selalu terburu buru meninggalkan meja makan beberapa hari terakhir. Kau menyuapi Nam Joon hyung, kau bahkan tidur di sampingnya. Aku juga ingin seperti itu. Jadi, cepat. Suapi aku," Jimin mulai lagi. Mulutnya makin lebar. Menunggu Kim menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
       Kim menghela napas sambil memijit kening. Akhirnya ia pasrah, dan patuh untuk menyuapkan makanan pada Jimin. Lee ahjumma tertawa geli melihat kecemburuan majikannya. Tapi turut senang juga melihat mereka harmonis seperti itu.
       "Rasanya memang beda. Dan lebih enak," ucap Jimin.
       Setelah puas makan siang, Jimin memutuskan untuk kembali ke kampus. Masih ada 1 mata kuliah lagi yang dimulai setelah selesai makan siang. Karena itu, ia harus kembali.
       "Chae, oppa harus kembali ke kampus sekarang," desah Jimin sambil memakai tas punggungnya.
       "Keurae. Hati hati!"
       Jimin mengacungkan jempol.
       "Sampai jumpa!" seru Kim.
       Jimin hanya tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah Kim lalu menghilang di balik pintu.
                                       ***
       Cuaca panas di siang hari kini mulai meredup. Suasana tidak sepanas siang tadi di sore hari. Mobil Jimin sudah terparkir di garasi. Namun pemiliknya justru belum tiba di rumah.
       Dengan ria, Taehyung dan Jungkook bermain play station sambil sesekali mereka berteriak heboh. Lucu kalau di bayangkan ekspresi mereka saat menang atau pun kalah. Ada yang bersorak, ada juga yang memukul mukul lantai. Kejadian seperti itu sudah sering terjadi di rumah keluarga Bangthan. Sejak Kim datang ke rumah tersebut, melihat oppa oppanya bermain game adalah favoritnya. Terkadang ia turut tertawa, dan tak jarang juga salah satu dari keduanya memeluk Kim saat kalah dalam permainan.
       Bisa dibilang keluarga ini tambah harmonis setelah kedatangan Kim. Ia seolah menjadi prioritas baru bagi ketujuh oppanya. Hidup mereka memang sangat buruk di masa masa Seok Jin kuliah dulu. Ada begitu banyak beban yang dipikulnya ketika itu. Bagaimana caranya ia bisa lulus kuliah? Bagaimana ia mesti mendidik adik adiknya?
       Terkadang ia marah pada hidup ini. Ia marah pada keluarganya sendiri. Ayahnya tidak berguna itu selalu berfoya foya dan terus menghamburkan uang. Saat Ibunya mengandung Kim, ia tidak tampak senang. Rasa tidak senangnya itu bisa dimaksudkan sebagai kekhawatiran karena keluarga mereka telah memiliki 7 orang anak dan masih akan lahir 1 anak lagi. Pengeluaran akan semakin membesar.
       Oleh karena itu, Ayah dan Ibunya lebih sering bertengkar ketika Kim masih bayi merah. Akhir dari pertengkaran mereka adalah perginya Ibu dan Kim dari rumah. Saat itu Ibu menangis sejadi jadinya karena tidak ingin meninggalkan ketujuh putranya. Pembawaan Ayahnya seperti monster membuat anak anak Bangthan tidak bisa apa apa. Dan dari situlah sifat ganas dan brutal diwariskan pada Nam Joon. Dia orang pertama yang murka jika mendengar hal yang terkait dengan Ayah, ataupun masa lalu.
       Beruntung Bibi Kim bersedia menampung mereka di rumahnya. Ia juga sedikit membantu membiayai kuliah Seok Jin. Seok Jin sendiri sudah tentu merasa tidak nyaman merepotkan Bibinya. Karena itu ia bekerja paruh waktu untuk biaya kuliah. Ia tidak terlalu khawatir tentang makanan karena Bibi Kim bersedia menanggungnya.
       Segera setelah lulus kuliah, Seok Jin mencari kerja tanpa putus asa. Ia akhirnya diterima di sebuah perusahaan sebagai sekertaris direktur. Semangat dan kinerjanya yang baik membuatnya naik jabatan menggantikan sang direktur. Namun hal itu ia tolak dengan alasan hendak mendirikan perusahaan sendiri. Dan karena kinerjanya yang memuaskan itulah CEO perusahaan tersebut bersedia memodali usaha baru yang Seok Jin rintis benar benar dari nol.
       Setelah kurang lebih 5 tahun, Seok Jin memutuskan untuk memboyong adik adiknya agar meninggalkan rumah Bibi Kim. Ia membeli sebuah rumah dari hasil perusahaannya dan tinggal bersama. Ia juga telah mampu membiayai kuliah Yoon Gi, Ho Seok, dan Nam Joon hingga lulus. Nam Joon berhasil lulus menjadi salah satu dari 9 mahasiswa dengan IP tertinggi di kampusnya. Sehingga ia dapat langsung bekerja setelah lulus. Ketiga adiknya ini sekarang tidak lagi bergantung padanya. Mereka hidup dengan uang mereka sendiri.
       Namun Seok Jin masih merasa bertanggung jawab atas mereka sehingga tak jarang ia pun membantu baik masalah gemelut pekerjaan maupun finansial. Hingga sekarang mereka mampu berjuang dan bertahan hidup karena kerja keras Seok Jin. Yoon Gi, Ho Seok, dan Nam Joon saat ini telah memiliki pemikiran yang matang sehingga Seok Jin tidak terlalu risau. Kini ia fokus mengurus keempat adiknya lagi hingga lulus, bekerja, dan sukses kedepannya. Saat itu barulah Seok Jin merasa berhasil menjadi seorang hyung dan oppa.
                                        ***


OUR HIDDEN FAMILY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang