46. Tidak Waras

32 2 0
                                    

       "Apa lagi yang eonnie inginkan?" tanya Kim dingin dan tenang di luar tapi waspada di dalam.
       Seul Gi tersenyum miring lalu mendekatinya.
       "Eopseo (tidak ada)," jawabnya.
       Kim terkekeh.
       "Chinchae?"
       Seul Gi tidak menjawab, tetapi langsung merogoh sling bagnya dan mengeluarkan sebuah amplop. Lalu ia menyodorkan amplop tersebut dengan percaya diri.
       "Hanya saja, aku ingin membagi kebahagiaan denganmu," ujar Seul Gi.
       Kim terdiam dengan benaknya yang terus menerka nerka, apalagi yang dilakukan perempuan itu. Diterimanya amplop tersebut sambil terus berpikir dan sekaligus penasaran.
       "Tolong buka nanti saja. Saat aku meninggalkan tempat ini," cegah Seul Gi saat Kim bersiap untuk membuka amplopnya.
       "Baiklah, aku pergi," lanjutnya sambil melenggang meninggalkan tempat itu.
       Sesaat setelah Seul Gi menghilang dari sana, Kim langsung membuka amplop tersebut yang berisikan beberapa lembar. Ditariknya isi dari si amplop dan saat Kim melihat yang ada dalam kertas tersebut . . . Kim seperti dihujami ribuan anak panah.
       Sakit, sesak.
       Bulir bulir itu terus mengalir tanpa batas membasahi pipi Kim. Sungguh rasanya sakit di hati. Foto yang memalukan dan tidak senonoh diberikan oleh Seul Gi untuknya. Kim merasa sangat dibohongi oleh seorang kakak yang paling disayanginya. Meski sulit untuk percaya, tapi Jimin di foto itu benar benar . . . Ah, sudahlah. Tidak ada kata yang pas untuk menggambarkan hancurnya Kim karena foto itu.
                                        ***
       Seusai jam pelajaran terakhir, Kim bergegas untuk pulang. Ia lebih banyak diam dan merenung setelah pelajaran olahraga. Kenapa lagi kalau bukan karena perempuan tidak waras itu dan juga foto pemberiannya. Kim berniat pulang cepat tanpa menunggu Jimin menjemputnya. Biasanya dia memang menunggu sejenak. Setelah Jimin menjemputnya, barulah ia keluar.
       Namun kali ini ia tidak ingin bertemu dengan oppanya itu. Rasanya ingin marah karena kebohongannya semalam. Kalau sampai Kim bertemu dengannya, Kim tidak akan sanggup menahan betapa hancurnya dia.
       Sebuah taxi berhenti tepat di depan gerbang. Tanpa berpikir dua kali, Kim langsung masuk sambil memegang sebuah buku yang sesungguhnya terselip foto terkutuk itu. Saat ia telah duduk dengan tenang di kursi penumpang dalam taxi tersebut, Kim mendadak teringat ucapan Jimin malam kemarin lusa.
       Dia tidak menyukai perempuan itu. Tidak pernah, tidak akan pernah, tidak mungkin, dan tidak akan mungkin. Dia tidak akan berpikir untuk berkencan dengannya. Akan sangat buruk jika sampai itu terjadi. Tidak masalah jika ia mesti membujang seumur hidup. Walau saudara saudaranya telah menikah dan punya rumah sendiri, dia akan tetap bersama Kim di rumah mereka. Bahkan berniat menjadikan Kim sebagai putrinya. Kira kira seperti itulah yang Jimin katakan.
       Jadi apa semua yang dikatakannya itu bukanlah kejujuran?
       Setiap kali Kim memikirkan serangkaian kejadian sejak Seul Gi datang ke rumah, ia terus merasa gelisah. Apalagi keadaannya sudah semakin buruk sekarang. Ia tidak tahu alasan apa yang akan Jimin katakan jika dirinya melihat foto itu. Bagaimana caranya mengelak nanti?
       Lupakan. Hari ini ia akan berusaha untuk tidak bertemu Jimin. Memang sulit, tapi ia butuh sendiri. Ia harus bisa berpikir jernih. Dan seharusnya Kim lebih percaya pada Jimin yang oppanya sendiri dibanding dengan Seul Gi yang bukan siapa siapa dan sudah jelas perempuan tidak waras itu menyimpan dendam pada Kim. Atau mungkin, ini adalah bagian dari pembalasan dendamnya? Tapi jika boleh Kim ingin bilang, caranya ini sungguh klasik. Mengusik orang lain dengan foto seperti itu sudah banyak terjadi di dalam drama atau film. Tapi kenyataannya ini memang menyakitkan untuk Kim.
       Di sepanjang perjalan otak Kim terus berputar memikirkan Jimin. Tubuhnya ada di dalam taxi, tapi pikirannya sudah melayang layang entah kemana. Pikirannya hanya satu. Foto terkutuk itu. Sejak Kim masuk ke dalam taxi, sebenarnya ia sudah tidak tahan ingin menangis. Tapi malu dengan supir taxinya. Namun perlahan lahan ia mulai berani karena memang air mata itu tidak bisa terbendung lagi dan sudah memaksa untuk ditumpahkan keluar.
                                       ***
       Ho Seok, Taehyung, dan Jungkook sedang berkumpul di ruang tamu sepulang kampus siang ini. Mata kuliah hanya ada 1 hari ini sehingga Taehyung dan Jungkook bisa pulang lebih awal. Sedangkan Ho Seok sengaja mengambil cuti sehari karena penyakit anti duriannya kambuh. Pasalnya dua hari yang lalu rekan kerjanya membagikan beberapa durian. Akhirnya Ho Seok keliengan karena seluruh ruang dipenuhi aroma durian. Jadi, hari ini Ho Seok sengaja tidak masuk untuk merecovery tubuh.
       "Hei, hei. Kenapa anak itu?" Taehyung menatap Kim yang masuk rumah tanpa mengucap salam.
       "Masuk seenaknya, tidak beri salam," sambung Ho Seok.
       "Dia makin aneh," tambah Jungkook.
       Tanpa mempedulikan oppa oppanya di ruang tamu, Kim langsung membuka pintu dan menuju kamarnya. Matanya merah dan sembab. Oleh karenanya ia tidak ingin mereka melihatnya. Maka berjalanlah ia dengan cepat tanpa memberi salam.
       Pintu kamar ditutup dengan kasar oleh Kim. Ho Seok dan kedua adiknya sempat terjingkat karena kedengarannya Kim sedang marah sampai sampai membanting pintu. Mereka terus bertanya, kenapa dengan anak itu? Apa yang membuatnya marah? Benarkah dia marah? Kenapa dia pulang sendiri? Tapi apa gunanya. Mereka tidak mengungkapkan kekhawatiran itu. Biarkan saja dia sendiri dahulu. Saat sudah lebih tenang, baru akan mereka coba bicarakan.
       Kim bersandar pada pintu kamar yang tertutup sambil memegangi sebuah buku berwarna hijau lumut. Buku itu ia peluk sambil menangis tak bersuara. Takut kalau kalau oppanya di bawah mendengar.
       Braak
       "Annyeong hasimnikka," Jimin mendorong pintu tergesa gesa.
       "Eung. Dari mana saja kau? Kenapa Kim pulang tanpamu tadi?" cecar Ho Seok.
       "Apa dia sudah pulang?"
       "Dia di kamar sekarang," jawab Ho Seok tenang.
       "Huh," Jimin mengelus dada.
       "Keundae . . . Dia terlihat marah saat tiba di rumah. Dia bahkan tidak beri salam," ujar Jungkook.
       "Jangankan menyapa kami, mengatakan sesuatu saja tidak," sambung Ho Seok.
       "Apa benar begitu?" Jimin mengerutkan kening.
       Taehyung mendekatinya.
       "Semua pasti karena kau terlambat menjemputnya," goda Taehyung sambil menunjuk nunjuk Jimin.
       Jimin memukul tangan Taehyung seraya menjauhkannya dari wajah Jimin. Taehyung memekik karena Jimin memukulnya begitu tiba tiba.
       "Aku tidak pernah terlambat menjemputnya. Lagipula hanya aku yang menjemput. Kau mana pernah," protes Jimin.
       "Baiklah. Kalau begitu mulai besok aku yang menjemputnya," jawab Taehyung senang hati.
       "Andae," cegah Jimin cepat.

Aish, chinchae. Tadi dia memprotes, sekarang dia melarangku. Orang ini maunya apa sebenarnya? Dasar! Mungkinkah orang tua sepertinya sangat cepat mengubah perkataan, pendapat, dan keputusan?

Gumam Tae sambil mendengus. (Alamat dihajar kalau Jimin denger barusan dikatain tua). (Kelar idup lo, Tae).
       "Apa menurutmu Seul Gi kembali berulah?" tanya Jungkook.
       "Mungkin saja dia yang menyebabkan Kim sampai marah begitu," tambah Ho Seok.
       "Wah, sepertinya masalahnya akan semakin panjang," timpal Taehyung.
       Jimin terdiam dan berpikir sejenak.
       "Biar aku coba tanyakan," ujar Jimin kemudian. Setelah itu melangkah menuju kamar di lantai 2.
       Tok Tok Tok
       "Kim, apa kau di dalam?" tanya Jimin sambil mengetuk pintu.
       Kim tersadar saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Sebelum ini, ia meringkuk di lantai sambil banjir air mata. Seragam sekolahnya masih melekat di tubuh tanpa ada niat untuk melepasnya lalu bertemu atau sekedar membukakan pintu untuk Jimin agar oppanya bisa lega setelah melihatnya pulang dengan selamat. Karena peristiwa yang terjadi siang tadi membuatnya tidak ingin melakukan apapun kecuali diam dan menangis.
       Kenapa tiba tiba oppa yang paling disayanginya berbohong untuk hal yang memalukan seperti ini? Kim merasa Jimin tidak peduli pada apa yang dilakukan Seul Gi sampai ia terus dihantui ketakutan dan kecemasan. Dia juga sudah berbohong tentang perasaannya yang katanya tidak mungkin menyukai seorang Seul Gi yang tidak waras. Juga perkataannya yang tidak ingin mencari seorang kekasih meski saudara saudaranya telah beristri semua. Jimin bahkan berniat menjadikan Kim sebagai putrinya bukan adiknya. Ironis.
       Tok Tok Tok
       "Kenapa tidak tunggu oppa menjemputmu? Apa semua baik baik saja?" sekali lagi Jimin mengetuk pintu.
       "Aku baik baik saja," jawab Kim tanpa membuka pintu dengan suara parau.
       "Kenapa? Kenapa nada bicaramu seperti itu?" Jimin mulai paranoid. Hanya mendengar nada bicaranya saja, dia langsung tahu jika Kim sedang tidak baik.
       "Kau sungguh baik baik saja?"
       Tok Tok Tok
       "Kenapa kau tidak buka pintunya?" Jimin terus mengetuk pintu.
       "Aku hanya tidak enak badan karena lelah," jawab Kim lagi.
       "Apa?! Apa kau sakit? Haruskah oppa ambilkan obat untukmu?" Jimin semakin cemas.
       Bodoh. Kenapa mengatakan kalau dia tidak enak badan? Sudah tahu oppa yang satu itu paranoid. Otaknya buntu. Tidak bisa mencari alasan.
       "Tidak apa. Aku akan merasa baik jika sudah istirahat," bohong Kim.
       "Arraseo," ujar Jimin lemah kemudian berlalu menuruni tangga.
       "Eottae?" Ho Seok penasaran.
       "Katanya tidak enak badan," jawab Jimin.
       "Mwo?!" Ho Seok, Taehyung, dan Jungkook membelalak.
       "Apa dia sakit?" tambah Taehyung.
       "Dia bilang akan merasa lebih baik setelah istirahat."
       Ketiganya menghembuskan napas lega.
                                        ***

OUR HIDDEN FAMILY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang