52. Mendung

32 3 0
                                    

       Suara jangkrik yang berpadu dengan rintik hujan memberikan kesan tenang malam ini. Tetesan airnya nampak membasahi jendela kamar Kim. Merenung sambil menikmati sejuknya suasana adalah hal yang paling sering dilakukan Kim saat sedang menatap hujan. Dan lagi lagi, hal yang memenuhi benaknya adalah Jimin.
       Tak henti hentinya ia memikirkan oppa yang satu itu. Dia mungkin tidak bisa tidur semalaman. Dan semakin Kim terus memikirkannya, dia justru merasa frustasi. Rangkaian kejadian itu benar benar murni seperti drama. Sambil memijat kening, Kim mencoba melupakan masalah itu. Tujuannya datang kemari karena memang ingin menenangkan diri.
       "Aaaaaaah," Kim mengacak acak rambutnya sendiri lalu terduduk di dekat meja belajarnya.

Kenapa semua jadi seperti ini?

Gumamnya.
       Tok Tok Tok
       Nenek langsung membuka pintu dan memasuki kamar Kim, tanpa menunggu jawaban dari dalam. Dilihatnya sang cucu berwajah murung seperti sedang gelisah. Biasanya dia belajar sekarang. Nenek berpikir, apa yang mengganggunya sampai lupa belajar?
       "Kau tidak belajar?" tanya Nenek seraya duduk di sisi Kim.
       "Aniyo," Kim menggeleng.
       "Jika aku belajar pun, tidak akan ada gunanya," tambahnya.
       "Mwo? Mwolagoyo?" (Apa? Apa kau bilang?)
       "Aku tidak bisa konsentrasi," jawab Kim sambil menyandarkan kepalanya di bahu Nenek dan memeluk lengannya.
       "Arrayo," (aku sudah tahu) Nenek mengelus rambut Kim.
       "Mwoga?" (Tentang apa?)
       "Dengar, kau harus belajar untuk mengendalikan keadaan dan cobalah untuk menyelesaikan masalahmu. Sekarang kau punya oppa yang bisa menjaga dan menjamin hidupmu. Kau sebaiknya jangan berpikir mereka membohongimu karena tidak peduli.
Jimin . . . Mungkin saja saat ia mengatakan banyak hal padamu, semuanya belum seburuk ini. Wanita itu . . . Siapa namanya?"
       "Seul Gi."
       "Eung, keurae. Mungkin saja dia yang memperkeruh keadaan."
       Nenek terdiam sejenak sementara Kim terud mendengarkan dan menunggu kelanjutan ceritanya.
       "Jimin . . . Sangat menyayangimu. Apa kau tidak cemas bagaimana dia saat ini? Cucu Nenek tidak boleh bepikir dangkal. Jimin mengantarmu ke sekolah, dia juga menjemputmu, dia tidak bisa tidur tanpamu, dia memelukmu, kalian makan bersama, bersenang senang bersama, harusnya kau tidak boleh mengabaikannya," jelas Nenek.
       Kim terdiam sedari tadi. Namun ternyata ia menangis. Wajahnya sudah basah oleh air mata. Yang Nenek katakan ada benarnya. Semua oppanya sayang padanya. Mereka punya naluri satu sama lain. Tapi mengapa kali ini Kim tidak bisa berpikir jernih. Ia justru meninggalkan mereka dan tinggal di rumah Nenek. Kim sendiri tidak bisa pungkiri, bahwa ia juga sayang, ia cemas, dan juga rindu pada mereka.
       "Taehyung oppa yang menceritakannya pada Nenek?" tanya Kim sambil mengusap air matanya.
       "Anya. Nenek yang memaksanya bercerita," Nenek mengelus pipi cucunya.
       "Keureom, eottokkhae?" (Jadi, bagaimana?) tangisan Kim kembali pecah dan langsung memeluk Nenek lagi.
       "Gwaenchanhae. Tenangkan saja dirimu di sini."
       "Apa kau tahu bahwa dia memarahi wanita itu?" lanjut Nenek.
       "Eung? Aniyo," Kim mengangkat wajah lalu melepas pelukannya.
       Nenek hanya mendesah.
       "Nenek, beritahu aku," bujuk Kim.
       "Ya, Jimin memang memarahi Seul Gi di kampus."

Di kampus? Apa di depan semua orang?

Batin Kim.
       "Lalu?"
       "Lalu . . . ? Lalu dia marah. Dia sangat marah begitu melihatnya. Dia juga menangis. Dia merobek foto itu hingga menjadi serpihan dan melemparkannya ke wajah Seul Gi. Bayangkan jika  foto itu tersebar dan semua orang melihatnya. Dia pasti sangat malu. Ditambah lagi kau meninggalkannya sekarang. Dia pasti merasa sedih karena kau kembali meninggalkannya. Dia merasa kau meninggalkan mereka seperti 17 tahun yang lalu. Bukan hanya Jimin yang sedih. Oppa oppa yang lain juga sedih karena hal yang sama. Kau pergi seperti 17 tahun yang lalu," sambung Nenek.

OUR HIDDEN FAMILY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang