21. BTS . . . ?

60 3 0
                                    

       "Anio, gwenchanae. Aku sudah terbiasa," jawab Kim yang diangguki oleh Seok Jin.
       Sesaat kemudian . . . .
       Terdengar suara sesuatu.
       "Suara apa itu?" tanya Kim.
       "Mwo? Kau mendengarnya?" ujar Seok Jin malu.
       "Oppa, apa kau lapar?"
       Seok Jin hanya nyengir kuda. Kim tersenyum geli melihat tingkah oppanya yang selalu ada ada saja. Diambilnya sebuah mangkuk kecil lalu ia menciduk bibimbab yang masih panas. Sebagai taster, Kim meminta Seok Jin untuk mencicipi masakannya.
       "Ini. Cobalah," katanya sambil menyodorkan mangkuk tersebut.
       "Waaah, tampaknya lezat sekali," Seok Jin mengambil sendok lalu menyeruput kuah bibimbab yang merah.
       "Aaaaaigo, chinchae."
       Ia meminum habis kuah tersebut bersama dengan isi isinya. Ekspresi yang ditunjukkannya seolah mengatakan, bahwa masakan Kim memang lezat.
       "Bagaimana rasanya?" Kim penasaran.
       Seok Jin tidak menjawab. Melainkan hanya mengacungkan ibu jari sambil tersenyum lebar.
       "Selamat pagi duniaaaaaaaa !!!!!!!!!" Ho Seok menyapa saat ia memasuki ruang makan dengan semangat seperti biasa. Hanya saja untuk yang satu ini, senyumnya sengaja dibuat semanis mungkin.
       Seok Jin dan Kim menoleh lalu membalasnya dengan sebuah senyum.
       "Selamat pagi, Kim," Ho Seok kembali menyapanya saat Kim kebetulan menoleh ke arahnya.
       "Selamat pagi, oppa," jawab Kim sambil tersenyum seraya meletakkan mangkuk besar berwarna hitam yang berisi bibimbab buatannya.
       Mata semua orang langsung tertuju pada mangkuk tersebut. Aroma dan tampilan yang menggoda, apalagi hari ini cuacanya dingin. Saliva yang mereka telan menjadi terasa asam karena tergiur. Sesaat kemudian, Kim kembali meletakkan mangkuk besar, bedanya mangkuk yang satu ini berisi sup rumput laut.
       Diikuti oleh Seok Jin yang membawa satu piring berisi telur gulung dan mangkuk sedang berisi kimchi. Langsung saja, Kim menjimpit sedikit kimchi sambil mengambil beberapa buah gelas untuk minum. Tentu saja, karena tidak tahan.
       "Cuci tangan dulu," tegur Seok Jin.
       Kimberly hanya tersenyum menggemaskan. Segera ia mencuci tangan setelah itu. Lalu bersiap untuk sarapan bersama 7 oppanya.
       "Keureonde, semalam kau tidur dimana, Jim?" tanya Ho Seok sambil mengaduk aduk kimchi di mangkuknya.
       Jimin dan Kimberly tersentak. Mereka saling melempar pandangan. Kim sudah berjanji tidak akan beritahu bahwa semalam Jimin tidur bersamanya. Ia tetap diam seolah menyerahkan semua pada Jimin. Ia mau berbohong atau mengaku, tidak ada bedanya untuk Kim.
       "Semalam . . . Aku . . . Tidur di sofa," jawab Jimin asal.
       "Sofa? Waeyo?"
       "Panas," Jimin meniup niup kuah sup rumput laut selagi hyungnya sedang berbicara.
       "Mwo?"
       "Hah? Maksudku, semalam aku susah tidur. Jadi aku pindah ke sofa. Lagipula aku kepanasan semalam," Jimin was was.
       Ho Seok manggut mengerti. Jimin menghembuskan napas lega. Sama halnya Kim, tak perlu berbohong pada Ho Seok oppa karena Jimin sudah mengurusnya sehingga Ho Seok tidak bertanya apapun padanya.
       "Hari ini, kami akan mengantarmu ke sekolah," ucap Yoon Gi.
       Kimberly menoleh cepat dengan mulut penuh kimchi.
       "Maksudnya kalian semua?" tanyanya sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya.
       "Iya, kami semua," Tae memperjelas.
       "Bukankah itu ide bagus? Kau tidak keberatan?" tanya Jimin.
       Kim menggeleng.
       "Chota", lanjutnya.
       Sarapan sudah selesai, saatnya berangkat sekolah. Sesuai rencana, Kim diantar oleh semua oppanya. Ya, ketujuhnya. Mobil Seok Jin pun menjadi pilihan karena tampak lebih luas. Seperti biasa, Seok Jin dipercayakan untuk mengemudi karena ia merupakan saudara tertua.
       Cerita dan canda tawa mewarnai perjalanan mereka pagi itu. Tertawa lepas saat Ho Seok menceritakan lelucon. Ekspresi aneh yang ia buat dan tertawa khasnya yang mirip kuda. (Mohon maaf yang sebesar besarnya kepada Army nya JHope, jikalau aku menistakannya). Hingga tak terasa mereka telah tiba di sekolah Kim.
       Mereka keluar satu persatu dengan gaya coolnya. (Padahal aslinya absurd). (Bayangin aja ada angin sepoi sepoi. Terus rambut mereka terbang terbang gitu).
       Kim tersenyum pada mereka lalu melambaikan tangan. Oppa oppanya pun membalas senyum dan lambaian tangan adik mereka. Tak peduli siswi siswi di sana yang histeris melihat 7 namja yang tampan tampan.
       "Siapa lagi itu?" tanya Rae In di depan gerbang.
       "Oppaku," jawab Kim santai.
       "Mwo?" Rae In terbelalak.
       "Waeyo?"
       "Yang benar saja. Kau punya 7 oppa?"
       Kim mengangguk.
       "Aaaaaaa !!!!!!!!!!!" Rae In tiba tiba histeris.
       Kimberly memicingkan mata sambil menutup telinga.
       "Kau ini kenapa?" Kim menyikut lengan Rae In sehingga ia langsung diam seketika.
       "Kau tidak tahu?"
       "Mwoya?"
       "Neo chinchae molla?" (Kau sungguh tidak tahu?)
       "Langsung saja ke intinya," Kim mulai kesal.
       "Mereka itu boyband terkenal. Kau sungguh tidak mengetahuinya?"
       "Boyband?"
       "BTS."
       "BTS?  Aku tidak pernah dengar."
       "Yang benar saja. Mereka itu boyband yang paling terkenal sepanjang masa. Ya ampun," Rae In semakin geram.
       "Aku sungguh tidak tahu," gumam Kim.
       "Apa kau tidak pernah menonton TV?"
       Kim menggeleng.
       "Ah, keurae. Kau hanya membaca buku bukan menonton TV. Benarkan?"
       Kim hanya cengengesan.
       "Ngomong ngomong, apa kau tinggal satu rumah dengan mereka?"
       "Eung," jawab Kim polos.
       "Bagus. Aku punya beberapa barang yang harus mereka tanda tangani."
       "Katakan saja, kau mau memintaku melakukannya, kan?" tebak Kim.
       Sekarang giliran Rae In yang cengengesan. Kimberly menatapnya jengah kemudian berlalu menuju kelas. Setelah menyimpan tas, Kim meraih ponsel lalu mengetik kata 'BTS' pada browsernya. Beberapa detik kemudian, muncullah foto, profil, dan ulasan tentang BTS.
       Benar saja, yang muncul memang wajah oppa oppanya, dan Nam Joon oppa adalah leadernya. (Waaaaaaahh, amazing). Setelah membaca beberapa artikel dan ulasan, barulah ia menyadari bahwa keluarganya memiliki image yang tidak main main. Segudang prestasi yang berhasil mereka raih membuatnya bangga dan termotivasi. Kim juga ingin seperti oppa oppanya yang dikenal seluruh dunia.
       "Selamat pagi semua," pak guru Shin, guru mata pelajaran sejarah yang terkenal killer memasuki ruang kelas dan langsung disambut oleh seluruh siswanya.
       "Selamat pagi," para siswa berdiri tegap lalu membungkukkan badan seraya memberi hormat.
       "Baiklah, kita akan mulai pelajaran. Seperti biasa, matikan ponsel selama jam pelajaran. Sekarang, naikkan buku catatan kalian,'' pintanya setelah murid murid duduk kembali.
       Kim membalikkan badan hendak membuka tas lalu mengambil buku catatannya. Namun tiba tiba saja ponsel di tangannya terjatuh sebelum sempat ia masukkan kedalam tas. Segera dipungutnya benda tersebut lalu berniat segera memasukkannya ke dalam tas. Baru saja ia bangkit, pak Shin langsung menegurnya.
       "Kimberly," ucapnya.
       Kimberly menoleh cepat seraya setengah terkejut.
       "Ye," jawabnya.
       "Bukankah sudah kukatakan, jangan gunakan ponsel saat sedang belajar?"
       "Benar pak guru," Kimberly mulai gugup.
       "Lalu apa yang kau pegang itu?"
        Kim terdiam sambil menatap ponsel di tangannya. Pak guru Shin berjalan mendekati kursinya.  
       "Berikan ponselmu," pintanya.
       "Ne?"
       "Berikan," ulangnya.
       "Keunde, aku tidak sedang bermain ponsel . . ." sangkal Kim.
       Pak guru Shin langsung meninggalkan tempat duduk Kim tanpa mengatakan apapun setelah mengambil ponselnya. Rae In tidak berani mengangkat wajahnya meski ia tahu bahwa Kim memang tidak sedang bermain dengan ponselnya. Walaupun Rae In kawan sebangkunya, tapi apalah dayanya. Ia akan terkena musibah jika mencoba membantu atau melakukan sesuatu.
       Kim tampak sangat khawatir dan gelisah. Cemas kalau kalau oppanya menelpon. Mereka pasti akan lakukan sesuatu jika mengatahui apa yang sedang terjadi. Kalau diperlukan, Kim akan pulang ke rumah nenek saja. Yang ia pikirkan, rasanya seperti tidak mampu menghadapi oppa oppanya yang berjumlah 7 orang itu.
       Sepanjang hari ini, pikiran Kim sangatlah kacau. Pelajaran hari tidak ada yang tertinggal di otaknya sama sekali. Sempat ia berpikir untuk pulang sendiri dan sedikit lebih cepat. Agar ia tidak bertemu dengan Jimin oppa yang hendak menjemputnya saat jam pulang sekolah.
       Bu guru Oh meninggalkan ruang kelas setelah jam pelajaran terakhir telah selesai. Kim memasukkan bukunya ke dalam tas sesegera mungkin.
       "Rae In, aku duluan," katanya sambil berlari setelah menepuk pundak Rae In saat mereka berpapasan di koridor.
       Cekiiiiiiiiiiittt . . . . . . . . . . .
       Langkah seribu Kim terhenti seketika saat sebuah mobil tiba tiba berhenti tepat di depannya. Jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya. Sehingga ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
       "Oppa . . ." mata Kim membulat.
       "Naik," ujar Jimin datar.
       Kim tertunduk pasrah. Rencananya melarikan diri ke rumah nenek sama sekali bukanlah rencana yang baik. Jimin memang belum pernah terlambat menjemput adiknya itu. Perasaan Kim semakin tidak karuan lantaran Jimin terdiam sepanjang perjalanan. Ia semakin yakin, bahwa kemungkinan baginya untuk selamat sangatlah minim.
       Akhirnya mobil berhenti di garasi rumah mereka. Mobil Seok Jin oppa juga sudah terparkir di sana. Berarti semua orang sedang berkumpul di rumah. Habislah Kim jika ia sungguh disidang dan diadili oleh oppa oppanya.
       Jimin membuka pintu.
       "Annyeong hasimnikka."
       Semua menoleh cepat kearah Kim yang berdiri di samping Jimin.
       "Gwenchanaeyo?" Taehyung langsung mendekati Kim diikuti Jungkook dan menepuk pundaknya.
       "Kau tidak dihukum oleh gurumu, kan?" tambah Jungkook.
       Kim menatap keduanya bingung.
       "Bagaimana bisa ponselmu disita?" timpal Seok Jin geram.
       "Ne?"
       "Jimin menelpon tapi gurumu yang mengangkat. Dia mengatakan kau bermain ponsel saat jam pelajarannya. Karena itu dia menyita ponselmu. Keuraesemnikka? (benarkah itu?)" ujar Yoon Gi santai.
       Kim menunduk sambil mengangguk pelan.
       Takut.
       "Coba ceritakan. Kenapa bisa terjadi?" Ho Seok juga sudah mulai geram seperti Seok Jin.
       Kim terdiam. Tanpa mengangkat kepalanya.
       "Gwenchanae, ne. Uljimarayo. Ceritakan saja. Eung?" Jimin memeluk adiknya erat saat air matanya jatuh perlahan.
       Seolah ia mengerti bahwa Kim sedang ketakutan. Ia pasti berpikir bahwa mereka bertujuh akan marah. Jimin mengelus rambutnya lembut. Sesaat kemudian, Kim melepas pelukan oppanya dan mencoba mengangkat wajahnya.
       "Naega chinchae . . . Igeu . . . Ireoghae anya," (aku sungguh . . . Ini . . . Tidak seperti itu)
       "Wae geuraeyo? Uljima," ujar Taehyung sambil menepuk nepuk punggung adiknya.
       "Gwenchanae. Ceritakan saja," Jungkook mengusap air matanya.
       "Kami tidak akan marah," hibur Seok Jin.
       "Aku sungguh tidak sedang bermain dengan ponselku. Aku terlihat memegangnya karena itu terjatuh saat aku hendak memasukkannya kedalam tas. Jika tidak percaya, oppa tanyakan saja pada teman sebangkuku," jelas Kim.
       "Kami percaya padamu," Nam Joon angkat bicara namun tanpa ekspresi.
       "Aku benci sekali guru itu," lanjutnya.
       "Mwo?" Kim tertegun.
       Semua menoleh ke arah Nam Joon yang seperti menyimpan dendam.
       "Pak Shin, oppa mengenalnya?"
       Nam Joon tersenyum sinis sekilas.
       "Tidak mungkin aku tidak mengenalnya," jawabnya singkat.
       Kimberly menautkan alis.
       "Dia juga guruku saat masih SMA. Aku pernah nyaris didrop out karena tuduhan palsunya. Aku benci dengan sikapnya yang banyak alasan tapi tidak pernah mau menerima alasan," lanjutnya.
       "Kenapa oppa nyaris didrop out?"
       "Karena dia melihatku memanjat pagar. Dia bersikukuh menganggap aku hendak membolos saat sidang hari itu."
       "Itu pasti tidak benar."
       "Tentu saja. Aku hanya ingin menolong seekor kucing yang tersangkut di sana," Nam Joon kembali tersenyum masam.
       "Lupakan semua itu. Hyung, kita harus bicarakan ini," tambahnya.
       Seok Jin beranjak.
       "Keurae. Khajja," ujarnya.
       "Kim menunggu di sini tidak apa apa, kan?" ucap Jungkook lembut.
       Kim mengangguk pelan. Saat semua oppanya menuju ruang kerja Seok Jin, Kim terduduk pasrah di sebuah sofa dekat pintu ruang kerja Seok Jin oppa. Menunggu dan menerima keputusan mereka. Apapun itu. Ia menghembuskan napas panjang. Sungguh ini adalah hari yang melelahkan.
                                        ***

Recommended song :
BTS - Love Myself

OUR HIDDEN FAMILY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang