87. Rumah Bang Sihyuk

36 3 0
                                    

       "Park Hyeon Joon hwaejangnim . . . Ije kkeutnaegoya," (Presedir Hyeon Joon . . . Sekarang semuanya berakhir) ucap Seok Jin di depan pintu lobby saat ia tidak sengaja berpapasan dengan Hyeon Joon.
       Mendengar itu, Hyeon Joon jadi semakin terbakar.

Anak itu, benar benar . . .

Geram Hyeon Joon.
       Sesaat kemudian, mobil venn hitam berkilau berhenti tepat di depan Seok Jin. Tampak Nam Joon sedang mengemudi, sedangkan yang lain duduk di kursi penumpang. Setelah mencibir Hyeon Joon, Seok Jin lalu masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Hyeon Joon yang hatinya uring uringan.
                                  ***

5 Januari 2019

       Sidang ketiga gugatan hak asuh Kim kembali digelar siang ini. Dengan agenda "Pembacaan Keputusan". Sejauh ini, Hyeon Joon tidak melakukan apapun. Mungkin lebih ke tidak bisa melakukan apapun daripada tidak melakukan apapun. Hanya saja pengacara Choi tidak bisa hadir dan hanya diwakili oleh seniornya, Bang Sihyuk.
                                 ***
       Ding . . . . . Dong . . . . .

       Pengacara Choi membawa beberapa orang detektif, mendatangi rumah Hyeon Joon. Hyeon Joon sendiri sedang berada di pengadilan. Jadi ini merupakan celah yang harus dimanfaatkan.
       Detektif yang disertakan pengacara Choi kali ini benar benar membantu. Anak buah Hyeon Joon tidak berani menghalangi mereka untuk masuk. Hal yang mengganjal adalah Chan Bin berada di rumah, bukannya mendampingi majikannya di pengadilan.
       Parahnya lagi, Chan Bin membukakan pintu untuk mereka dan mempersilahkan mereka masuk juga. Dengan cepat dan sigap, ia menutup pintu dan tirai jendela. Takut kalau kalau ada salah satu anak buah Hyeon Joon yang melihatnya.
       Begitu mereka masuk, Chan Bin lalu berlari ke kamar dan kembali lagi bersama Kim. Ya, seperti sudah direncanakan. Pengacara Choi langsung membawa Kim keluar lalu pergi.
       Begitu saja.
                                  ***
       "Annyeong hasimnikka!" pengacara Choi membuka pintu sebuah rumah, yang jelas bukan rumahnya.
       "Paman . . . " mendengar ada orang yang datang, sang pemilik rumah langsung turun untuk melihat.
       "Kau kemarilah," pinta pengacara Choi pada seorang anak remaja yang baru saja memanggilnya paman.
       Laki laki itu lalu menghampiri pamannya dengan masih tertegun melihat Kim bersamanya.
       "Tolong kau jaga dia untukku. Aku dan Ayahmu sedang ada klien penting. Tidak akan lama. Tolong kau bantu kami, ya," bisik pengacara Choi.
       Laki laki itu manggut manggut.
       "Keundae, geugeo nuguya?" tanyanya kemudian.
       "Adiknya Seok Jin," jawab pengacara Choi pendek.
       "Ooo, Jin hyung? Apa dia klien kalian?"
       "Eung. Sudah jangan banyak tanya. Kau bisa mengurusnya, kan?"
       "Keurae. Serahkan padaku. Geogjeongma."
       "Arraseo. Kim, aku akan kembali ke pengadilan. Kau harus tetap di sini sampai Seok Jin oppa datang menjemputmu," ujar pengacara Choi.
       "Algaeseumnida," jawab Kim.
       "Tolong jaga dia, ya."
       "Ne," jawab keponakannya mengiyakan. Seraya hormat sambil senyum bercanda.

       Setelah itu pengacara Choi meninggalkan rumah Bang Sihyuk dan segera kembali ke pengadilan. Menyisakan Kim dan laki laki itu di rumah Bang Sihyuk. Dari yang dilihat, anak laki laki Bang Sihyuk ini usianya tidak begitu jauh dengan Kim. Hidungnya mancung, dan dagunya sedikit lancip. (Lancipnya dikiiiiiiiit banget). Tampangnya sangat lembut dan ramah.
       Sepeninggalan pengacara Choi, mereka masih diam berdiri di tempat masing masing. Sesekali saling menatap, dan salah tingkah. Tidak ada pembicaraan, dan dua duanya canggung untuk sekedar saling menyapa. Kim hanya menunduk saat tak sengaja beradu pandang dengan laki laki di depannya.
       "Annyeong," sapanya.
       Kim sedikit terjingkat dan refleks menatapnya.
       "Ne. Annyeong," jawabnya.
       Laki laki itu tersenyum.
       Manisnya.
       "Deoneun Na Jaemin imnida. Ppangawayo." (namaku Na Jaemin. Senang bertemu denganmu).
       "Ne, deodo. Nan Kimberly Park imnida."
       "Benarkah kau adiknya Jin hyung?"
       "Keureoseumnida."
       "Anjeoaseo," (silahkan duduk) laki laki bernama Jaemin itu mempersilahkan Kim duduk.
       "Ajhuma! Tolong buatkan minum," ia juga meminta asisten rumah tangga untuk membuatkan minum.
       "Jadi benar Jin hyung itu oppamu?"
       Kim mengangguk sambil tersenyum kecil. Jaemin juga hanya manggut manggut. Sesaat kemudian, minuman datang. Segelas teh hangat. Sedapnya.
       "Ayo minumlah. Aku sengaja meminta Ahjuma membuatkan minuman hangat. Karena aku lihat kau kedinginan dan memakai jaket."
       "Gamshamnida," Kim lalu mengangkat cangkir teh lalu meminumnya sedikit. Hangat sekali.
       Jaemin kembali tersenyum melihat Kim.
       "Jadi karena kau adiknya Jin hyung, aku akan mengajakmu makan siang."
       "Ne?"
       "Kenapa? Kau tidak suka?"
       "Bukan. Tapi aku merasa sedikit . . ."
       "Ah, inikan hanya makan siang," potong Jaemin.
       "Tapi . . ."
       "Ah . . ." tahu tahu Jaemin sudah menarik Kim dan mengajaknya makan bersama. Kim sudah pasti terkejut. Sejak tadi Jaemin terus menyebut nyebut Seok Jin oppa. Seberapa dekat mereka?
       Makan siang sudah tersaji dengan segala menu. Jaemin terus tersenyum pada Kim. Kim berpikir, mungkin dia tidak mau dianggap sombong. Dia juga kenal baik dengan Seok Jin oppa. Jadi dia harus sopan pada adiknya juga. Meskipun Kim tidak tahu mereka berdua seberapa dekat.
       "Apa . . . Aku makan sendirian?" Kim memberanikan diri untuk bertanya.
       "Anya. Aku akan makan bersamamu," jawab Jaemin, lalu mengambil abalon bumbu dengan sumpit.
       "Tadi saat melihatmu aku pikir kita ini seumuran," ujarnya lagi.
       "Ya. Aku pikir juga begitu," jawab Kim.
       "Benarkah? Aku lahir tahun 2000."
       "Kalau begitu aku setahun lebih muda darimu."
       Jaemin berohria. Lalu mereka lanjut makan kembali.
       "Tahun lalu kami merayakan tahun baru bersama Jin hyung. Dia sedikit bercerita kalau sebenarnya dia punya seorang adik perempuan. Mungkin jika dia di sini, usianya tidak berbeda jauh dariku. Aku rasa itu pasti kau."
       Kim mengangguk.
       "Cheogio . . . "
       Jaemin menoleh.
       "Panggil saja Jaemin," katanya.
       "Apa . . . Kau hanya sendiri?"
       "Anya. Ada ahjuma dan sepupuku. Dia sering datang kemari sepulang sekolah. Lalu kembali kerumahnya malam hari. Tapi kadang kadang dia juga menginap."
       "Dia pasti sangat menghiburmu."
       "Ya, memang sangat menyenangkan. Mungkin karena aku anak tunggal."
       Kim mengangguk kecil.
       "Lalu ibumu?"
       "Eopseoyo," air muka Jaemin mendadak berubah.
       "Eung, mianhaeyo. Gwaenchanhae, tidak perlu dijawab."
       Jaemin kembali tersenyum. Tapi yang ini, senyumnya dipaksakan.
       "Itu . . . Aku ingin berterima kasih pada Ayahmu. Kalau dia tidak ada untuk membantu kami, aku pasti akan tersiksa di sana. Dia sangat baik dan pengertian. Aku rasa dia bersedia membantu kami karena kau."
       "Aku?"
       "Ya. Mungkin dia berpikir bagaimana perasaannya jika hal yang sama terjadi pada anak satu satunya."
       "Kenapa kau berkata begitu?"
       "Tidak apa. Aku hanya berpikir."
       Lagi lagi, Jaemin hanya tersenyum.
       "Aku juga berterima kasih pada pamanmu sudah membawaku lari. Aku tahu bahwa rumah ini adalah satu satunya tempat yang aman untukku. Terima kasih juga padamu," ujar Kim.
       "Waeyo?"
       "Sudah menjadi teman bicaraku dan atas makan siangnya."
       Jaemin terkekeh.
                                  ***
 

   "Baiklah, kau mungkin merasa lelah. Akan kutunjukkan kamar untukmu," ucap Jaemin seraya bangkit dari duduknya setelah makan.
       "Ne? Aku kan tidak lama di sini," bingung Kim.
       "Gwaenchanhaeyo. Khajja," ajak Jaemin dengan hangat. Meskipun baru saja saling kenal, Jaemin mampu membaur dengan cepat. Kim saja salah tingkah. Jaemin itukan laki laki.
       "Tapi kamarnya belum dirapikan," Jaemin membuka kunci sebuah pintu yang sepertinya itu adalah kamar tamu.
       "Ini tidak terlalu barantakan. Aku sendiri bisa mengurusnya," sahut Kim.
       Jaemin lalu menyalakan lampu dan masuk ke sana bersama Kim. Kemudian ia berjalan menuju almari dan mengeluarkan seprai dari sama. Kamar ini tidak tampak kotor. Hanya saja tempat tidurnya yang perlu dibenahi. Dengan inisiatif, Kim membantu Jaemin membentangkan seprai tersebut hingga seluruh permukaan spring bad terbungkus.
       Jaemin juga mengeluarkan bantal serta guling dari almari. Tampak kesusahan, Kim turut membantu membawakan sebagian bantalnya, dan tak lupa sarungnya sekalian. Setelah sarung bantal dan sarung guling dipasang dan tata, kamar ini jadi lebih rapi. Kerja sama yang bagus, Jaemin dan Kim.
       "Sudah selesai," Jaemin membuang napas. Seperti sedang kelelahan.
       "Kau bisa istirahat sekarang. Aku akan segera kembali," Jaemin kemudian pergi.
       Kim masih terus berpikir. Laki laki bernama Jaemin itu seberapa dekat dia dengan Seok Jin oppa? Sikapnya pada Kim begitu baik dan hangat. Dia bisa langsung berbincang akrab seperti sudah lama kenal. Padahal Kim baru bertemu dengannya hari ini.
       Pintu kamarnya tiba tiba terbuka, dan Jaemin muncul dari sana. Dengan membawa penghangat ruangan, juga sebuah long jacket.
       "Aku sudah nyalakan penghangat ruangan jika kau dingin. Dan ini jaket untukmu," ujarnya.
       "Ne. Terima kasih banyak."
       "Aku akan keluar. Istirahatlah," Jaemin lalu pergi, dan sekarang Kim bisa rebahan dengan tenang.
                                  ***

Cieeee, siapa nih yang fangirl nya Nana NCT? Dia muncul rupanya. Author sengaja masukin Jaemin. Seneng nggak bias kalian nongol? Tungguin gimana kisah lengkapnya Jaemin, ya. Pantengin terus akan ada apa antara Jaemin dan Kim. Apakah benih benih? Udah nggak usah nanya nanya. Baca aja sampai tuntas.
Next . . .

OUR HIDDEN FAMILY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang