***
Lisa menangis begitu pintu utama rumahnya tertutup di belakangnya. Gadis itu berjongkok di pintu masuk kemudian menangis di sana. Mengejutkan sang nenek yang beberapa menit lalu tengah menonton TV.
"Aku benci eomma!!" rengek gadis itu ketika sang nenek datang, memeluknya dan bertanya apa yang terjadi. "Kenapa dia melahirkanku kalau dia tidak pernah berniat menjadi eommaku?! Aku membencinya!" isak gadis itu di pelukan neneknya.
Keberadaannya yang di sembunyikan dan kebenaran yang di tutup-tutupi membuat Lisa benar-benar kecewa. Ia tahu siapa ibunya namun harus berpura-pura menjadi anak orang lain di depan semua orang. Sejak ia masih di taman kanak-kanak, saat semua anak di temani ibunya, hanya ia yang datang dengan neneknya. Setiap kali berdiri di depan untuk menunjukan hasil belajarnya kepada orangtua siswa, ibunya selalu menjadi satu-satunya orangtua yang tidak hadir.
"Kenapa dia melahirkanku? Kenapa dia memberitahuku kalau aku putrinya? Kenapa dia tidak menaruhku di panti asuhan atau mengugurkanku saja dulu? Kenapa dia melahirkanku kalau pada akhirnya aku tidak bisa menyebutnya eomma sesuka hatiku?" tangis Lisa, bersamaan dengan pintu rahasia di sebelah dapur yang kemudian terbuka. Gummy berdiri disana, di ambang pintu rahasia itu. Ia pulang setelah mengisi acara di salah satu stasiun TV. Tubuhnya lelah dan ia merindukan putrinya— layaknya seorang ibu kebanyakan— namun apa yang baru di dengarnya membuatnya benar-benar terluka.
"Gummy-ya," ucap wanita paling tua di dalam rumah itu, ia melepaskan pelukannya dari Lisa dan bangkit untuk melihat Gummy, berharap Gummy tidak akan membuka mulutnya dan menanggapi rengekan di sela tangisan Lisa itu.
"Kau sangat ingin tinggal di panti asuhan? Ya! Lalisa Park! Kau pikir menjadi seorang ibu tunggal itu mudah?! Kau pikir tinggal di panti asuhan akan lebih nyaman dibanding tinggal bersamaku?! Kau tidak akan punya baju-baju mahal itu kalau tinggal di panti asuhan! Tidak ada panti asuhan yang akan memberimu makanan enak seperti yang kau makan setiap hari seumur hidupmu! Kau seharusnya bersyukur karena aku tidak mengirimmu kesana! Kalau kau terus seperti ini aku akan benar-benar mengirimmu ke panti- ya! Aku belum selesai bicara!" marah Gummy, namun Lisa tidak ingin mendengarnya. Bagi Lisa, memiliki seorang ibu yang tidak bisa ia panggil dengan sebutan eomma adalah yang paling buruk. Menjadi yatim piatu mungkin akan lebih mudah, menurut Lisa.
Dalam drama, menjadi seorang kekasih rahasia saja sudah cukup untuk mematahkan hati seseorang. Namun selama 14 tahun hidupnya, Lisa menjalani hidupnya sebagai seorang anak yang di rahasiakan.
Masih sembari menangis, gadis itu pergi, melarikan diri keluar dari rumahnya. Tentu saja sang nenek mengejarnya, namun Lisa jauh lebih cepat di banding wanita itu.
"Ya! Park Jiyeon! Bukankah kau sudah keterlaluan?!" marah sang nenek, ketika ia kembali kerumah dan melewati pintu rahasia untuk masuk ke apartement 501— setelah gagal mengejar Lisa. "Apa kau tidak merasa bersalah padanya? Kau pikir hanya dengan melahirkan dan memberinya pakaian bagus lantas kau bisa menjadi ibunya? Apa kau tahu kapan menstruasi pertamanya? Kau tahu apa makanan favoritnya? Kau mengenal teman-temannya? Kau tahu warna favoritnya?! Apa yang kau tahu tentangnya sampai bisa berkata seolah kau ibu yang baik?!" marah wanita paruh baya itu terhadap keponakannya.
Wanita paruh baya itu bernama Ko Dooshim, seorang wanita yang usianya sudah menginjak 50 tahun di 2005 ini. Ia menikah dengan seorang tentara, namun tidak di karuniai seorang anak. Sudah banyak sekali yang ia lakukan untuk membantu keponakannya itu, mulai dari mengarang cerita kalau ia punya seorang putri yang melahirkan diri setelah melahirkan, sampai merawat Lisa seperti merawat cucunya sendiri. Kalau Gummy bukan keponakannya, sepertinya wanita paruh baya itu tidak akan mau membesarkan Lisa sampai Lisa menjadi sebesar sekarang. 14 tahun bukanlah waktu yang sebentar, bukan juga waktu yang mudah untuk menyembunyikan seorang anak yang sama sekali tidak bersalah karena telah lahir.
Sementara itu, di malam yang dingin itu, Lisa keluar dari rumahnya. Tentu ia tidak berani keluar gedung apartementnya, ia takut pada reporter yang tadi sempat mengikutinya beberapa hari terakhir. Masih dengan terisak, ia berjalan menaiki tangga darurat dan sampai di atap. Sebuah musik di matikan ketika Lisa membuka pintu ke atap, gadis itu menghapus air matanya kemudian melihat seorang pria berdiri di tengah atap secara samar-samar. Sekali lagi, ia mengusap air matanya dan sekarang pandangannya menjadi lebih jelas.
Jiyong disana, seorang laki-laki yang masih berusia 17 tahun berdiri tengah atap setelah mematikan musik dari radio kecilnya. Seorang anak yang berani bermimpi tengah berlatih sendirian di sana dan sedikit terkejut melihat kehadiran Lisa.
"Oppa..." panggil gadis kecil itu, yang kemudian berlari memeluk Jiyong. Jiyong sudah cukup dewasa untuk mengerti bagaimana bentuk tubuh lawan jenisnya saat itu, Lisa memeluknya dan tubuh gadis itu terasa sangat nyata menyentuh tubuhnya. Tentu saja, saat itu bukanlah saatnya memikirkan hal-hal kotor, jadi Jiyong menepis jauh seluruh pikiran kotor yang lewat dalam kepalanya.
"Ada apa?" tanya Jiyong, namun tidak berani menyentuh atau balas memeluk Lisa.
"Aku merindukan eommaku..." bisik Lisa, kali ini ia tahu kalau Jiyong tidak akan memeluknya, karena itu ia melepaskan pelukannya dan berjongkok, terisak pelan sembari memeluk lututnya sendiri, menenggelamkan wajahnya di antara kakinya.
Mendengarnya, lantas membuat Jiyong merasa iba. Lelaki itu kemudian berlutut di depan Lisa dan memeluk gadis kecil itu dengan suka rela. Yang Jiyong tahu, Lisa tidak pernah bertemu dan mengenal kedua orangtuanya.
Malam semakin larut, Jiyong duduk bersandar pada tepian atap sementara Lisa duduk di sebelahnya. Air mata Lisa sudah mengering sekarang, namun ia masih enggan untuk pulang. Jadi Jiyong menemaninya disana, sembari memutar pelan beberapa lagu.
"Aku tidak punya teman... atau mimpi," gumam Lisa sembari menundukan kepalanya dan bermain dengan tali sepatunya.
"Kau masih kelas 9," jawab Jiyong. "Wajar saja kalau belum memikirkan mimpimu,"
"Teman-temanku sudah memikirkannya, Seungri bahkan sudah berjuang untuk mimpinya dan ku dengar oppa juga sudah mulai trainee saat kelas 9," tutur Lisa. "Saat sekolah dasar, tiap kali guru menyuruhku menceritakan mimpiku aku selalu menangis. Aku tidak tahu apa mimpiku, teman-temanku bilang mereka ingin jadi dokter, artis, polisi bahkan astronot. Mereka ingin bekerja dan menjadi sesuatu. Tapi tidak ada yang mengajariku untuk bermimpi, dan tidak ada yang ku inginkan selain menghabiskan waktu bersama orang yang melahirkanku lalu memanggilnya eomma,"
"Kalau bisa... aku ingin kembali ke saat dimana aku tidak punya mimpi untuk di gapai,"
"Kenapa?" tanya Lisa sembari menoleh untuk melihat Jiyong yang tersenyum padanya.
"Bermimpi terlalu berat, sekarang," jawab Jiyong. "Aku bermimpi dan ingin mewujudkannya. Aku berusaha untuk itu, namun rasanya usahaku tidak pernah cukup. Aku ingin kembali, menyerah pada mimpi itu karena terlalu lelah tapi aku sudah melangkah sejauh ini, aku sudah berusaha sangat keras dan aku tidak ingin semua kerja keras itu jadi sia-sia,"
"Aku tidak punya mimpi, aku tidak mengerti bagaimana rasa-"
"Seperti berpegang pada besi panas, tanganmu sudah terluka tapi kau takut jatuh jadi kau tidak bisa melepaskan peganganmu," potong Jiyong, mengungkapkan rasa putus asanya. "Baru-baru ini aku dan lima orang temanku diminta menjadi dancer untuk sebuah acara musik. Mereka menghubungiku dan menyuruh kami menunggu di stasiun. Mereka bilang mereka akan menjemput kami di stasiun dan mereka menyuruh kami jangan sampai terlambat. Terakhir kali kami muncul di TV dan naik ke panggung itu tiga bulan lalu dan kami hanya jadi penari latar yang memakai masker, mendapat panggilan seperti itu dari manager tentu saja kami sangat bersemangat. Kami datang ke stasiun, menunggu disana satu jam, dua jam, tapi tidak ada yang datang,"
"Kenapa? Apa oppa dan yang lainnya menunggu di stasiun yang salah?"
"Anniyo, mereka tidak butuh penari latar lagi. Acaranya berlangsung dengan sangat lancar, dan manager lupa menjemput kami, dia baru menghubungiku di pukul 10 malam dan bilang kalau aku tidak perlu ke stasiun,"
"Tapi oppa sudah di stasiun,"
"Hm... tapi aku tidak bisa mengatakan apapun padanya. Aku ingin bilang kalau aku dan teman-temanku sudah menunggu selama 4 jam di stasiun. Tapi aku takut dia akan marah dan bilang kalau aku belum cukup berusaha. Kalau aku memang berbakat, kalau usahaku memang sudah cukup, aku pasti sudah debut, iya kan?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DEBUT
FanfictionJalan itu membentang panjang, penuh batu, penuh duri, penuh genangan air mata, keringat, darah dan nanah. Begitu selesai melewati jalan mengerikan itu, akan ada gerbang dengan papan nama bertuliskan "Debut" di atasnya. Pintu gerbangnya terbuka, namu...