Jimin dan Seora berlari beriringan menyusuri lorong rumah sakit. Tidak peduli ketika para perawat menegur mereka, Jimin dan Seora berderap lurus menuju ruang persalinan.
Jimin menangkap Jungkook yang duduk di kursi tunggu dengan kedua tangan mengepal di pangkuannya. "Jungkook!" ia memanggil.
Jungkook mengangkat kepala. Ia memberikan senyuman kecil untuk kedua pengantin baru tersebut. Pakaian keduanya telah berganti menjadi pakaian yang lebih santai. "Hei, kalian. Apakah acaranya sudah selesai?"
"Kami menyelesaikannya dengan cepat," Seora menjawab. Napasnya tampak susah akibat berlari. "Bagaimana dengan Raewon?"
Jungkook pun mengangguk pelan. Ia lepas kontak mata dengan siapapun. "Dia baik-baik saja. Bayinya pun baik-baik saja. Semuanya baik-baik saja."
"Laki-laki?" Jimin bertanya. Jungkook menjawabnya dengan anggukan.
"Lalu, apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak menemani Raewon di dalam?" Seora tampak buru-buru ingin masuk.
"Aku sudah menemaninya selama persalinan. Di dalam sedang ada ayahnya. Aku keluar untuk mencari udara segar saja.
"Aku boleh masuk?" Seora bertanya lagi. Jungkook kembali menjawab dengan anggukan kepala.
Jimin tidak ikut masuk. Ia duduk di samping Jungkook. "Kau baik-baik saja?"
Anggukan kepala menjadi jawaban. Namun, Jungkook tidak bersuara.
"Lalu, mengapa kau tampak murung?" Jimin bertanya dengan khawatir.
"Oh, kelihatannya seperti itu, ya?" Jungkook langsung mengangkat kepalanya. Ia menarik senyum. "Aku tidak sedih. Aku hanya sedang banyak pikiran."
"Pikiran seperti apa?"
Jungkook tertawa pelan. "Kau akan terus bertanya, ya?"
"Aku khawatir. Berceritalah," balas Jimin. Wajahnya serius.
Senyum di mulut Jungkook pun memudar. Ia menghela napas. "Aku sudah menjadi Ayah, Jimin. Tentu saja pikiranku menjadi tambah banyak. Aku berpikir bagaimana aku harus membesarkannya. Pendidikan seperti apa yang harus ia terima. Haruskah aku memanjakannya? Haruskah aku mengurangi porsi kerjaku agar dapat menghabiskan banyak waktu dengan anakku? Aku bingung, Jimin. Masa kecilku tidak seindah yang kau kira. Aku tidak mengerti apapun tentang anak kecil dan apapun yang mereka suka. Aku takut gagal. Aku takut anakku membenciku."
"Hei, tenanglah." Jimin mengusap punggung lawan bicaranya. "Semuanya akan baik-baik saja. Kau tidak sendiri. Ada Raewon, aku, Seora, dan banyak lagi. Kami semua ada untukmu. Harus berapa kali kau perlu diingatkan bahwa kau tidak sendirian, huh?"
Jungkook menggigit bibirnya. Jimin benar. Ia terlalu banyak khawatir. Ia sudah seharusnya tahu bahwa ia tidak sendiri. Mengapa Jungkook tidak pernah bisa memahami itu? Bahkan Raewon sudah berkali-kali mengingatkan.
"Kau benar, Jimin. Hanya saja, aku terlalu sulit untuk menerima kenyataan itu. Aku tumbuh besar sendirian, tanpa orang tua, tanpa teman. Aku masih belum terbiasa dengan hal ini."
"Dan kau harus membiasakan diri." Jimin memberikan senyum terbaiknya. "Aku pun tidak akan pernah bosan mengingatkan. Kau tidak sendirian, Kook. Kami semua adalah keluargamu."
Jungkook menatap Jimin cukup lama hingga senyum pria berambut pirang tersebut tertular padanya. "Terima kasih, Jimin."
"Hei, tidak masalah." Jimin menyandarkan punggungnya. "Apakah kau sudah menggendongnya?"
"Gendong siapa?"
"Anakmu! Memangnya siapa lagi?"
Jungkook kembali menunduk. "Be-belum. Aku takut."
KAMU SEDANG MEMBACA
[jjk] Love Disease ✔
FanfictionSomething about his past made him this different. His dark past, dark childhood changed everything. He hid behind his mask, playing nice and good for years. Until this girl came and ruined everything. At least, that was what Jungkook think. Status :...