|°DPC-16

361 17 0
                                    



Dimas berdehem pelan membuat diam dan hening menjadi canggung.

"Akhirnya lo sadar juga Rin." ucap Dimas dengan senyuman tulus. Ia memeluk Serin yang masih terbisu.

"Gue kira, lo udah lupa sama gue Dim,"cicit Serin.

"Mana ada. Gue gak akan lupain lo."

Serin menangis karena bisa dipertemukan kembali dengan Dimas, lelaki yang ia cintai sejak dirinya kecil.

Setelah tangis itu reda akhirnya mereka saling bertukar cerita. Hingga mereka tidak sadar bahwa Dhika telah pergi dengan rasa kesal karena dikacangin. Serin begitu sangat antusias dengan cerita Dimas dengan tema sekolah. Ia juga ingin sekolah, tapi ia tak bisa karena masih banyak tahap untuk dikatakan sembuh.

"Lo udah punya pacar Dim?"Tanya Serin dengan nada hati-hati.

"Belum."

"Belum?"

Dimas mengangguk. Ah, ia malah jadi rindu dengan gadis pendek itu. Tanpa Dimas sadari ia terkekeh pelan dan itu tak luput dari mata Serin.

"Berarti ada dong yah?" Tanya Serin dengan nada antusias yang dipaksakan.

Dimas menoleh kearah Serin lalu tersenyum. "lo masih berharap sama gue Rin?" tanya Dimas dan Serin hanya diam. Dan itu tandanya bahwa gadis itu masih punya rasa padanya.

"Lo tau gak, tiap kali gue kesini gue selalu berharap kalau lo bangun dan bisa dengerin curhatan gue. Selalu ada buat gue, ada disaat senang maupun susah. Tapi tidak untuk jadi pasangan melainkan sodara."tutur Dimas

Air mata Serin sudah menggunung di pelupuk matanya siap untuk terjatuh.

"Lo mau kan jadi sodara gue?" lanjut lelaki itu.

Serin menarik nafasnya panjang lalu mengusap pipi nya yang basah.

"Kayaknya lo harus pulang deh, gue capek mau istirahat." ujar Serin mengalihkan topik.

Dimas mengangguk dan berdiri. Lelaki itu mencium kening Serin seperti biasa membuat Serin sendiri tersentuh dan semakin tidak rela jika Dimas milik orang lain.

Dimas telah menghilang dan Serin melanjutkan tangisannya.

****

Adara kini tengah mengetuk-ngetuk bolpoin didagunya seraya menatap buku fisika. Adara yakin jika dirinya sudah salah cari jurusan. Ah, ia menyesal masuk IPA tapi ia mau jadi dokter gimana dong?

Adara menoleh kearah suara gerungan motor. Bibirnya melengkung saat tau siapa yang datang. Dia Dimas.

"Biasa lo belajar."

Adara menatap sengit saat Dimas mengejeknya. Apa Dimas tidak tau jika Adara yang cantik jelita tiada tara ini pintar dan rajin menabung.

"Jangan ngejek yah... Dara gini-gini pinter tahuuuu."ucapnya sewot.

Dimas hanya menampilkan muka datarnya membuat Adara merasa gemas ingin menimpuknya dengan sendal swalow milik maminya di dapur.

"Ngapain kakak kesini?" Tanya Adara sambil sibuk dengan tugasnya.

"Gak boleh?"

"Bukan. Tapikan kakak punya rumah sendiri. Emang ini hotel apa!"

Dimas mengerutkan dahinya saat ucapan Adara yang terlontar membuat dirinya sedikit tersinggung.

"Maksudnya apaan sih? Ngusir? "

Adara menghentikan aktifitasnya lalu menghela nafas. Ia menoleh kearah dimas yang tengah menatapnya pula. "Dara tuh lagi pusing kak. Udahmah lagi dapet terus banyak tugas lagi. Pusing aku tuh."

Dimas menaikan satu alisnya. Oh, jadi gadis pendek ini tengah halangan. Dimas Akhirnya mendengkus. Kalau sudah begitu pasti apa apa cowok yang salah. Ribet.

"Kemana Zidan?" Tanya Dimas seraya celingukan.

"Ikut mami arisan." Jawab Adara sambil sibuk dengan buku nya.

Dimas lalu mengangguk seraya menyender di punggung kursi sambil melihat gadis pendek nya yang tengah menggaruk dahinya. Dimas tersenyum melihat keseriusan Dara dalam mengerjakan tugas. Kalo dia sih boro-boro.

Sungguh menggemaskan.

Dimas merongoh saku jaketnya ketika handphone nya berbunyi. Dahi lelaki itu mengkerut melihat nama Fatih tertera sebagai penelepon.

"Hall.."

"Dim, Serin kejang-kejang!"

"Gue kesana secepatnya."

Adara menoleh kearah Dimas yang terlihat gelisah setelah mematikan ponsel. "Kakak kenapa?"

Dimas mengusap wajahnya "lo ikut gue,"

"Kemana?"

"Jangan banyak tanya, ayo." Dimas menarik tangan Dara membuat gadis itu kewalahan.

****

Rumah sakit?

Adara masih kebingungan seraya menatap tangannya yang terus di pegang erat seolah takut jika hilang. Apakah keluarga Dimas sakit? Itu yang dipikiran Adara saat ini.

Dimas berhenti disalah satu pintu ruangan, setelah itu membukanya tanpa melepaskan pegangannya pada lengan Adara.

Adara mengerjap pelan melihat Fatih tengah memegangi tangan seorang gadis yang terbaring di ranjang rumah sakit. Siapa Fatih, dia? Apakah sodara? Atau selingkuhan?

"Gimana keadaan dia?" Tanya Dimas sambil berjalan mendekati ranjang milik Serin. Adara merasa kehilangan saat tangan lelaki itu tak lagi memeganginya. Nyeri semakin menjadi melihat Dimas mengecup dahi gadis yang tengah tidur itu. Apa-apaan ini? Kenapa semua nya membuat dirinya seperti orang bodoh?

"Kak?"

Dimas menoleh menatap Adara yang tengah menatapnya juga. Fatih terlihat acuh tak acuh seolah dia lupa jika Adara temannya.

"Siapa dia?" Tanya Adara dengan nada lirih.

"Di--"

Suara lenguhan itu memotong ucapan Dimas. Dimas segera kembali memusatkan pandangannya pada Serin yang baru saja siuman.

"Dim.. Dimas?"

"Ini gue, ini gue, jangan pergi. Jangan ngulangin ini lagi, please," Dimas sibuk memeluk Serin tanpa tau ada orang yang tengah menahan sakit hati dibelakang. Adara.

Seseorang mencengkeram tangannya membuat dirinya sedikit kaget. Fatih menatapnya seolah untuk ikut dirinya keluar.

Adara menoleh lagi kearah Dimas dan gadis itu, lalu berjalan keluar dari ruangan itu.

****

Dimas Prince Cold (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang