|°DCP-15

345 14 0
                                    

Dimas kini sudah berpakaian rapih dengan memakai baju putih polos dan celana hitam trening. ia duduk dengan resah di ruangan milik papi Adara. setelah selesai mandi dirinya dibawa Adara memasuki ruangan yang terlihat panas, atau mungkin dirinya yang grogi? entahlah.

pintu ruangan terbuka membuat Dimas yang didalamnya terkejut. Tara datang dengan wajah datarnya membuat dirinya merasa gugup. beginikah rasanya ditatap dingin?.

"Dimas?"

suara bass itu membuat bulu kuduknya berdiri.

"iya om?"

"tau salah kamu apa?"

"mabuk om." jawabnya dengan nada rendah.

Tara menghela nafasnya. Ia tahu jika Dimas Anak yang baik,hanya anak itu tertekan oleh kedua orangtua nya.

"Wajar kita marah sama Orangtua. Wajah kita muak sama orangtua yang gak pernah mikirin perasaan Anaknya. Tapi Dimas? Kalo setelah ini hidup mereka dan kamu tentunya, lebih baik, kamu akan pilih mengikhlaskan atau mau terus bertahan dengan permasalahan ini?"

Dimas hanya termenung mendengar kata-kata bijak Tara. Hatinya kembali nyeri mengingat bahwa orangtuanya akan berpisah.

"Pulang, bicara dengan kepala dingin kepada kedua orangtua mu. Setelah kamu tau apa permasalahannya kamu boleh memikirkannya kembali." lanjut Tara.

"Papa saya bilang mereka udah gak saling mencintai." ungkap Dimas seraya mengepalkan tangannya diatas meja.

Tara menyentuh tangan milik Dimas,lalu perlahan kepalan itu mengendur karena Tara membuka kepalannya.

"Tanya Mama mu."

Dimas mengangguk. Ya, dia harus bertanya kedua belah pihak, bukan hanya ke satu pihak saja. Dimas tersenyum merasa bersyukur dipertemukan dengan Tara-Ayahnya Adara.

"Terimakasih."

Tara hanya tersenyum dan mengangguk.

***

Dimas membuang nafasnya seraya menatap pintu apartement milik mamanya. Tadi ia sempat menelepon dan bertanya dimana Mama nya tinggal. Dan dengan senang hati Mamanya memberikan alamat apartemennya.

Setelah beberapa kali menekan tombol bel akhirnya pintu itu berdecit tanda pintu itu terbuka. Terlihat Mamanya menatap Dimas dengan senyuman.

"Masuk sayang."

Dimas masuk dan langsung mengedarkan pandangannya melihat seisi apartement Mamanya yang lumayan luas.

"Aku mau ngomong sama mama." ucap Dimas tanpa basa-basi setelah dirinya menduduki sofa.

"Mau ngomong sama mama?" Tanya Marina--mamanya Dimas.

"Kenapa kalian bercerai?" Tanya Dimas dengan menahan emosinya.

Marina tersenyum lalu menepuk sofa disisinya yang kosong. Dimas yang mengerti mendekati Marina dan kini duduk bersebelahan dengan mamanya.

"Kami, mama dan papa waktu itu dijodohkan oleh orangtua kami. Kami tak pernah Merasakan cinta,lebih tepatnya mama yang tak pernah Merasakan cinta Papa mu. Dan Mungkin dengan kami berpisah itu akan lebih baik" ujarnya dengan nada yang santai dan tenang.

"Lalu Dimas dihasilkan dari mana?"

Pertanyaan polos itu membuat Marina terkekeh geli, "Ya, dari perut mama lah." ucapnya seraya mengelus rambut Dimas.

"Bukannya dalam pembuatan itu harus dengan cinta. Apa karena paksaan?"

Marina tersenyum lalu membuang nafasnya pelan pelan. "Nak, tak semua apa yang kita inginkan harus dengan didasari cinta. Kami menghasilkan kamu karena kewajiban dan itu sudah titipan dari tuhan, lalu mama harus apa selain membesarkanmu dan merawatmu... "

"... Maaf karena Mama Selalu lalai menjagamu, lalai dalam menyayangimu dan mencintaimu. Maafin mama sayang."

Dimas menatap mamanya yang tengah terisak. Hatinya ikut ngilu melihat mamanya mengucapkan maaf berulang kali kepadanya.

Dimas menyentuh tangan mungil mamanya yang hampir termakan usia. Ia menggeleng samar.

"Peluk mama sayang?"

Dimas segera memeluk mamanya dan tentu saja tangisan itu semakin kencang membuat Seorang Dimaspun terasa ingin menangis.

***

Dimas terdiam di kursi disalah satu taman bermain dekat gedung apartement milik mamanya berada. Ia masih temenung dengan ucapan mamanya yang tidak mau kembali lagi dengan Papanya.

"Apa enggak bisa kembali lagi ma?"

"Untuk apa sayang? Jika ini bukan jodoh jangan kita paksakan. Nanti kesananya jadi sakit tertekan."

"Tapi Dimas gak mau kalian berpisah."

Marina tersenyum hangat, "maaf sayang, kalo keinginan kamu ini tidak bisa kami kabulkan."

Dimas hanya diam. Penuturan itu sudah jelas bahwa Keluarganya sudah Terbelah menjadi dua.

"Ekhem..."

Dimas terjengit kaget mendengar deheman itu yang terasa di telinga kanan.

"Anjing!"

"Selow bang haha." lelaki itu menatap Dimas yang kembali Diam. "Kenapa bro? Muka kusut amat, kaya kanebo."

Dimas mendengus lalu menatap lelaki yang datang tidak di undang.

"Ngapain lo disini Tih?"

Fatih terkekeh, "Gue lagi mendalami jadi anak durhaka kaya elo."

Dimas mengernyit merasa tersinggung dengan ucapan Fatih.

"Bercanda kali Dim, gue lagi kabur aja dari bokap. Bosen gue jadi orang baik mulu haha."

Dimas diam, ucapkan Fatih terlalu becanda namun berjanggal. Tak biasanya lelaki itu membantah ayahnya.

"Kenapa kabur."

"Masa yah, gue cuman mau liat Serin dirumah sakit aja dia larang. Padahal gue udah ngomong sama bokap kalo Serin udah sadar."

Mata Dimas terbelalak "Sa... sadar?"

"KENAPA LO GAK KASIH TAU ANJING!"

Semua pasang mata, baik anak-anak, muda dan tua menatap horor kearah Dimas yang tengah berteriak keras.

Fatih tersenyum miring, "Lo sibuk dengan kehidupan lo sendiri. Jadi mana ada waktu buat Serin, iyakan Dim?"

Dimas menatap nyalang Fatih. Lalu ia beranjak dari kursi dan berlari kearah motornya.

***

Dimas berlari disepanjang koridor rumah sakit. Hatinya semakin dihantam karena kedua kalinya ia tak tau apa-apa.

Lelaki itu dengan pelan membuka pintu rawat milik Serin. Dengan ketertegunan lelaki itu menatap gadis yang tengah terduduk dibrangkar yang sudah lama ia tiduri itu.

Jangan lupakan tentang lelaki yang tengah terduduk di kursi dengan memegang mangkuk yang terisi bubur.

Dhika lebih cepat darinya.

======
Akhirnya Serin bangun dari tidur panjangnya..

Dimas Prince Cold (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang