|°DPC-17

354 18 0
                                    

"Dia... Siapa?" lirih Adara dengan nada terdengar bergetar. Ia menoleh kearah lelaki yang sibuk memasukan tangannya ke saku celana.

"Fat?"

"Gue gak mau ngasih tahu apa-apa. Bukan gue gak mau tapi gue gak ada hak untuk ngasih tahu." ungkap Fatih dengan nada gusar. Lelaki itu terlihat khawatir.

"Yang aku tanya, gadis itu siapa, Fat. Bukan masalah tentang Dimas dan gadis itu," ucap Adara begitu kesal.

"Dia Serin, adik gue."

Mata hazel milik Adara membulat kayak nya seseorang yang terkejut. Apakah tidak salah gadis yang terbaring koma itu adiknya Fatih.

"Fat, aku pusing. Bisa anterin aku pulang, gak?" pinta Adara dengan nada tidak enak.

"Ayo."

****

"Lo jangan bikin gue jantungan dong, Rin. Kenapa tadi lo main kejang kayak gitu? Emang lucu, hah?" Cerocos Dimas seraya menatap Serin yang tengah tertidur akibat suntikan obat penenang.

"Rin, gue sayang sama lo. Gue sangat berdosa kalau lo sampe kenapa-napa. Please jangan kayak gini lagi. Gue khawatir, Rin."

Dimas mencium dahi Serin dengan sayang. Serin sudah dia anggap adiknya tidak lebih. Tapi kenapa gadis itu meminta lebih padanya, sedangkan Dimas tidak punya perasaan apapun. Kini hatinya telah terisi oleh gadis pendek bin cerewet, yaitu Adara.

Ngomong-ngomong, dimana gadis itu? Dimas segera keluar untuk mencari Adara. Ah, ia merasa ceroboh. Kekhawatiran terhadap Serin membuat pikirannya teralihkan. Nanti dia akan meminta maaf pada Adara.

"Woy, Dim!?"

Dimas mengalihkan pandangannya kepada Fatih yang tadi berteriak memanggilnya.

"Mau kemana, lo?" Tanya Fatih seraya menonjok dada Dimas pelan tanda ber-tos ala lelaki.

"Gue mau cari Adara. Lo liat?" Fatih terkekeh pelan. Sudah berjam-jam lamanya, Dimas baru mengingat Adara.

"Gue udah bawa dia pulang. Katanya dia pusing." Dimas mengacak-acak rambutnya tanda resah. Ia kembali di rundung khawatir. Apakah Adara baik-baik saja.

"Thank bro!"

Fatih hanya mengangguk. Ia pun berucap bahwa Fatih ingin menemui Serin dahulu dan di angguki oleh Dimas.

***

Yola terus bergumam resah saat tau-tau anaknya datang dalam keadaan panas tinggi. Adara orangnya jarang jatuh sakit apalagi itu panas tinggi.

"Berat yah pelajarannya, sampe jatuh sakit begini, kamu nak." ucap Yola seraya mengompres dahi Adara.

Adara tertidur namun tidak begitu pulas karena sakitnya. Bibirnya juga mengigil dan pucat.

Yola semakin khawatir dan ingin sekali menelpon suaminya, Tara. Hanya saja lelaki beranak dua itu susah di hubungi. Yola yakin, Tara tengah meeting hingga hp nya di matikan.

Yola akhirnya mengambil hp milik Adara yang tersimpan di atas nakas. Untung saja anak itu tidak memasukan kata sandi handphone, membuat Yola gampang untuk membajak handphone anaknya.

"Hallo, nak Dimas?"

"Iya tante, ada apa?"

"Gini loh, nak Dimas. Adara demam tinggi, kayaknya dia harus di rawat sedangkan papi nya belum pulang. Dan tante juga susah buat bawa Adara ke rumah sakit. Nak Dimas, bisa bantu tante gak?"

Diujung sana Dimas terkejut dengan ucapan tante Yola. Adara sakit? Bukannya tadi baik-baik saja saat di rumah sakit. Kenapa gadis pendek itu selalu membuatnya khawatir.

"Iya tante, saya segera kesana."

"Iya, maaf ngerepotin yah, nak Dimas?"

"Gak ngerepotin kok tan, ini tugas saya juga sebagai lelaki."

"Makasih yah, nak Dimas. tante tutup yah teleponnya, assalamualaikum..."

"Waalaikumusallam..."

Dimas langsung tancap gas menggunakan salah satu mobil milik ayahnya. Ia berdoa supaya Adara baik-baik saja meski itu hanya demam tinggi biasa. Ia tidak suka gadis itu kesakitan. Adara tidak pantas untuk tersakiti. Gadis itu terlalu manis untuk merasakan sakit.

Setelah sampai, ia mengucapkan salam dan di jawab oleh adiknya Adara yang tengah bermain di teras rumah.

"Zidan, mami kamu dimana?" tanya Dimas seraya mengusap rambut Zidan.

"Dikamal kakak. Dia cakit, bang,"

Dimas pun berpamit meninggalkan Zidan yang begitu seru dengan mainan nya. Dimas menaiki tangga dan kini menemukan pintu kamar Adara yang bercat merah jambu.

"Assalamualaikum..." salam Dimas seraya membuka pintu.

"Waalaikumusallam, nak Dimas. Ayo nak, Adara kayaknya panasnya makin parah," ucap Yola dengan nada bergetar. Terlalu khawatir dengan keadaan putrinya.

Dimas segera membopong Adara berserta selimut yang tergulung ditubuh gadis itu. Dimas juga merasakan betapa tingginya suhu panas di tubuh Adara. Yeah, Adara benar-benar telah membuat Dimas semakin mengkhawatirkannya.

****

Untuk kesekian kali nya Yola merasa gagal menjadi ibu bagi anak-anaknya. Ini yang ia hindari selama hidupnya, yaitu menghidari sakit, tanpa terkecuali. Yola selalu memberi keluarganya makanan yang higenis dan juga terbuat dari tangannya sendiri tanpa campur tangan.

Tapi, kembali nya yang ke atas, Yola sudah semaksimal mungkin untuk menghidari penyakit, namun tuhan bisa lebih mudah menghadirkan penyakit.

"Udah dong sayang, nangisnya," ucap Tara yang belum lama sampai di rumah sakit.

"Aku ngerasa gagal jadi ibu. Aku gak bisa jadi dokter bagi anak-anak. Aku lemah sama yang kayak gituan, mas..."

Tara mengusap kepala Yola dengan sayang. Tara tau Yola paling tidak bisa mengurus anaknya yang sakit. Bukan hanya anaknya, dirinya juga jika sedang sakit, bukannya Yola menyembuhkannya, dia malah nangis kejer dan menelpon siapapun yang bisa membantu nya.

Di sisi lain, Dimas masih diam takkan mulut tertutup rapat. Dia masih belum pindah dari tempatnya. Menurut yang dia dengan, Adara mengalami Demam Berdarah. Untung saja, dia tidak telat membawa Adara ke rumah sakit. Jika telat, maka Adara sudah tidak ada.

"Bang Dimal,"

Dimas menoleh ke arah bocah kecil yang memanggilnya dengan tidak lancar.

"Jangan cedih yah, bang. Kak Ala pasti cembuh. Nanti adek doain kak Ala bial cepet sembuh. Aamiin..."

Dimas juga mengamini di dalam hati seraya tersenyum menatap bocah yang pintar.

****

Dimas Prince Cold (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang