|°DPC-30

325 17 0
                                    


Dimas membuka matanya. Pening langsung menyerang kepalanya. Dahinya terasa lembab. Ia segera menarik sapu tangan yang masih hangat itu.

Apakah dirinya semalam hanya bermimpi? Iya, pasti dia sedang bermimpi karena begitu merindukan Adara-nya.

"Dimas, kamu udah bangun, sayang?"

Sang Mama duduk dan mengecek tubuh Dimas yang panasnya sudah mulai turun.

"Mama khawatir sama kamu. Pulang-pulang rumah berantakan, Serin nangis, kamu kalap sampe pingsan. Mama khawatir sayang." ujarnya sembari mengusap rambut Dimas.

"jadi... Semalam bukan mimpi?"

Marina hanya menggeleng, ia tersenyum pedih, "yang sabar yah sayang."

Dimas merengsek ke tubuh sang mama, "Jadi Adara beneran pergi? Adara pergi ninggalin Dimas, Ma. Adara ninggalin Dimas."

Marina menitikan air matanya mendengar lirihan Dimas serta isakan nya. Ia juga begitu terkejut mendengar penuturan dari Serin semalam. Ia bahkan meliburkan dirinya hari ini untuk menemani putranya.

"Yang tabah. Adara pasti tenang kalo kamu ikhlas. Ikhlasin yah, Nak,"

"berat Ma. Adara gak boleh pergi gitu aja. Adara harus nunggu aku dulu." racau Dimas seraya terisak perih.

"sstt... Sudah-sudah. Kasian Adaranya, nak. Mungkin bukan jodoh. Semua tuhan yang mengatur."

•...•

Dimas kini tengah berdiri di depan gerbang rumah milik Adara dulu. Gerbang itu tertutup dan ada plang bertulisan 'rumah ini di jual'.

Ia jadi mengingat momen dimana gadis itu bertanya begitu polos waktu di sekolah, saat gadis itu cegukan, saat gadis itu merunduk ketakutan, saat gadis itu mengajaknya masuk ke rumah nya untuk makan malam dengan keluarga gadis itu.

Bahkan tanpa sadar, ia mengingat semua momen itu. Ia menyesal saat itu tidak ada waktu buat Adara. Ia lebih sibuk dengan urusan lain, ketimbang Adara yang ternyata membutuhkannya.

"Maafin aku, Ra. Maaf." lirih Dimas.

"Kak Dimas?"

Dimas mematung. Ia segera menoleh ke belakang mencari suara yang memanggilnya.

Terlihat Sandra dan yang lainnya kini menatap kearah Dimas dengan tatapan sedih juga. Sandra yang memang hampir mirip dengan suara Adara membuat Dimas semakin merindukan Adara yang selalu memanggilnya.

"Maaf, kami menganggu." ujar Sandra.

"kita ikut sedih mendengar kecelakaan pesawat itu. Bahkan sekarang pun, aku masih gak percaya kalo Adara udah gak ada. Kak Dimas yang sabar yah," kini Nadia yang berkata. Dimas menatap Nadia yang pucat, serta mata yang membengkak tidak beda jauh dengan Sandra.

"kita juga ngerasa kehilangan. Bukan lo doang." ujar Fatih dengan prihatin.

Fatih menghampiri Dimas. Ia segera memeluk lelaki itu. Mencoba menenangankan sahabatnya.

"Adara ninggalin gue ya, Fat?" bisik Dimas dengan nada begitu datar.

Fatih hanya mengusap punggung lelaki itu. Fatih tau, yang paling terpukul adalah Dimas. Hubungan satu tahun bukan sesuatu yang singkat.

"pantesan waktu itu Adara ngomong aneh-aneh. Ternyata dia beneran ninggalin kita-kita." Nadia memeluk Sandra yang kembali menangis. Begitu pun dirinya.

Dodi hanya diam tanpa ekspresi. Ia sangat merasa bersalah kepada Adara karena sering membuat gadis itu kesal.

"lagian nanti kalo Adara pergi, Dodi pasti kangen. Adara bakal pergi gak bakal hubungi Dodi. Biarin Adara jahat. Dodi juga jahat!" cerocos Adara seraya menatap tajam Dodi. Sebaliknya, Dodi merasa gemas dengan tingkah laku gadis itu. Hanya saja ia menutupinya.

"Bodo amat. Gue gak bakalan rindu!"

"gue ralat. Gue bakal rindu elo terus, Ra." lirih Dodi saat mengingat ucapan Adara waktu di kantin.

.

Mari melow melowan :(

Dimas Prince Cold (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang