• three •

2.1K 267 15
                                    

“Jadi, bagaimana wawancaranya? Kau diterima?”

Jennie meneguk lemon tea yang belum lama ini Ia pesan. Setelah melalui kejadian tak terduga hari ini, Jennie memutuskan untuk bertemu kembali dengan Hannah di sebuah kafe yang berada tak jauh dari apartment milik Hannah.

Gadis itu kemudian memijit pelipisnya, nampak tak tertarik untuk menjawab pertanyaan yang Hannah ajukan kepadanya barusan.

“Jennie-ah, ada apa?”

Pertanyaan yang diberikan Hannah untuknya itu membuat kepalanya semakin pusing. Gadis itu memicingkan matanya sebentar sebelum akhirnya menggelengkan kepala atas pertanyaan Hannah tadi.

Rasa ingin tahu gadis berambut pirang itu sepertinya belum menghilang. Tak lama, Ia kembali menanyakan hal yang sama,

“Lalu, wawancaramu? Kau diterima, kan?”

Jennie menghela nafas, menatap Hannah dengan tatapan malas, “Ya, aku diterima,” ucapnya.

Seketika Hannah langsung membulatkan matanya mendengar kabar baik dari sahabatnya itu, “Wah, serius? Hebat sekali kau. Kupikir wanita sepertimu tak akan mungkin lolos tes wawancara,” ucapnya sambil terkekeh.

Jennie mengerucutkan bibirnya sambil mendelik ke arah Hannah setelah mendengarkan ucapan meremehkan dari gadis berambut pirang itu, “Enak saja! Aku bukan Jennie yang dulu! Banyak perkembangan yang terjadi dalam diriku!”, semburnya.

Hannah kembali terkekeh. Gadis itu menyesap frapuccino miliknya. Pertanyaan baru lagi-lagi Ia ajukan untuk Jennie, “Lalu, kau sudah bertemu dengan CEO perusahaan itu? Aku sering mendengar kabar bahwa pemimpin perusahaan itu sangat tampan. Kapan-kapan, kenalkan padaku, ya!”, tanyanya lagi diiringi dengan celotehan kecilnya yang membuat Jennie semakin geram.

“Ayolah! Tak usah membicarakan masalah itu! Aku muak! Aku menyesal melamar pekerjaan di perusahaan sialan itu!”, bentaknya membuat Hannah sedikit kaget dengan pernyataan yang dipaparkan Jennie barusan.

“Kenapa? Apa CEO perusahaan itu merendahkanmu?”

Jennie mengerjapkan matanya, semakin geram dengan Hannah yang terus-terusan berbicara soal CEO perusahaan tempat Jennie akan bekerja nantinya, “Jeong Hannah-ya! Carilah pembahasan baru!”, bentaknya lagi membuat gadis berambut pirang itu menautkan kedua alisnya melihat tingkah aneh Jennie hari ini.

“Jennie-ah, kau ini kenapa, sih? Harusnya kau senang karena akhirnya kau sudah dapat diterima diperusahaan besar seperti itu. Mengapa kau jadi sensi seperti ini? Apa ada yang salah dengan perusahaan itu?”

Jennie mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Kepalanya rasanya semakin ingin pecah mendengar pertanyaan-pertanyaan Hannah yang Ia ajukan hanya dalam sekali ucapan itu. Gadis itu kemudian kembali memijit pelipisnya, “Ah! Aku jenuh disini. Aku ingin pulang saja,” tukasnya lalu beranjak dari kursi kafe tersebut lalu berjalan dengan langkah layaknya orang tengah mabuk.

Ya! Jennie-ah!”, Hannah mendengus sebal menatap Jennie yang bahkan tak mau berpaling dari rutenya saat gadis berambut pirang itu memekik memanggil namanya.

“Ada apa dengan bocah itu?”

|||

Mata yang terlihat menyerupai kucing itu secara perlahan terbuka. Gadis itu mengucek-ngucek matanya ketika Ia sudah tak lagi berada di alam bawah sadarnya. Bunyi yang berasal dari jam bekernya itu akhirnya berhasil Ia hentikan.

Dengan kondisi setengah sadar, gadis bernama lengkap Jennie Kim itu menatap jam beker kesayangannya.

Ah, masih pukul 9, aku masih bisa tidur sebentar lagi,”

Back To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang