• five •

2K 256 20
                                    

Benda bulat dengan jarum pendek di dalamnya yang kini menempel di dinding rumah itu menunjukkan angka 8 malam.

Ruangan itu nampak redup. Hanya cahaya televisi yang sedikit membantu penerangan ruangan tersebut. Di depannya telah duduk seorang wanita muda dengan oversize t-shirt berwarna merah jambu dan rambutnya Ia ikat membentuk kepalan.

Tatapan Jennie nampak kosong menatap acara televisi malam itu. Beberapa kali gadis itu mengganti channel televisinya secara random.

Salah satu tangannya tengah menggenggam 1 cup besar Ice Cream rasa Vannila. Sementara tangan lainnya tengah memegang sebuah sendok yang Ia gunakan untuk menusuk-nusuk Ice Cream tersebut, dan sesekali menyuapkannya dengan sedikit loyo.

Tepat didepannya beberapa bekas makanan cepat saji kini memenuhi meja berukuran betisnya yang sudah nampak berantakan.

Gadis itu menghela nafas. 1 cup besar Ice Cream rasa vannila itu Ia letakkan di atas meja. Helaan nafas kedua kembali mengudara. Jennie mengusap wajah lesunya. Kepalanya yang tidak gatal itu sedari tadi Ia garuk.

Untuk yang kesekian kalinya, gadis itu merutuki diri sendiri atas apa yang telah Ia perbuat hari ini yang menjadikan pekerjaannya sebagai tumbal, “mengapa aku melakukan itu tadi?”, desahnya sambil terus menepuk dahinya.

Jennie terus menggigit bibir bawahnya, “Harusnya aku tak usah membela diri. Seharusnya aku membiarkan saja pria brengsek itu membela asisten sialannya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?”

Gadis itu kini meremas rambutnya yang diikat sembarangan itu. Ia benar-benar nampak sudah membuat kesalahan besar. Bagaimana tidak. Dari sekian banyak lowongan pekerjaan tempatnya melamar, hanya perusahaan periklanan bergengsi itu yang menerimanya. Na’asnya, belum genap 24 jam bekerja, gadis itu sudah dipecat.

“Kemana lagi aku harus melamarkan diri untuk bekerja? Siapa yang mau menerima lulusan designer sepertiku? Apa aku harus membuka butik sendiri? Tapi darimana aku mendapatkan modalnya?”, ucapnya putus asa.

Ditengah kesibukannya meratapi nasib itu, terdengar suara bel rumahnya dari arah luar. Gadis itu mengerjapkan matanya. Umpatan-umpatan bermakna hampir keluar dari mulutnya tersebut. Sialan. Padahal Jennie sedang tak ingin diganggu siapapun.

Dengan langkah malas, gadis itu akhirnya menghampiri pintu utama rumah yang Ia tempati sendiri itu. Mengintip dari lubang pintu, melihat siapa yang datang malam ini.

Ia mengernyitkan dahinya. Seorang wanita yang kelihatan seumuran dengannya tengah berdiri mengenakan mantel berwarna hitam. Gadis itu nampak sudah menyadari keberadaan mata Jennie yang masih tengah mengawasinya. Tak lama gadis itu tersenyum.

Jennie akhirnya membukakan pintu. Sapaan hangat langsung diberikan oleh gadis itu kepadanya.

“Selamat malam. Maafkan aku menganggu waktu senggangmu. Apa benar ini kediaman Jennie Kim?” sapanya sambil beberapa kali membungkukkan badan.

Jennie tersenyum canggung melihat ramah dan sopannya gadis berambut ombre itu kepadanya.

Wanita itu akhirnya mulai bersuara sembari mengangguk pelan, “Ya, aku sendiri. Kau siapa? Ada apa datang kemari?”

Gadis itu kembali tersenyum lebar, “Ah, perkenalkan. Aku Son Seungwan. Kepala bagian koordinasi periklanan di perusahaan B.I Adv,”

Jennie membulatkan matanya tak lama setelah Seungwan menyebutkan nama perusahaan tempatnya berasal, “Mau apa kau kesini? Aku sudah tak punya urusan apa-apa lagi dengan perusahaan itu! Aku sudah dipecat!”,

Seungwan tersenyum simpul, “sepertinya ada kesalahpahaman. Bisa kita bicarakan di dalam?”

Jennie terlihat ragu. Namun pada akhirnya, gadis itu mengangguk, membiarkan Seungwan bertamu kerumahnya untuk malam ini saja.

Gadis itu tak lama mempersilahkan Seungwan untuk duduk di salah satu kursi tamu yang berhubungan langsung dengan ruang tengahnya.

Jennie kembali mempertanyakan kedatangan gadis tersebut, “Lalu? Apa tujuanmu datang kesini?”

Seungwan berdehem sebentar, lalu memulai percakapannya dengan hati-hati, “Presdir memintamu untuk kembali ke perusahaan”,

Jennie mengernyit setelah mendengarkan paparan singkat dari Seungwan, “Kembali? Yang benar saja! Labil sekali, Dia! Belum 24 jam memecatku, Dia malah menginginkan aku kembali?”, keluhnya menyergah Seungwan.

Wanita berambut ombre itu hanya menggelengkan kepalanya, “Presdir tak pernah mengatakan kalau Dia memecatmu. Kau sendiri yang mengambil kesimpulan bahwa kau dipecat,” jelas Seungwan lagi.

Jennie mendesis sebal, “Lalu, mengapa tak Dia saja yang langsung mengatakan kepadaku? Kenapa harus menyuruhmu? Pecundang sekali,”

Seungwan kembali berusaha tenang untuk merespon ucapan Jennie yang memang terdengar sangat kesal dan marah akibat sang Presdir, “Presdir sedang membujuk Yongsun untuk tidak menuntutmu atas kejadian tadi. Perusahaan sangat membutuhkan seorang designer saat ini,” jelasnya lagi.

Jennie bergeming. Terlalu banyak ekspetasi di dalam kepalanya. Seharusnya Ia tak terlalu membawa perasaannya tentang hal tersebut. Seharusnya Ia sadar bahwa Kim Hanbin merekrutnya kembali bukan karena penyesalan membiarkannya pergi, tapi karena perusahaannya memang membutuhkan seorang designer.

“Jadi bagaimana? Hari kerjamu tetap dimulai besok seperti biasa. Semoga tidak terlambat lagi, ya!” ucap Seungwan menyemangati.

Jennie tak merespon dengan kata apapun melainkan hanya tersenyum malas.

|||

Langkah kaki yang terkesan pelan itu membuat Jennie kini menjadi pusat perhatian seluruh karyawan dan staff perusahaan tersebut. Ia sudah benar-benar yakin kalau orang-orang itu tengah membicarakannya dari belakang.

“Hey, itu wanita yang kemarin mendorong Yongsun-ssi, kan?”

“Bedebah itu kenapa datang ke kantor lagi?”

“Apa Dia tak punya malu? Masih memberanikan diri datang ke kantor setelah mendorong Yongsun-ssi dengan keras”

“Ku pikir Presdir telah memecatnya,”

“Dia bahkan tak punya posisi apapun disini. Berani sekali bermain dengan orang sekelas Kim Yongsun”

“Kita harus berhati-hati dengan wanita itu. Dia sinting!”

“Aku tak menyangka Presdir mau menerimanya sebagai karyawan disini,”

Desisan nyaring yang dikeluarkan oleh orang-orang tak bermoral itu sedikit membuat Jennie terusik. Namun lagi-lagi, ia harus menahan semuanya. Ia tak ingin kesempatannya bekerja disini hangus kembali hanya karena harus meladeni ocehan tak berharga dari orang-orang tersebut.

Di penghujung ruangan, telah berdiri Kim Yongsun, tengah menatapnya dengan tatapan ambisi, seakan-akan ingin membalaskan dendam kepada wanita itu, “Masih berani datang ke kantor? Ku pikir kau wanita yang punya malu dan sadar akan kesalahanmu,”

Jennie tak menghiraukan. Ia tetap melanjutkan perjalanannya menuju elevator untuk menemui Presdir perusahaan tersebut.

Yongsun menggeram. Lagi-lagi wanita itu menyindir Jennie secara terang-terangan, “Untung saja Presdir yang membujukku untuk tak menuntut manusia murahan sepertimu. Kalau tidak, mungkin rumahmu sekarang adalah dipenjara. Tolong berterima kasih kepadaku!”

Masih sama. Jennie benar-benar tak menghiraukan ucapan Yongsun sedikitpun. Pintu elevator bahkan sudah tertutup. Gadis itu sedari tadi hanya mengoceh dengan dirinya sendiri.

“Bedebah busuk itu! Lihat saja kau nanti!”, desisnya.

|||

Back To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang