Bencana

53 0 0
                                    

Rara memuntahkan semua makanan yang ada di perutnya, entahlah akhir akhir ini ia merasa jika ada yang tidak beres dengan kesehatannya.

"Kamu gak papa, nak?" tanya Ibunya, terlihat jelas raut cemas dari wajah ibunya itu.

Rara mengelap mulutnya, ia tersenyum tipis tanpa bisa  mengucapkan apapun. Ia terlalu takut untuk berpikir mengapa ini semua terjadi.

"Udah 4 harian ini kamu setiap pagi muntah terus, lebih baik kita kedokter aja ngecek kesehatan kamu," ujar ibunya.

Seketika dunia Rara seperti berhenti berputar, mulutnya terasa keluh untuk berkata. Ia hanya memandang ibunya dengan tatapan bersalah, bagaimana jika sesuatu yang tidak ia inginkan itu terjadi?.

"Yaudah ibu ke pasar dulu, kamu istirahat aja di kamar!" perintah ibunya lalu pergi.

Selepas ibunya pergi Rara menatap dirinya di cermin. Ia menatap wajahnya yang kini pucat pasi, cairan bening menetes melewati pipinya. Mengapa ia bisa sebodoh itu percaya dengan orang seperti Ali.

Rara mengusap air mata yang mulai berjatuhan dengan derasnya. Ia tak mau jika ibunya tau tentang apa yang sudah ia lakukan dengan Ali.

"Kenapa lo bodoh banget sih Ra!!!" ucapnya dengan suara parau, sembari memukul kepalanya sendiri.

Rara merabah sakunya mengambil ponsel. Ia mencari nomor Ali dan menelponnya. Ia sangat berharap jika Ali mengangkat panggilannya itu.

"Halloo, ada apa Ra?"

"Gue takut"

"Takut apa?"

"Gue hamil"

Tidak ada suara yang dikeluarkan Ali, terjadi keheningan cukup lama hingga pada akhirnya Ali bersuara juga.

"Maaf Ra tapi gak bisa ngelakuin apapun buat kamu, aku mau fokus dulu. Tapi aku janji setelah aku udah dapet semuanya, aku bakalan kembali buat kamu dan anak... Kita," terdengar suara ragu ragu di kata terakhir nya.

"Gue harus gimana... Gue gak habis fikir lo bisa giniin gue Li,"

"Jangan hubungin aku lagi, aku bakal kembali kalau semua udah selesai"

Sambungan telepon itu terputus secara sepihak.

"Halo Li" Rara mengulanginya berkali kali berharap Ali tidak benar benar memutuskan telepon itu.

Perasaannya kini hancur lebur, kecewa dan takut yang bercampur aduk, Rara membuang ponselnya ke lantai, persetan dengan ponsel kesayangan. Yang ada dipikirannya adalah bagaimana menjelaskan ke orang tuanya.

Tangisnya semakin menjadi jadi, sesekali ia berteriak menumpahkan segala amarahnya. Ia menjambak rambutnya kuat, rasa sakit di kepalanya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.

Kakinya semakin lama seperti jeli yang tidak kuat menahan beban tubuhnya lagi. Ia perlahan merosot ke lantai, "Kenapa?!!!! Kenapa ini semua terjadi?!!!"

Tiba tiba ponselnya berdering, ia mengambil ponselnya dengan isakan yang masih terdengar dari mulutnya. Ia melihat nama Gaga tertera di layar ponselnya.

"Hallo Ga?" sapa Rara dengan nada dibuat sebaik mungkin agar Gaga tidak curiga.

"Lo kenapa? Lo abis nangis? Rara lo gak bisa bo'ongin gue!"

"Lo harus janji, ini rahasia"

"Iya sayang, ada apasih? Siapa yang bikin lo nangis?"

"Gue takut..., kalau gue hamil...," Rara tidak kuat melanjutkan perkataannya karena air mata yang tidak sabar untuk turun lagi

"Apa?!!!" Pekik Gaga, "Siapa bapaknya?!"

I'm not DestroyerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang