• cing

1.9K 407 27
                                    

Sudah satu minggu lebih tiga hari. Felicia belum menelfon. Changbin uring-uringan. Jisung sampai mengeluh sakit perut karena tertawa. Chan memilih diam. Diam-diam tertawa maksutnya. Menistakan Changbin adalah hal wajib.

Jisung semangat sekali menghujat Changbin. Menularkan kalimat negatif yang semakin membuat mental Changbin down.

"Kak Fel itu cantik. Mana mungkin mau sama lo, bang. Udahlah nggak usah mimpi."

Changbin mengumpati Jisung keras-keras. Chan kembali harus turun tangan. Kadang lelah dengan kedua temannya. Tapi ya bagaimana lagi.

"Kenapa lo nggak temuin langsung?" Chan memberi saran.

Changbin mendengus kala itu. "Mau ditemuin dimana? Gue kagak tau dia dimana."

Chan mengotak-atik ponselnya. Tak lama, benda yang sama namun milik Changbin, berbunyi. Empunya segera mengecek. Ternyata pesan dari Chan. Berisi sebuah lokasi kafe.

"Apaan nih?"

"Cafenya Felicia. Seminggu yang lalu gue kesana."

Dan begitulah ceritanya bagaimana Changbin bisa duduk di depan Felicia seperti sekarang. Diruangan kerja gadis itu. Masih di dalam kafe dua lantai tersebut. Namun diruangan tersendiri.

Mereka duduk lesehan di karpet. Felicia sibuk memotong-motong kertas bergambar. Sedangkan Changbin memperhatikan dalam diam. Setidaknya sudah sepuluh menit seperti itu. Tanpa obrolan berarti.

"Ini kafe punya kamu?" Changbin memecah keheningan. Lama-lama kesal juga dikacangi.

"Ya, bisa dibilang gitu," Felicia menjawab sekenanya.

Sebenarnya tidak berniat mengacangi Changbin. Dia hanya gugup. Cemas. Gelisah. Ingat pertemuan terakhir mereka yang menghasilkan sebuah pertanyaan yang belum dijawabnya.

"Yang desain kafe ini, kamu?"

"Iya." Felicia akhirnya mendongak memandang Changbin. "Aneh nggak sih?"

"Indah. Kayak yang punya."

Changbin jujur, kok. Kafenya memang indah. Yang punya apalagi.

"Syukur deh kalo nggak aneh."

"Emang suka desain ruangan atau gimana?" Changbin memperhatikan ruang kerja Felicia yang serba hitam-putih.

Felicia menghentikan kesibukannya. Menaruh gunting dan mengikuti jejak Changbin memperhatikan ruangan itu.

"Aku lulusan desain interior. Sayang kalo nggak kepake sama sekali ilmunya. Makanya terus buka kafe dan desain sendiri tempatnya, buat sampingan juga kalo bosen nulis."

Changbin mengangguk paham. "Nulis itu susah nggak, sih?" celetuknya.

Felicia diam sebentar sebelum menjawab,

"Aku pernah baca artikel. Disitu ditulis, 'kalo menulis itu mudah, maka semua orang pasti bisa menulis'. Kalo kataku sih, susah-susah gampang."

"Aku bisa jadi penulis?"

"Menulis itu bukan cuma pekerjaan, Bin. Kamu harus punya ketertarikan sama hal yang berbau menulis.

"Jangan menulis cuma ngejar uang, ngejar terkenal. Nggak akan asik.

"Jadi penulis bukan semata-mata pekerjaan. Kamu harus mempertanggung jawabkan tulisanmu. Jika tulisanmu buruk, maka kamu ikut menanggung dosa mereka yang membaca tulisanmu, Bin."

Changbin tersenyum prihatin. "Susah ya?"

Felicia balas senyum simpul. "Lebih susah kalo aku berhenti nulis, Bin. Susah banget."

"Kalo sama jawab pertanyaanku sepuluh hari yang lalu di kantin kampus Jisung sehabis acar bedah buku, susah mana?"

Senyum Felicia memudar. Dia menunduk. Menggigit bibir bagian dalamnya. Tangan bertautan satu sama lain. Memainkan ujung kaosnya yang sepanjang paha.

Changbin yang melihat gerak tubuh Felicia hanya bisa tersenyum getir. Kayaknya gue ditolak, pikirnya.

Gadis itu berdiri dari duduknya. Changbin kira dia akan ditinggal sendiri. Ternyata hanya mengambil ponsel di meja kerja. Felicia membelakangi Changbin. Mengotak-atik ponsel. Changbin memperhatikan. Suara ponsel menginterupsi kegiatannya.

Changbin merogoh saku celana. Ada telfon dari nomor tak dikenal. Menggeser tombol hijau, Changbin mengangkatnya.

"Halo?"

Suaranya terdengar dua kali. Tidak mungkin gema, apalagi gaung. Dia refleks menoleh pada sosok Felicia yang masih berdiri membelakanginya.

"Aku mau jawab pertanyaan kamu sepuluh hari lalu."

Suara dari telfon bersahut-sahutan dengan suara dari Felicia. Changbin bingung. Berarti ini Felicia yang menelfonnya?

"Jawabannya iya."

"Hah?" Changbin refleks berteriak karena kaget.

Felicia berbalik. Mengulas senyum manis dan tatapan mata teduh untuk Changbin. "Jawabannya iya. Iya kamu boleh deketin aku. Ayo kita PDKT. Apa kurang jelas, Changbin Seo?"

Ponsel Changbin merosot jatuh menghantam karpet.

Jawabanmu terlalu jelas Felicia Atmaja.


••

destiny.✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang