Felicia mendudukkan diri di sofa. Menaruh cangkir berisi kopi yang dia bawa dari dapur di meja. Tangannya meraih ponsel. Membaca ulang pesan dari salah satu tim produksi yang mengurus pembuatan film yang diangkat dari novel terbaru miliknya. Felicia sudah membaca pesan itu berpuluh kali. Berharap isinya berubah walaupun dia tahu, hal itu tidak mungkin terjadi.
Sebenarnya isi pesan itu tidak aneh. Hanya menanyakan kesediaan Felicia untuk datang ke tempat pembuatan film, melihat secara langsung proses pembuatan dan memberi masukan sebagai penulis bukunya. Felicia juga hanya perlu menjawab pesan itu dengan kata iya. Tentu saja dia selalu melakukannya, mengawasi sendiri pembuatan film-film yang diangkat dari buku-bukunya karena dia tidak ingin mengecewakan penonton yang sudah berekspektasi tinggi terhadap setiap karyanya.
Tetapi yang jadi masalah adalah, latar film kali ini ada diluar Indonesia. Tepatnya di New York City. Terdengar tak asing bukan? Tentu saja. Kita baru membahas tempat itu pada bab sebelumnya.
New York City, adalah salah satu negara bagian Amerika serikat. Kota metropolitan padat yang dihuni lebih dari delapan juta penduduk. Di sana juga terdapat sekolah musik terbaik tempat Changbin, Chan, dan Jisung menimba ilmu. Maka apabila Felicia mengiyakan isi pesan tadi, dia harus pergi ke negara itu. Meskipun sebenarnya tidak ada yang aneh dengan pergi ke sana. Hanya saja Felicia masih belum siap bertemu dengan Changbin. Walaupun juga kemungkinan mereka bertemu, secara tidak sengaja, cukup kecil. Tetapi tetap saja, berada di satu tempat yang sama dengan orang yang kamu rindukan ketika kamu tidak bisa langsung menemuinya, itu tidaklah mudah.
Dia sendiri sudah tidak tahu bagaimana kabar Changbin. Apakah Changbin masih berada di Amerika, atau sudah berkelana ke negara lain, untuk mewujudkan cita-citanya, Felicia benar-benar tidak tahu. Karena walaupun dia masih sering mengunjungi rumah Bunda dan Ayah. Tetapi sepasang suami istri itu tidak pernah mengungkit apapun tentang Changbin.
Hal itu jugalah yang menjadi salah satu alasan yang membuat Felicia belum siap bertemu dengan Changbin. Dia takut jika nanti pertemuan mereka hanya akan menambah luka baru maupun membuka luka lama. Karena seperti yang pernah dia bilang, jarak yang begitu jauh dan waktu yang begitu lama bisa mengubah banyak hal. Termasuk perasaan seseorang. Pun jika perasaan Changbin padanya memang tidak berubah, apa keadaan bisa kembali seperti sebelum mereka berpisah?
Felicia menghela nafas. Membiarkan ponselnya jatuh ke sofa. Kepalanya bersandar pada sandaran, mencoba untuk mengistirahatkan otaknya yang seharian ini terus dia ajak bekerja keras.
Mata Felicia menatap sekeliling. Mengobservasi setiap sudut kamar Changbin yang tidak berubah. Hampir semuanya masih sama seperti lima tahun yang lalu.
Benar, sudah lima tahun Changbin pergi. Bagi kita memang tidak terasa, semua seperti berlalu begitu saja. Tetapi tidak untuk Felicia. Dia melalui setiap hari dalam kurun waktu lima tahun ini selalu tidak dengan hati yang baik-baik saja.
Walaupun dia sendiri tidak pernah memperlihatkan kerapuhannya pada siapapun. Karena dia selalu menyimpan semuanya sendirian. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Tidak boleh ada satu orangpun yang tahu jika di malam hari, dia sering diam-diam meringkuk sendirian di atas ranjang. Menatap kosong pada langit malam yang cerah namun tanpa bintang lewat jendela kaca yang tirainya tidak ditutup. Ditemani air mata yang menganak sungai di pipi, rasa sakit yang menghujam dada, juga rindu yang mengoyak hati, Felicia akan menceritakan kisah pilunya. Pada bulan yang menggantung sendirian di langit sana.
Terkadang, jika Felicia benar-benar sudah tidak sanggup untuk menahan perasaannya sendirian. Dia akan menitipkan berbait-bait pesan rindu untuk Changbin pada langit malam. Karena setidaknya, walaupun jarak memisahkan mereka, mereka masih berada di bawah langit yang sama. Dan Felicia berharap, suatu hari nanti, Changbin akan menerima semua pesan rindunya.
Felicia juga sering melakukan hal-hal sederhana seperti tidur terlentang dan menatap kosong pada langit-langit kamar. Menggumam tidak jelas tentang betapa tidak adilnya takdir yang terus mempermainkan dirinya dan Changbin. Bagaimana takdir begitu jahat karena telah membuatnya mengenal Changbin namun malah memaksanya untuk melepaskan laki-laki itu ketika dia sudah begitu mencintainya. Bahkan takdir tega membawa Changbin pergi jauh dari dirinya.
Dia pikir, mengapa tidak sejak awal saja dia tidak perlu bertemu Changbin. Bukankah semuanya akan menjadi lebih mudah? Dengan begitu, tidak ada yang akan tersakiti dalam cerita ini.
Felicia menghela nafas untuk kedua kalinya. Menyadari jika dirinya lagi-lagi berpikiran terlalu jauh. Tangan Felicia maju, meraih cangkir yang isinya hampir dingin. Bibirnya menyesap pelan isi dalam cangkir. Mengabaikan riuh dalam kepalanya. Karena seperti biasa, setiap dia datang ke tempat ini, kenangannya dengan Changbin akan berebut tempat dalam pikirannya.
"Aku punya sesuatu buat kamu di laci meja kamar."
Kenangan tentang dirinya dan Changbin yang tengah mengobrol di dalam mobil saat perjalanan mereka ke bandara, menyita perhatian Felicia. Dia benar-benar ceroboh karena melupakan janjinya untuk mengambil hadiah yang Changbin siapkan. Felicia seketika langsung beranjak dari sofa. Memandangi satu persatu meja yang ada di kamar itu.
Pilihannya jatuh pada meja kerja Changbin yang berada tidak jauh dari sofa yang dia duduki. Meja berbentuk persegi panjang dengan sebuah kursi. Meja itu menampung sekotak alat tulis, beberapa buku, juga sebuah laptop yang ditinggal pemiliknya.
Felicia pernah beberapa kali menghidupkan laptop itu. Namun isinya kosong. Dia yakin benda itu masih baru, yang membuatnya keheranan adalah, untuk apa Changbin meninggalkan laptop baru di kamarnya. Dan pertanyaan itu baru terjawab setelah Felicia membuka laci meja dan menemukan sebuah,
••bersambung••
bersambung ke part B,
bakal aku post besok malam minggu.aku bagi part ini jadi dua karena kalau di satuin jadi panjang banget (2000an words) takut kalian yang baca mubal wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
destiny.✔
Fanficft seo changbin felicia, changbin, dan takdir yang mengikat mereka. AU 2019, seobarbie.