Changbin sudah lima menit menunggu di lobi hotel saat Felicia datang.
Perempuan itu terlihat cantik dengan dress putih gading bermotif bunga berwarna kuning dan oranye menghiasi hampir keseluruhan dress yang panjangnya menutupi hingga tiga perempat kaki Felicia. Sangat cocok dipadukan dengan celana panjang berwarna senada, juga coat, cowboy boots, dan slingbag. Tak lupa sebuah mirorless cam tergantung di lehernya. Rambut yang digerai dan make up tipis menambah kesan cheerful pada penampilan Felicia hari ini.
Kontras dengan matahari pagi yang bersinar terang menyebarkan kehangatan dan keceriaan untuk seluruh penduduk kota.
"Jadi kita mau kemana?" tanya Felicia ketika Changbin menariknya keluar dari lobi hotel.
"Ada request? Lima tahun ini, aku udah keliling kota New York. Dan kalo aku yang pilih tempat, mungkin tahun depan kita baru selesai." kelakar Changbin. Felicia ikut terkikik geli mendengarnya.
"Gimana kalo ke MoMA ?"
"Museum of Modern Art?" Felicia mengangguk mengiyakan. Sedang Changbin malah mendecak pelan. "Dasar pekerja seni. Liburan aja, yang dikunjungin nggak jauh-jauh dari seni," cibirnya membuat Felicia menoyor pelan pelipis Changbin. "Ngaca! Kalo nggak dari seni, kamu mau makan apa? Dasar pekerja seni nggak tahu diri!"
Kemudian keduanya tertawa pelan. Berusaha tidak menarik perhatian sekitar dengan eksistensi mereka.
"Udah sarapan?" Changbin menggeleng. "Cuma sempet minum air putih doang tadi. Nggak sabar ketemu kamu soalnya."
Felicia mendecih. "Udah lima tahun nggak ketemu. Tapi masih aja tukang gombal. Inget umur."
Changbin mengangkat bahu tak acuh. Toh, dia tidak menggombal karena memang benar begitu adanya.
"Sarapan dulu aja, ya?" tawar Felicia. "Kemarin aku lihat ada kafe deket sini."
Keduanya lantas berjalan berdampingan. Changbin membiarkan Felicia memimpin jalan menuju kafe yang dimaksutnya. Beberapa menit kemudian, kafe yang dimaksut Felicia terlihat papan namanya. Mereka berbelok dan mendorong pintu agar bisa masuk.
Begitu kaki menginjak lantai kafe, harum bubuk kopi bercampur dengan wangi kue yang baru dipanggang menggelitik hidung Changbin dan Felicia. Mereka tak sabar memesan makanan. Setelah membayar, mereka sepakat memilih tempat duduk di pojok ruangan. Dekat dinding bata yang dihiasi lampu kerlap-kerlip berwarna putih.
"Suasana kafenya mirip sama kafe Lyana, ya, Bin," ujar Felicia membuka percapakan begitu keduanya sudah mendudukkan diri di kursi masing-masing. Gadis itu melepas mantel dan menaruhnya di salah satu kursi yang kosong, kebetulan mereka duduk di meja dengan empat kursi.
"Ya, lumayan." tanggap Changbin yang juga tengah sibuk melepas jaketnya karena udara di dalam kafe tidak sedingin di luar.
"Ngomong-ngomong soal Lyana. Kamu tahu darimana soal dia sama Darren?"
Felicia menoleh. Mengalihkan pandang dari aktifitasnya mengobservasi desain kafe. (Tiba-tiba dia ingin mengubah desain kafenya di Indonesia menjadi seperti tempat ini).
"Dari Bunda."
"Kok bisa?"
"Bunda yang cerita sebelum aku pergi ke New York."
"Kamu dateng kesini ... Itu Bunda juga yang suruh?"
"Enggak juga." Felicia menjawab singkat tanpa menoleh pada Changbin karena kembali sibuk mengamati suasana kafe.
KAMU SEDANG MEMBACA
destiny.✔
Fanficft seo changbin felicia, changbin, dan takdir yang mengikat mereka. AU 2019, seobarbie.