• deux

3K 469 32
                                    

Changbin selalu.

Bawahi dan tebalkan kata selalu.

Changbin selalu mengejek Jisung ketika laki-laki itu curhat masalah percintaannya yang berakhir tragis.

Changbin bilang, "buat apa lo sekolah sampe sarjana kalo ujung-ujung bodoh karena cinta."

Jisung mendengus. Segera membuka mulutnya untuk menjejali otak Changbin dengan pernyataan bahwa manusia butuh cinta untuk hidup.

Changbin mencibir keras-keras. Bosan dengan penjelasan Jisung yang itu-itu saja. Jisung naik pitam. Melempar barang-barang pada Changbin. Dan perkelahian itu berakhir saat Chan turun tangan melerai keduanya. Bukan apa. Dia hanya tak ingin studio musik mereka rusak percuma karena tingkah kekanakan keduanya.

Tapi, Changbin akui kalah. Changbin akui dia salah.

Dia menyadarinya sesaat setelah sebuah blitch kamera membuatnya seperti terhipnotis. ((Beruntung saat itu bukan gilirannya mengeluarkan suara. Penampilan mereka masih aman.))

Blitch kamera itu sudah hilang. Tapi bayang seorang gadis yang memotretnya barusan masih terlihat jelas di kedua retinanya. Membekas. Seperti spidol permanen. Sulit hilang.

Sosok yang dimaksut tengah menunduk. Changbin pikir, dia sedang mengecek foto potretannya di kamera.

Rambutnya sepanjang bahu berwarna hitam. Sebuah jaket varsity berwarna marun dan putih dikenakannya. Kedua tangan menggenggam sebuah kamera dslr.

Changbin berharap gadis itu mendongak.

Beruntung. Tak lama setelahnya, mata mereka bertemu pandang. Si gadis melempar senyum. Changbin balas wajah datar.

Cantik.

Seluruh tubuh Changbin menggumamkannya. Memuja segala hal yang ada pada gadis itu. Dalam jarak sejauh ini, penampakannya luar biasa indah.

Mempesona. Mengagumkan.

Changbin tak tahu harus menjelaskan bagaimana. Bahkan, jika dalam kbbi ada kata yang lebih tinggi tingkatannya dari luar biasa indah. Changbin ingin menyematkannya pada nama belakang gadis itu.

Changbin yakin, dia gila.





••




"

Fotoku sebagus itu?"

Felicia mendongak. Menemukan sosok nyata dari foto yang dipandanginya sejak tadi dari balik layar kamera.

"Oh, hai," dia menyapa canggung.

Tanpa permisi, Changbin duduk disebelahnya. Mengulurkan sebuah gelas plastik berisi lima tusuk bakso bakar.

"Buat aku?"

"Buat mamamu."

Felicia mendengus geli. Lantas mengambil gelas plastik itu. Memakan isinya dalam diam. Tak mau banyak tingkah. Takut salah dan membuat malu diri sendiri.

"Nama siapa?"

"Buat apa?" Felicia bertanya. Dalam hati sudah teriak-teriak kesenangan.

Changbin menoleh. Memuji ciptaan Tuhan disampingnya dalam hati sebelum menjawab.

"Sensus penduduk."

Felicia mendecih. Sedangkan Changbin lega, suaranya terdengar santai padahal gugup setengah mati.

"Serius, nama siapa?"

"Serius, buat apa?"

Changbin melempar gelas plastiknya yang sudah kosong. "Buat daftar di gereja."

"Lucu." komentar Felicia datar.

Mereka kembali diam. Sama-sama berusaha meredam detak jantung yang menggila.

"Fotografer?" Changbin tak tahan diam. Bertanya sembari menunjuk kamera dengan dagunya.

"Bukan. Aku penulis."

"Ngapain bawa kamera?"

Felicia melempar tatapan sinis. "Emang ada larangan untuk penulis bawa kamera?"

Changbin kicep. Sepertinya memang lebih baik diam daripada terlihat bodoh seperti barusan.

Ting!

Ponsel Felicia berbunyi. Changbin ikut menengok. Gadis itu mengambil ponselnya, mengotak-atik sebentar sebelum memasukkannya dalam tas. Dia membereskan barangnya, lalu berdiri. Hendak pergi dari sana.

"Duluan, ya," pamit Felicia.

Belum genap satu langkah, dia ditahan.

"Tunggu dulu."

Felicia berbalik. Memberikan wajah bertanya pada si pemanggil.

"Nama siapa?"

Ternyata Changbin belum menyerah.

Pertanyaan itu lagi. Membuat satu sudut bibir Felicia terangkat.

"Percaya takdir?"

Dahi Changbin berkerut bingung. Apa korelasinya antara nama dan takdir?

"Kalo nanti kita dipertemukan lagi, aku janji bakal kasih tahu namaku. Tapi, kalau takdir berniat nulis hal itu dalam bukunya."

Felicia melambaikan tangan. Sosoknya hilang ditelan keramaian.

Changbin diam. Agaknya masih mencerna. Setelah sadar, dia tersenyum bodoh. Merutuki dirinya sendiri. Mungkin ini memang terlalu cepat. Dia tidak seharusnya gegabah.

Menyerah, Changbin memilih membiarkan Takdir memainkan lakonnya.






••


destiny.✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang