• vingt et un

1K 253 8
                                    

"Masih belum bilang juga?" tanya Bang Chan begitu Changbin masuk ke dalam studio mereka.

"Bilang apa?" Changbin balik bertanya sembari lepaskan jaket dan melemparnya asal sebelum menjatuhkan diri ke sofa.

"Belum bilang juga ke Felicia kalo lo mau pergi?"

Atensi Changbin sekarang sepenuhnya terarah pada Chan. Rahangnya menegas. Ekspresinya kentara sekali, jika dia kurang menyukai pertanyaan Chan.

"Belum."

"Terus mau bilang kapan? Lo cuma punya waktu kurang dari seminggu buat jelasin semuanya ke dia. Lusa kita udah konser perpisahan, Bin. Apa iya lo mau pergi ninggalin dia tanpa penjelasan?" Bang Chan mendecih remeh. "Pengecut!"

Changbin menghela nafas putus asa. Melepas snapback dari kepala hanya untuk mengacak rambutnya asal.

"Gue nggak tahu. Rasa-rasanya gue nggak sanggup jelasin ke Felicia, kalo gur bakal pergi ninggalin dia, entah buat berapa lama."

"Kenapa nggak lo lamar dia? Ajak dia nikah. Dan bawa dia ke sana, kayak gue bahwa Jihyo," tawar Chan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Changbin.

"Bukan ide bagus. Dia punya karir di sini. Gue nggak mau merusak karir dan mimpi yang udah dia perjuangin."

Di kursinya, Bang Chan mengangguk paham. "Lo harus pelan-pelan ngomong sama Felicia. Gue yakin dia bakal ngertiin posisi lo."

"Gue tahu dia bakal ngertiin gue. Cuma yang gue takutin bukan itu."

Dahi Chan mengerut bingung. "Terus apa?"

"Gue takut, dia lepasin gue," jawab Changbin dengan suara setengah tercekat di tenggorokan.

•••

Tangan kiri Changbin meraba ke jok sebelah. Mencari tangan Felicia untuk digenggam. Setelah menemukan yang dicari, Changbin menelusupkan jari-jarinya di sela jemari perempuan itu. Dibalas genggaman erat oleh Felicia, enggan melepas.

"Lusa dateng ya ke konser terakhir 3racha," celetuknya memutus keheningan.

"Konser terakhir?" ulang Felicia yang dijawab anggukan Changbin. "Oh iya, Bang Chan harus berangkat ke Amerika, ya?" lagi-lagi Changbin mengangguk. Kali ini sembari meringis kecil.

Bukan cuma Chan, Fel. Aku juga, tambahnya dalam hati.

"Fel ..." panggil Changbin pelan. Ibu jarinya mengelus punggung tangan yang dia genggam.

"Kenapa, hm?" sahut Felicia. Tolehkan kepala demi dapatkan potret terbaik Changbin.

Mengemudi dengan satu tangan. Ditengah cantiknya senja yang mulai hilang. Mata tajam, dengan iris sekelam malam, bercayaha tersiram sinar redup lampu jalanan. Changbin-nya indah, dan Felicia selalu suka untuk menatapnya sampai bosan. Sayangnya perasaan bosan itu menolak untuk datang.

"Aku cinta kamu. Kamu tahu, 'kan?"

Dua sudut bibir Felicia tertarik ke atas saat merasakan kembali gejolak kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. "Yang aku tahu. Aku juga cinta kamu."

"Jangan pernah raguin perasaan aku, ya?" pinta Changbin. Kali ini diikuti tatapan sendu yang terarah langsung pada kedua mata Felicia. ((Changbin berani lakukan itu, tentu saja karena lampu lalu lintas menyala merah.))

Felicia menggeleng pelan. Dekatkan wajahnya pada Changbin untuk curi sebuah kecupan sebelum gunakan sisa tiga puluh lima detik lampu merah untuk memeluk kekasihnya erat. Kedua tangan melingkar di leher Changbin. Sedang dagunya disandarkan di bahu laki-laki itu.

"Aku cinta kamu. Itu artinya, aku percaya dan nggak pernah meragukan perasaan kamu ke aku. Makasih udah datang dan bikin aku merasa dicintai sebegini besar, Changbin."

•••

ternyata oh ternyata cerita ini masih panjang endingnya.

aku rubah dikit soalnya bosen nulis cerita sad ending terus:)

destiny.✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang