Sebuah kesalahan besar harus ditebus dengan sebuah tindakan yang besar pula.
Namun bagi Felicia, dengan datangnya dia ke salah satu negara paling maju dan berpengaruh di dunia, Amerika Serikat, tempat di mana seharusnya Changbin berada, sama sekali belum termasuk sebuah tindakan besar untuk menebus kesalahannya pada Changbin. Padahal sebetulnya, apa kepergian Changbin dan semua rasa sakit yang laki-laki itu tanggung adalah sepenuhnya salah Felicia?
Felicia tidak tahu. Bahkan dia sendiripun tidak tahu apa kedatangannya ke tempat ini akan mengubah sesuatu dalam hidupnya atau tidak. Dia tidak tahu apa setelah dia sampai disini, rasa penyesalan dalam dadanya akan perlahan-lahan menghilang atau malah bertambah. Dia tidak tahu.
Tetapi, dia meyakini satu hal. Bahwa dia harus datang ke tempat ini. Dia harus bertemu dengan Changbin. Bahkan jika Changbin sudah bukan orang yang sama seperti yang terakhir kali dia lihat. Karena walaupun perasaan dan keadaan laki-laki itu sudah berubah. Felicia masih tetap ingin menemuinya. Felicia masih ingin melihat wajahnya. Dia masih ingin mendengar suaranya. Dan dia masih ingin memeluknya, jika memang diijinkan.
Semua pemikiran itu membuat perjalanannya dari Indonesia menuju Amerika Serikat yang ditempuh selama hampir dua puluh dua jam di dalam pesawat menjadi terasa sangat menegangkan(padahal dia sudah naik di kelas bisnis, tetapi tetap saja perjalanannya memakan waktu lama. Dia sebenarnya mengambil kelas bisnis juga karena mendengar dari pengalaman seseorang, jika perjalanan dari Indonesia menuju Amerika akan lebih cepat jika ditempuh dengan kelas bisnis, hanya sekitar delapan jam). Dia bahkan hampir tidak bisa tidur selama di dalam pesawat. Otaknya terus bekerja tanpa henti. Memikirkan berbagai rencana saat dirinya bertemu dengan Changbin setibanya di sana.
Raut wajah seperti apa yang akan ditampilkannya. Sapaan bagaimana yang harus dia lempar. Pertanyaan apa yang harus dia lontarkan. Candaan seperti apa yang harus dia gunakan untuk mencairkan suasana. Ah, memikirkannya saja sudah membuat Felicia mual karena terlalu tertekan.
••••
Felicia memasukkan kedua tangan ke dalam saku mantel yang dipakainya. Kakinya melangkah pelan menyusuri trotoar jalanan kota New York yang penuh dengan manusia. Walaupun begitu, orang-orang yang sibuk berlalu lalang di sekitarnya tak dapat menghilangkan euforia dalam diri Felicia. Dia tidak peduli seberapa padatnya jalanan yang dia lewati. Menikmati suasana kota yang sudah lima hari ini dia tinggali, lebih penting baginya.
Sejujurnya dia sedikit menyesal karena baru hari ini dia bisa berjalan-jalan di tempat seindah ini. Sejak awal memang kedatangannya ke New York adalah untuk menyelesaikan pekerjaan, maka tidak heran jika empat hari belakangan dia harus rela melewatkan waktu mengagumi kota yang baru pertama kali dikunjunginya itu untuk menyelesaikan kewajibannya. Tetapi, Felicia tetap bersyukur bisa menggunakan dua hari sisa waktunya untuk berjalan-jalan dan lebih mengenal kota New York.
Senyum Felicia terbit. New York memang luar biasa. Tidak heran jika banyak orang ingin datang ke tempat ini. Tangannya bahkan berkali-kali mengangkat kamera mirorless yang tergantung di leher. Mengambil beberapa potret tempat yang selama ini hanya dapat dibayangkan dan dia tonton dari layar persegi.
New York City adalah satu kota terpadat di Amerika Serikat. Seringkali dikira ibu kota hanya karena kepadatan penduduk serta pengaruhnya terhadap dunia. New York sebuah kota modern yang sangat terbuka bagi siapa saja. Wajah-wajah asing dengan berbagai warna kulit mudah ditemukan di sini.
Menurut Felicia sendiri, kota ini sangat cantik dan cukup nyaman. Dengan bangunan-bangunan pencakar langit hampir menghiasi setiap sudutnya. Banyak toko yang menyediakan kebutuhan masyarakat yang dibuka di pinggir jalan. Dan nilai tambah yang dimiliki kota ini adalah kebersihan. Salah satu hal yang dapat diterapkan dari kota ini di kota-kota di Indonesia. Felicia bahkan sama sekali belum melihat sampah berserakan yang sering menghiasi hampir setiap sudut kota Jakarta.
Pantas saja jika Changbin betah tinggal disini hingga lupa pulang lima tahun terakhir.
Omong-omong soal Changbin. Felicia belum menemui laki-laki itu. Namun, dia sudah menyimpan alamat tempat tinggal Changbin, tentu saja, karena dia tidak mungkin hanya mengandalkan takdir yang akan mempertemukan mereka tanpa sengaja. (Walaupun kemarin dia sempat berpikiran untuk membiarkan takdir yang mempertemukannya dengan Changbin. Tetapi untuk kali ini saja, dia ingin mengambil alih jalan cerita untuk sementara).
Jika ditanya, bagaimana Felicia mendapatkan alamat itu. Bunda yang memberikannya. Memang, sebelum Felicia berangkat ke New York, dia lebih dulu pergi ke rumah Bunda untuk meminta pendapat, apa sebaiknya dia menemui Changbin atau tidak. Karena dia pikir, keputusan yang diambil sendirian dan dengan keadaan yang sedang kacau tidak bisa memberikan hasil yang baik.
Maka di sinilah Felicia sekarang. Berdiri di depan salah satu gedung pencakar langit yang tidak lain adalah gedung apartemen di mana di salah satu unitnya, itu adalah tempat tinggal Changbin.
Memandangi gedung itu, jantung Felicia mendadak berdetak lebih cepat. Ada perasaan senang yang melonjak-lonjak dalam dadanya. Dia tidak mengelak jika dia begitu bahagia saat ini. Karena satu langkah lagi, dan semua penantiannya selama lima tahun ini akan terbayar dengan begitu indah. Satu langkah lagi, dan dia dapat melihat wajah yang begitu dia rindukan. Satu langkah lagi, dan rindu yang selama ini dia pendam sendirian akan tersampaikan.
Namun Felicia tidak ingin terburu-buru. Dia memilih mampir sebentar ke sebuah kafe yang berada tidak jauh dari gedung apartemen. Kakinya melangkah pelan menuju kafe dengan pintu kaca dan dinding berwarna cokelat terang. Plang nama kafe terpampang besar-besar di bagian atas, depan bangunan. Dihiasi lampu berwarna putih, di sekeliling tulisan, yang sengaja dinyalakan karena langit beranjak gelap.
Pintu kaca Felicia dorong membuat bunyi gemerincing bel yang dipasang di bagian atas pintu terdengar. Aroma manis dari kue yang dipanggang bercampur dengan harumnya biji kopi yang baru saja diseduh memenuhi indera penciuman Felicia. Secara otomatis, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Karena selain suka wangi buku baru, wangi tubuh Changbin, dan bau bensin, dia juga suka campuran aroma kue dan kopi dari dalam kafe.
Felicia berjalan menuju tempat memesan. Ikut mengantri bersama dua orang lain yang lebih dulu datang dan mengantri. Mata Felicia mengobservasi suasana kafe yang tidak begitu ramai petang ini. Dan entah mengapa, tiba-tiba di pikiran Felicia terlintas sebuah pertanyaan. Apa Changbin pernah atau mungkin malah sering datang ke kafe ini?
Namun, lamunan perempuan itu harus terputus kala suara ramah dari sang pelayan menyapa telinganya. Felicia menjawabnya dengan ramah pula. Memandangi isi buku menu sebentar sebelum menyebutkan pesanannya kepada pelayan. Hanya beberapa potong kue-kue manis yang akan dia bawa untuk mengunjungi Changbin. Setelah membayar makanan yang dia beli, Felicia menerima paper bag berisi satu kotak kue-kue yang dipilihnya.
Felicia berbalik, berniat untuk segera keluar dari kafe dan segera menuju apartemen Changbin. Namun, belum genap langkah ketiganya, suara gemerincing bel saat pintu terbuka mengalihkan atensi perempuan itu.
Felicia merasa sangat terkejut dengan apa yang ditangkap oleh matanya. Dia menghentikan langkah demi memperjelas sosok yang dilihatnya di depan sana. Menyadari bahwa apa yang dia lihat sekarang adalah nyata, Felicia terpaku di tempatnya berdiri. Dunianya seakan berhenti detik itu juga. Suara berisik dari sekelompok remaja yang duduk di tengah kafe, yang sedari tadi didengarnya, mendadak lenyap. Suasana terasa lengang.
Felicia tidak tahu jika takdir akan memberinya kejutan sebesar ini.
Di sana. Di depan pintu yang hampir tertutup sempurna. Ada dua orang yang baru masuk ke dalam kafe. Seorang wanita berambut pirang sepanjang bahu dan seorang pria yang menggendong anak laki-laki berumur sekitar tiga tahun. Si anak laki-laki sedang tertawa. Sedang dua orang dewasa yang bersamanya tersenyum bahagia.
Kaki Felicia gemetar. Matanya memanas. Bulir-bulir air mata menggumpal di pelupuk matanya.
"Changbin ...." suara Felicia terdengar bergetar saat menyebutkan nama itu.
Ketiga sosok di depannya menoleh. Memfokuskan atensi pada Felicia yang berdiri dengan senyum tipis terpatri di wajah.
••••
ada yang nebak adegan ini kan ya kemarin? Wkwk ... tapi tenang aja,
aku nggak sejahat itu kok :))
KAMU SEDANG MEMBACA
destiny.✔
Fanfictionft seo changbin felicia, changbin, dan takdir yang mengikat mereka. AU 2019, seobarbie.