• huit

1.6K 338 8
                                    

Sejak kencan pertama mereka. Felicia dan Changbin belum bertemu lagi. Sama-sama sibuk bekerja. Niatnya malam minggu ini mau pergi. Tapi Felicia tak bisa. Malam ini malam kumpul keluarga.

Iya, tiap akhir bulan dimalam minggu. Keluarga Atmaja berkumpul untuk family time. Malam ini mereka putus untuk pergi ke mall. Ingin menonton film, makan, berbelanja, dan melakukan hal buang-buang uang lainnya.

Fyi, keluarga Atmaja beranggotakan lima orang. Mama, Papa, Felicia sebagai kakak tertua, dan kedua adik laki-laki kembarnya. Jeno dan Eric.

Biasanya mereka akan pergi dengan satu mobil. Tapi tadi, saat diskusi cepat. Felicia ingin mobil terpisah dengan sang Mama. Mau curhat katanya. Yang laki-laki kepo, tapi tahu diri. Diputuskan, Papa, Jeno, dan Eric satu mobil. Lalu Felicia dengan Mama.

Mamanya kira, Felicia akan langsung berisik begutu masuk mobil. Nyatanya hening mendominasi. Sepuluh menit berkendara, hanya radio peramai suasana.

"Diem aja, kak?" sang Mama berinisiatif tanya.

"Mulai dari mana ya, Ma?"

"Dari mana aja. Mama dengerin."

Felicia ingin langsung mengalirkan ceritanya. Menceritakan hal-hal yang beberapa waktu ini jadi keluh kesahnya. Mengganggu pikirannya. Tak membiarkan otaknya istirahat sejenak. Tapi semakin dewasa seseorang, dia akan semakin paham. Bahwa setiap manusia punya beban hidup masing-masing. Dan kita sama sekali tidak berhak menambah beban seseorang dengan menceritakan masalah kita.

Felicia takut bebannya akan membebani orang lain juga.

"Kak?" Mama kembali memanggil menyadari anaknya malah diam.

"Mama kenapa jatuh cinta sama Papa?"

Mobik berhenti karena terjebak macet malam minggu. Pasti banyak jomblo yang keluar.

Mama menginjak pedal rem. Lantas menoleh pada sang anak yang fokus pandangi kemacetan dari kaca depan.

"Kenapa tiba-tiba tanya gitu?"

Felicia manyun. Balas tatap Mamanya. "Jawab aja dulu, Ma," katanya merajuk.

Melihat anak gadisnya kesal, Mama malah terkekeh. Balik pandangi jalan karena mobil di depan maju perlahan. Mobil mereka bergerak. Hanya beberapa meter. Sepertinya macet akan lama.

"Kenapa Mama jatuh cinta sama Papa, hm ...." Mama mengulang kalimat tanya Felicia. Matanya menyipit. Berpikir keras mencari jawabannya.

"Karena Mama cinta sama Papa."

"Nggak nyambung, Ma." Felicia mendengus kesal. Hempaskan tubuh pada sandaran jok mobil.

"Mama serius. Alasan Mama jatuh cinta sama Papa kamu ya karena Mama cinta sama Papa."

"Iya-iya, terserah Mama."

Diam-diam sang Mama tersenyum. Anaknya itu sudah dewasa dimata orang-orang. Tapi baginya, Felicia tetap gadis kecil yang tak tahu apa-apa. Yang masih perlu dijaga.

"Mama sama Papa kenal dalam waktu tiga bulan. Satu bulan kenal, dan dua bulan pacaran."

"Cuma tiga bulan, Ma? Terus nikah?" tanya Felicia antusias. Sampai bangkit dari posisi bersandarnya. Memandang wanita disampingnya dengan penuh rasa penasaran.

Mama dan Papa jarang membahas soal cinta-cintaan begini dalam obrolan keluarga. Katanya, mereka((Felicia, Jeno, dan Eric)) masih kecil. Padahalkan umur Felicia sudah cukup kalau hanya untuk menikah dan berumah tangga.

Mama mengangguk. "Ya karena kami sudah mantap, Fel. Papa kamu dulu sudah cukup mapan. Mama juga merasa sudah siap jadi ibu rumah tangga. Kami saling cinta. Orang tua merestui. Lalu hal apalagi yang harus jadi pertimbangan untuk menunda pernikahan?"

Felicia menunduk. Kembali lesu.

"Mama nggak takut bosan?" Felicia bertanya. Suaranya kian pelan diakhir kata.

"Felicia, bukannya Mama mau menggurui kamu. Tapi Mama bukan penganut paham bahwa cinta bisa datang dan hilang seiring waktu berjalan.

"Cinta itu hal yang lebih sakral dari sebuah nyaman, dan kebutuhan. Cinta ciptakan butuh, bukan butuh ciptakan cinta. Cinta ciptakan nyaman, bukan nyaman ciptakan cinta."

"Maksutnya?" dahi Felicia mengerut. Bingung dengan konsep cinta ala Mamanya.

Sang Mama tersenyum. Mengelus sayang surai hitam anaknya.

"Sayang, begini mudahnya.

"Ada sepasang dewasa berkenalan. Seiring berjalannya waktu, si laki-laki suka karena merasa nyaman dengan gadis itu. Meminta untuk berpacaran. Ternyata sang gadis juga suka. Mereka lalu pacaran. Setahun, dua tahun, tiga tahun. Salah satunya bosan. Putuskan selingkuh. Lalu hubungan mereka selesai

"Apa itu namanya cinta?"

Mamanya mengakhiri dengan kalimat tanya. Felicia kelabakan. Dalam novel-novel yang ditulis atau dibacanya. Itu juga termasuk cinta. Hanya belum berjodoh.

Tapi kali ini, Felicia berhasil dibuat bingung.

Melihat anaknya berpikir keras. Mama memilih menjawab pertanyaannya sendiri.

"Menurut Mama, itu bukan cinta. Mereka hanya nyaman dan terbiasa bersama. Hanya sekedar itu.

"Tapi saat Mama melihat Papa untuk pertama kali. Papa bersinar. Mama langsung jatuh cinta, Fel. Mama jatuh dalam pesona Papa. Mama runtuh. Bertekuk lutut. Mama kehilangan kontrol atas diri Mama sendiri, Fel."

Felicia ikut tersenyum mendengar pernyataan Mamanya. Dia ingat pertama kali lihat Changbin. Dia juga merasakannya.

"Maaf ya, Fel. Kayaknya kok Mama jadi lebay gini." Mama mengangkat tangan. Menghapus berlian di sudut mata.

Felicia menggeleng. Menyunggingkan senyum tipis. Lantas mengelus pundak sang Mama. "Nggak lebay, Ma. Felicia tau rasanya."

"Jadi, apa yang jadi pertanyaan kamu, Fel?"

Ternyata Mamanya kelewat peka. Sadar jika pertanyaan pertama tadi hanyalah sebagian dari bab prolog.

Felicia mendadak diam. Senyumnya luntur. Dia kembali ke posisi awal. Duduk bersandar. Mata fokus pandangi kemacetan jalan.

"Fel?"

Felicia masih diam. Enggan menjawab.

"Yaudah kalo kamu nggak mau cerita. Mama nggak--"

"Mama pernah merasa rendah diri?" sambar Felicia. "Mama pernah nggak sih merasa nggak pantas buat dicintai, dipuja, dijadikan satu-satunya wanita yang Papa punya.

"Mama pernah nggak merasa Mama nggak berhak dispesialkan oleh Papa? Merasa bahwa Mama terlalu biasa untuk disandingkan dengan Papa yang luar biasa. Pernah, Ma?"

Sang Mama terkekeh mendengar pertanyaan anak gadisnya. "Kamu pernah merasa begitu, Fel?"

"Belum lama ini ada yang ngaku jatuh cinta sama Felicia," ujarnya ragu.

Iya ragu. Karena seingatnya, Changbin belum mengungkapkan perasaannya secara serius pada Felicia. Hanya gombal gembel yang menjurus kearah sana. Itu yabg buat Felicia ragu.

"Kamu sendiri, jatuh cinta nggak sama dia?"

"Felicia nggak yakin." Dia mendesah berat. "Tapi letak masalahnya bukan itu, Ma."

"Lalu?"

"Felicia merasa nggak pantas buat jadi seseorang yang udah bikin dia jatuh cinta. Felicia nggak sehebat itu. Dia terlalu luar biasa buat Felicia."

"Kenapa Felicia merasa gitu?"

"Felicia takut mengecewakan."

Mamanya menggeleng pelan. "Bukan, Fel. Felicia bukan takut mengecewakan. Felicia takut dikecewakan."

Ada jeda sebentar. Sang Mama melepas karbon dioksida.

"Felicia takut ditinggalkan lagi, kan?"

Tepat. Kalimat itu tepat menampar Felicia. Menyadarkannya dari kenyataan yang tak ingin dia akui.

Mamanya benar.

Felicia takut.

Takut ditinggalkan lagi.

••

destiny.✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang