Felicia menutup pintu apartemen Changbin. Setelah melepas sepasang sepatunya, dia menyeret langkah menuju ruang tamu. Netra cokelatnya mengobservasi keadaan sekitar sebelum mendudukkan diri pada salah satu sofa panjang berwarna hitam yang dulu sering dibangga-banggakan Changbin karena benda itu adalah benda yang pertama Changbin beli setelah unit apartemen ini resmi menjadi miliknya.Mengingat Changbin, Felicia tersenyum kecil. Tangannya meraih salah satu bantal sofa yang tertata rapi kemudian memeluknya erat. Suasana apartemen ini mungkin lengang, tapi tidak dengan kepalanya. Di dalam sana begitu berisik dan Felicia sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Walaupun gemuruh dalam dadanya kembali bisa dia dengar, hatinya juga kembali berserakan ketika pikirannya lagi-lagi dipenuhi dengan Changbin.
Selalu seperti itu. Setiap kali dirinya datang ke tempat ini, hanya kenanganlah yang menyambutnya. Dan Felicia dengan senang hati membuka tangan untuk memeluk erat-erat semua kenangan itu. Tidak peduli jika kenangan itu akan menyakitinya, mengoyaknya, menggoresnya bahkan membunuhnya secara perlahan. Felicia tidak akan pernah kapok untuk tetap berteman dengan semua kenangan itu. Baginya, semua rasa sakit yang dia dapatkan adalah harga yang harus dia bayar karena sudah berani jatuh cinta pada Changbin, jika ternyata laki-laki itu memang tidak ditakdirkan untuknya.
Felicia beranjak bangun setelah merasa cukup bercengkrama dengan kenangan-kenangan itu di ruang tamu. Dia memutuskan untuk mengajak kaki telanjangnya melangkah pelan menuju dapur. Menyusuri lorong pendek yang yang memisahkan antara dapur dan ruang tamu.
Di antara dinding yang saling berhimpit, ada dua figura yang tertempel bersisian di dinding bagian kanan. Itu fotonya dan Changbin. Walaupun, memang tidak ada wajah mereka disana, dan entah siapa yang mengambil kedua gambar itu, tetapi Felicia tetap menyukainya. Itu tetap kenangan yang indah.
Memang, kini sedikit berdebu. Sudah lama dua foto itu luput dia perhatikan. Tangan Felicia terangkat untuk mengelus permukaan kaca yang melindungi lembaran foto. Menghapus jejak debu yang menutupi hingga kembali bersih. Kemudian menatap lamat-lamat kedua foto itu sebelum mengalihkan fokus karena merasakan matanya memanas dan berkaca-kaca.
Felicia kemudian kembali lanjutkan langkah yang sempat tertunda. Dia tidak ingin ruangan ini menyimpan rekaman dirinya yang tengah menangis. Bagaimana jika suatu saat Changbin kembali, dan ruangan ini melapor bahwa Felicia pernah menangis sendirian di sana setelah memandangi foto mereka. Diam-diam Felicia terkekeh, konyol sekali isi pikirannya.
Perjalanan menuju dapur yang biasanya hanya ditempuh dengan waktu kurang dari setengah menit, kini mendadak terasa lama sekali. Sebabnya hanya satu, setiap ada kenangan yang melintas, Felicia selalu berhenti untuk menikmatinya sejenak, menikmati bagaimana rasa sakit itu terus menggerogotinya.
Sesampainya di dapur, Felicia hentikan langkahnya. Berikan waktu untuk dirinya menarik nafas sejenak sebelum memasuki salah satu tempat yang paling banyak menyimpan kenangan antara dirinya dan Changbin.
Dapur.
Netra cokelat Felicia berkeliling. Meneliti tempat dimana disetiap sudutnya terdapat banyak kilasan singkat kenangan kecil tentangnya dan Changbin. Mereka semua saling berebut tempat, dan saling bersahutan, membuat kepala Felicia seakan mau meledak saking penuhnya.
Diikuti hembusan nafas perlahan, Felicia beranikan diri untuk masuk ke sana. Telapak tangannya menyentuh apapun yang dapat disentuhnya. Mengabaikan debu yang mungkin saja akan menempel pada telapak tangan karena dapur ini lama tidak digunakan sebagaimana mestinya.
"Fel, tahu, nggak? Kamu kalo lagi masak gini cantik banget."
"Feliciaaaa, Changbin laper..."
"Nasi gorengnya asin banget, Fel? Kebelet nikah sama aku, ya?"
"Eh calon istri masak apa?"
"Felicia cantik pacarnya Changbin jangan ngambek dong. Nih kubawain cokelat panas spesial pake cinta."
"Felicia! Itu wajannya gosong!"
"Fel, dapurku sepi kalo nggak ada kamu."
"Kamu jadi koki pribadiku ya, Fel? Tapi seumur hidup. Aku bayarnya pake kartu keluarga. Mau 'kan?"
"Felicia aku sayang kamu."
"Fel--"
"Berhenti!" Felicia berseru tertahan. Tangannya terangkat untuk menutup mulutnya yang segera akan melepaskan isakan. Kedua mata Felicia berair. Bersiap menurunkan bulir-bulir air mata yang sudah lama ditahan.
Dia Secepat mungkin menarik diri dari tempat itu dan berjalan cepat keluar dari dapur, berlari di lorong kembali ke ruang tamu, menyambar sepatu, dan bergegas menjauhi unit apartemen itu bahkan tanpa sempat merapikan perasaannya yang kembali berserakan.
Felicia belum bisa bahkan tidak akan pernah bisa melupakan Changbin dengan segala kenangan yang ada.
Padahal, bagaimana jika ternyata Changbin sudah tidak memikirkannya lagi?
••••
maap lama ga up:D
KAMU SEDANG MEMBACA
destiny.✔
Fanfictionft seo changbin felicia, changbin, dan takdir yang mengikat mereka. AU 2019, seobarbie.