• qiunze

1.2K 299 28
                                    

Berita tentang hubungan Felicia dan Changbin menyebar cepat didalam rumah keluarga Atmaja. Bagaimana bisa tidak menyebar jika paginya, Jeno dan Eric terang-terangan membahas masalah itu saat sarapan.

Felicia waktu itu hanya bisa menggigit bibir bagian dalamnya. Takut-takut mengangguk saat papanya bertanya mengenai kebenaran hubungan antara Felicia dengan putra tunggal keluarga Seo.

Setelah mendapatkan jawaban pasti dari putrinya, Sang papa langsung mengamanatkan pada Felicia.

"Suruh dia kesini. Papa mau kenal."

Kalimatnya singkat. Begitu mutlak. Tak terbantahkan.

Maka saat kencan pertama mereka Felicia utarakan amanat itu pada Changbin. Changbin menyanggupi. Malah berkali-kali meminta maaf pada Felicia. Bilang, harusnya dia minta ijin dulu pada Papa perempuan itu, untuk memacari anaknya.

Benar saja, dua hari setelah itu, saat Changbin libur bekerja. Tepat jam tujuh malam, mobil pajero berwarna hitam sudah terparkir rapi di halaman rumah keluarga Atmaja.

Bohong kalau Changbin tidak gugup. Dia bahkan takut. Tapi demi Felicia, apa sih yang tidak dilakukannya?

Masuk ke dalam rumah, Changbin disambut ramah oleh calon ibu mertua. Dibawa langsung ke ruang tamu dimana Felicia sekeluarga sudah berkumpul.

Felicia duduk ditengah-tengah Papa dan Mamanya. Sedangkan Jeno dan Eric duduk berdua di sofa yang lain.
Tidak bisa dipungkiri, semua orang yang ada disana merasa canggung satu sama lain.

Akhirnya, obrolan itu dimulai tepat setelah asisten rumah tangga keluarga Atmaja kembali ke dapur selesai menyajikan minuman.

"Jadi ... apa yang mau kamu sampaikan ke saya?" Papa Felicia bersuara lebih dulu, memotong keheningan di ruang tamunya.

Changbin menarik nafas panjang sebelum memberanikan diri untuk menatap langsung tepat pada mata  Papa kekasihnya.

"Saya, Changbin Seo, om. Saya mau minta ijin untuk menjadikan anak om pacar saya."

"Cuma itu?"

Changbin menelan ludahnya susah payah. Dia merutuki dirinya yang datang tanpa persiapan apa-apa. Seharusnya dia lebih dulu berkonsultasi dengan Chan atau ayahnya yang lebih paham tentang hal seperti ini.

"Saya ...." Changbin menggigit bibir, hingga tak sadar sedikit menunduk.  Dia kelewat gugup melihat tatapan Papa Felicia menajam padanya.

Papa Felicia berdiri. Membuat semua orang yang ada disana bingung.

"Pergi kamu dari rumah saya sekarang."

"Ha?" mereka berucap serentak, kecuali Papa Felicia. Satu-persatu berdiri, masih mengarahkan tatapan tak percaya pada si pemberi perintah.

"Pa, kok Changbin diusir?" protes, Felicia menarik lengan Papanya.

Changbin benar-benar tidak terima kali ini. Dia salah apa hingga harus diusir? Bahkan disaat pertanyaanya belum dijawab.

"Om, saya—"

"Pergi dari rumah saya sekarang!"

"Om, tolong, saya—"

Bugh

"Papa!"

Felicia menggeleng kuat-kuat. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca melihat Changbin jatuh terhempas ke sofa karena pukulan Papanya barusan sangat tidak main-main. Seperti benar-benar ingin membunuh lawan saat itu juga.

Sang Mama menahan Felicia yang sudah ingin mendatangi Changbin. Sedangkan Jeno dan Eric sama-sama terdiam, bingung harus apa.

Changbin bangkit. Sedikit mengernyit saat merasakan asin dari darah yang ditimbulkan oleh robekan pada sudut bibirnya.

Pipinya masih nyut-nyutan. Tapi dia memaksakan diri untuk menggunakan sisa-sisa keberaniannya. Kepalanya sempurna mendongak agar dapat membalas tatapan tajam milik Papa Felicia.

"Om, saya bukan seorang laki-laki sehebat Om. Saya juga tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk Felicia. Tapi saya yakin, saya sanggup menyerahkan segala yang saya punya demi untuk membuat Felicia bahagia."

Changbin menarik nafas panjang. Berhenti sebentar. Tapi tak sedetikpun dia alihkan atensinya dari mata sang lawan bicara.

"Saya ikhlas jika demi mendapat restu dari Om dan Tante saya harus dipukul. Pukul saya Om, jika itu bisa membuat Om merestui hubungan kami, saya ikhlas."

Felicia menghapus jejak air matanya yang jatuh. Menatap Sang Papa dan Changbin bergantian. Dia takut Papanya akan menolak. Ah, tapi dia lebih takut jika Papanya kembali memukul Changbin membuat laki-laki itu semakin bertambah lukanya.

Sang Papa yang menjadi pusat perhatian mengangkat tangannya. Bersiap melayangkan kembali satu buah sentuhan pada tubuh Changbin.
Changbin sendiri sudah bersiap-siap. Tapi ....

Papa Felicia malah menepuk bahu Changbin dua kali. Senyum tipis tersungging di wajah tegasnya yang mulai menua.

"Ini yang sedari tadi saya mau."




••

aku ga revisi chap ini blas
jadi ya tolong maklum kalo kalimatnya aneh pemilihan kata gak pas, ada typo, perisitiwanya terkesan dipaksakan

maaaaffff banget, ga pede jujur mau update chapter ini, tapi datipada nggak apdet, kan?


destiny.✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang