• neuf

1.4K 348 16
                                    

"Felicia."

"Changbin?"

Felicia menoleh ke belakang. Matanya membelalak. Kaget menemukan sosok Changbin diantara deretan ibu-ibu yang sibuk memilih sayur. Dengan kaos hitam, celana selutut dan sandal jepit, Changbin masih saja keren dimatanya. Dia heran.

"Ngapain disini?"

"Nganterin Bundaku," Changbin menjawab. Menarik Felicia untuk minggir dari kerumunan ibu-ibu. Agar tak mengganggu jalan.

"Sering ke pasar juga?" Changbin ganti bertanya.

"Mama sama Papa lagi pergi. Bahan masak lagi habis dirumah. Aku ke pasar aja, lagian hari ini kosong, nggak kerja."

Changbin mengangguk-angguk paham. "Asisten rumah tangga kamu?"

"Kalo hari libur mereka diliburin sama Papa." Felicia mengecek jam. Masih jam setengah tujuh. "Udah lama, Bin?"

"Setengah jam lalu, mungkin," jawabnya tak yakin. "Lama banget yang belanja, gabut."

Felicia terkekeh. "Namanya juga ibu-ibu."

Changbin mendekat pada Felicia. Bertanya dengan suara agak keras karena suasana pasar yang semakin berisik.

"Kamu kalo belanja lama gak, Fel?"

"Cepet sih biasanya." matanya memicing sebelum balik bertanya. "Kenapa?"

"Baguslah."

"Kok bagus?"

"Ya berarti anakku besok nggak harus nunggu lama kalo nganter ibunya belanja."

Felicia mendengus geli. "Mulai deh gombalnya."

Changbin balas senyum jenaka. Entah kenapa dia jadi menggelikan begini. Aslinya dia juga jijik dengan diri sendiri. Tapi bagaimana lagi. Itu semacam refleks yang tak bisa dikontrolnya apabila berdekatan dengan Felicia.

"Bagus ya, Changbin. Bukannya bantuin Bunda bawain barang belanjaan malah godain anak orang."

Changbin meringis saat seorang wanita tiba-tiba datang dan menjewer telinganya.

"Sakit, Bun. Lepasin, malu dilihat orang."

Wanita yang tak lain adalah Bunda Changbin itu melepaskan jewerannya pada telinga anaknya. Memandang Felicia dengan raut wajah menyesal.

Sungguh, Felicia paham raut wajah itu. Hingga dia bingung harus bereaksi dan bersikap bagaimana.

Calon ibu mertua ini masalahnya.

"Maaf ya, Mbak. Mbaknya nggak diapa-apain anak saya kan, mbak?"

Felicia langsung menggeleng. Takut ibunda Changbin malah salah paham.

"Enggak kok, Tante. Kami tadi cuma ngobrol sebentar."

Changbin yang melihat Felicia agak kaku karena bingung harus bersikap segera menarik ujung baju yang Bundanya kenakan.

"Kenalin, Bun. Felicia. Temen Changbin."

Bunda auto menoleh pada anaknya. Syok terhadap pernyataan barusan.

"Kamu teman Changbin?" Bunda bertanya pada Felicia. Dari suaranya jelas sekali Bunda meragukan pernyataan anaknya.

"Iya, tante. Saya Felicia, teman Changbin." Felicia tersenyum manis. Ah, tidak lupa dia menyalami dan mencium tangan Bunda.

Bunda yang tangannya dicium malah panik sendiri. "Eh, tangan Bunda kotor, Fel."

Lagi, Felicia menyunggingkan senyum. "Nggak papa, tante."

"Felicia mau belanja?" tanya Bunda karena melihat tangan Felicia memegang sebuah tas belanja yang terlihat masih kosong.

"Ah, iya, Tante. Orang tua Felicia lagi pergi. Jadi Felicia yang masak," jelasnya.

Setelah itu merutuki diri sendiri dalam hati. Bingung karena dia harusnya tak menjelaskan hal tak penting itu tadi. Bagaimana nanti kalau Bunda mengecapnya sebagai gadis cerewet lalu Bunda tak suka padanya?

"Kalo Bunda ajak Felicia makan di rumah Bunda, Felicia mau?" tawar Bunda. Sama sekali berkebalikan dengan pikiran negatif Felicia, Bunda malah senang dengan sikap talkative Felicia.

Kali ini Felicia yang syok. Tapi otaknya langsung ingat kedua adik kembarnya yang masih dirumah. "Tapi adek saya nunggu di rumah, Bun."

"Adek kamu umur berapa, Fel?"

"Dua-duanya seumuran Jisung, Bun." Changbin menyambar. Ingat waktu antarkan pulang Felicia sehabis kencan melihat dari balik kaca mobil, kedua adik Felicia di depan gerbang rumah.

Bunda mengangguk paham.
"Yaudah, disuruh ke rumah Bunda sekalian aja. Makan bareng-bareng. Mau kan, Fel?"

Felicia tanpa pikir panjang mengangguk. Dalam hati bersyukur.
Dia tak tahu jika takdir sebaik ini padanya.


••

destiny.✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang