"Bacalah sepenuh hati, nikmati alurnya, niscaya kau akan menemukan sekeping perasaan yang akan tumbuh menjadi sebuah cinta."
***
Arraja Glencio Winata. Satu nama. Satu orang. Cowok yang cukup berpengaruh dalam hidupku ketika menapaki masa-masa remaja. Dulunya, aku dan Arraja saling bertolak belakang, saling mengejek dan tidak pernah ada kamus 'akur' dalam pikiran kami. Bahkan hingga kini, saat aku dan Arraja sudah menjadi pasangan kekasih masih saja suka berantem. Sepertinya hubungan kami tidak bisa masuk kategori pasangan 'romantis'—padahal aku kepingin yang manis-manis. Semua itu bukan tanpa sebab, segala sikap dan perlakuan Arraja memang selalu bikin aku emosi, kesal dan darting. Jadi, tidak ada salahnya jika aku masih menjuluki dia si 'Raja Jahil Titisan Neraka' atau 'Raja Tengil'.
Seperti pagi ini, misalnya. Di depan pintu pagar rumah, aku sedang berjalan mondar-mandir sambil bersungut-sungut menahan emosi. Darahku seketika mendidih dan naik ke ubun-ubun. Untung saja aku masih bisa menahan aliran emosi ini supaya tidak jebol.
Kalian penasaran? Arraja sudah membuat uring-uringan saat aku menunggu kedatangannya. Sesuai janji semalam yang sudah kusetujui dengan senang hati, Arraja akan menjemputku untuk berangkat sekolah bareng sekaligus cowok itu berniat menemui Papa yang hari ini sedang cuti kerja. Namun selama setengah jam aku menanti sampai tubuh nyaris lumutan, cowok sialan itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Jangankan hidung, suara deru motornya pun tak terdengar sama sekali.
"Triple O em ji... dasar cowok kurang ajar! Cowok laknat! Dia sengaja ngerjain gue ya biar gue telat masuk sekolah? Nggak guna banget sih jadi pacar. Bayangkan! Bisa dihitung pakai jari tuh cowok jemput gue." Merasa geram, aku mengepalkan jari-jari tangan.
"Mana gue hubungin dia nggak diangkat lagi? Punya HP juga nggak guna. Sialan! Percuma aja gue bikinin bekal makan siang buat tuh orang. Dianya aja mangkir dari janji. Iiiih... ngeselin banget!"
Tiba-tiba terdengar suara pintu ruang utama yang membuka, membuatku buru-buru berlari sebelum kedapatan Papa atau Mama yang hendak keluar rumah atau apa. Triple O em ji, aku hanya tidak ingin kepergok belum berangkat sekolah dan masih mejeng di depan rumah. Bisa-bisa aku kena marah dan diinterogasi lantaran sudah hampir pukul setengah delapan belum berangkat ke sekolah.
"Sial, sial, sial... rese banget sih cowok yang namanya Arraja Glencio Winata itu! Gara-gara dia, gue udah pasti telat. Mana jam segini angkutan suka lama dateng." Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan menuju halte.
Kekesalan semakin membumbung tinggi, membuatku melampiaskan hasrat itu dengan bermonolog seraya membayangkan sosok Arraja yang nyebelin banget.
Aku menghela napas kasar, menendang sembarang batu kerikil di depan jalan. "Awas aja nanti. Begitu gue ketemu orangnya, gue nggak segan-segan buat mencabik-cabik mukanya, menjambak rambutnya sampai botak, terus nendang pahanya sampai dia kena mental. Habis itu gue...."
TIIIIN!!
Triple O em ji. Suara apa itu? Sontak aku menutup kedua telinga menggunakan telapak tangan karena takut jika tiba-tiba gendang telingaku pecah dan keluar, lalu menggelinding di jalan. Kalau sampai itu terjadi, aku sudah tidak punya masa depan yang baik.
Rupanya suara tersebut merupakan klakson motor matic yang dikendarai oleh seorang pemuda, wajahnya tertutup helm. Tentu saja adegan ini membuat emosiku semakin tersulut dan aku tak segan-segan akan menumpahkannya kepada orang yang nyaris menabrakku ini. Kalau aku sampai mati, aku pasti akan menjadi wewe gombel dan bersumpah untuk menghantuinya seumur hidup!

KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Couple [End] ✔
Teen Fiction"Tapi lo beneran nggak marah sama gue, kan?" "Nggak kok." "Serius?" "Susah juga buat marah sama lo," tukas Arraja cuek, tapi berhasil membuatku melengkungkan senyum tipis. "Habis, kalau gue marah beneran, gue takut..." Arraja menatapku dalam-dalam...