Aku masih sibuk dengan buku - buku yang berserakan diatas meja. Sehabis memberikan les privat pada salah satu anak didikku, aku membereskan bukunya.
"Ummah, kapan makannya?" Rengek Najwa padaku.
"Sebentar. Ummah beresin ini dulu," sahutku tanpa menoleh padanya.
"Ummah... Najwa laapaaar... lapar... lapar... lapar... " Rajuk Najwa semakin meninggikan volume suaranya.
"Sabar, Najwa. Sebentar," jawabku lembut sambil menahan emosi.
"Najwa lapar ummah.... lapar..." Rengek Najwa lagi.
"Najwa!!! Kau jangan nggoda ummah ya!! Sebentar lagi!! Lihat ummah lagi apa?" Bentakku pada Najwa.
Najwa terlihat menangis sesegukan. Hatiku mencelos. Ya Allah... lagi - lagi aku kelepasan. Aku berdiri dan mendekap Najwa ke dalam pelukanku.
"Maaf Najwa, maafkan ummah. Kita makan yah," bujukku lirih.
"Najwa laper, ummah," cicit Najwa.
Aku menggandeng Najwa menuju meja makan. Aku menyiapkan makan untuk Najwa. Kemudian, aku menyuapi Najwa makan.
"Najwa mau makan pakai telor dadar saja?" Tanyaku pada Najwa
"Iya, Najwa ngga mau sayurnya," kata Najwa manja.
Najwa memang tidak menyukai sayuran, aku harus memeras otak untuk mengolah berbagai sayuran menjadi sebuah kue agar Najwa tetap mengkonsumsi sayuran.
"Sedikit saja makannya, pakai wortelnya juga,"kata ku pada Najwa.
" Ngga mau, rasanya enggak enak, Ummah," rajuk Najwa.
Aku tertawa kecil, Najwa memang sangat menggemaskan.
"Ummah, babah kapan pulang?" Tanya Najwa tiba - tiba.
Ini menjadi sebuah pertanyaan yang diajukan Najwa kesekian kalinya. Dia selalu menanyakan babahnya. Sudah setahun kami bercerai, dan dia tidak ada niatan sedikitpun untuk menjenguk anaknya.
"Nanti dek, babah kan kerja," bujukku lagi.
"Dek Rara abinya kerja jauh tapi telpon setiap hari, ummah. Najwa mau babah seperti abinya dek Rara," kata Najwa dengan mata berkaca - kaca.
Aku mengelus rambut keriting milik Najwa. Mengecup keningnya lama. Aku tidak pernah tahu, apa yang benar - benar dirasakan Najwa. Putri kecilku yang terpaksa dewasa sebelum waktunya. Putri kecilku yang kerap kali aku tinggal karena aku harus bekerja.
"Maafkan ummah, Nak. Maaf," kataku dalam hati. Sungguh, aku ingin menangis, meraung jika mampu. Tapi aku tak bisa. Air mataku telah lama mengering.
"Iya, nanti kita telpon babah ya. Mungkin babah sibuk, jadi belum sempat telpon kita," kataku mencoba untuk menenangkan Najwa yang sudah mulai akan menangis.
"Babah ngga lupa sama kita kan, Ummah?" Tanya Najwa dengan wajah sendu.
Aku meletakkan piring yang aku pegang ke atas meja, kemudian merengkuh Najwa ke dalam pelukanku.
"Babah ngga akan pernah melupakan Najwa," bisikku pada Najwa.
Najwa menangis sesegukan dalam pelukanku, kalian tahu bagaimana rasanya?
Aku marah pada diri sendiri, aku marah tidak mampu menjadi orang tua teladan baginya.
Aku marah pada Kak Umar, seorang ayah yang selalu dirindukan oleh puterinya namun tak pernah sekalipun menanyakan kabar Najwa.
Aku marah, sedih, semua menjadi satu. Ini terlalu menyakitkan bagi anak seusia Najwa. Dia terlalu kecil untuk memahami situasi sulit yang harus kami jalani.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABI UNTUK NAJWA (End)
Spiritual#rank1 Repost- dalam tahap revisi Menjadi single mother diusia muda bukanlah hal mudah. Aku tahu perceraian adalah hal yang paling dibenci Allah... Tapi aku bisa apa?? 'Ummah kenapa babah ngga pernah pulang?' 'Kapan babah pulang ummah?' 'Ummah, apa...