AUN-23. melamar

57.9K 4.3K 52
                                    

Entah berapa jam kami habiskan di kolam renang ini, sekarang kami telah bersiap pulang.

Aku lihat betapa bahagianya Najwa bersama lelaki yang dia panggil, ayah. Dia Max, entah bagaimana bisa Najwa memanggilnya ayah.

Najwa tertidur di gendongan Max sekarang. Aku jadi merasa bersalah. Bagaimana Najwa tidak pernah mendapatkan sosok figur "ayah" dari kak Umar sejak bayi. Ah, bukan. Bahkan sejak dalam kandungan.

"Biar Najwa sama aku aja," Kataku sambil menghampiri Max.

Max menggeleng. Lalu mengelus Najwa yang terusik tidurnya.

"Kamu bawa barang kan, biar Najwa aku yang bawa," katanya enteng.

Mau tidak mau akhirnya aku mengangguk, aku melangkah mengikuti Max dibelakangnya.

"Kamu bukan nanny, jadi stop jalan dibelakangku," Katanya lagi.

Aku menghembuskan nafas kasar, Berjalan di sampingnya. Ini seperti "keluarga yang selesai piknik".

Aku menggeleng keras, tidak!
Otak kamu sudah mulai geser Khumaira, kamu jangan berfikiran macam-macam.

"Kenapa, pusing?" Tanya Max dengan khawatir, aku dapat melihat sorot matanya yang menunjukkan khawatir.

"Pusing?" Lanjutnya lagi.

Aku gelagapan, tapi berusaha se santai mungkin.

"Sedikit," jawabku setelah berhasil menemukan suara.

"Kita mampir klinik, yah," ajaknya.

"Tidak perlu. Aku pengen istirahat"

"Baiklah," jawabnya.

Kami masuk ke dalam mobil. Aku duduk di depan dan Najwa sudah di pangkuanku sekarang.

Aku melirik Max, entah aku merasa dia berubah. Sejak dekat dengan Najwa.

"Kamu kenapa?" Tanyaku heran.

Dia menoleh, lalu menggeleng dan kemudian dia terkekeh kecil. Aku menautkan alisku, heran.

"Dasar aneh," gumamku.

"Kamu ibu yang hebat," Katanya. Aku menoleh dan menatapnya curiga.

"Kamu, ada apa?" Tanyaku.

"Aku banyak mendengar cerita tentang kamu belakangan ini. Sorry selama ini memberi kesan buruk," katanya dengan wajah serius.

Aku mendengus, aku merasa jengkel saja. Aku tidak butuh di kasihani, aku tahu dipikirannya.

"Tidak perlu mengasihaniku!" Hardikku kasar.

Dia mengangguk tegas.

"Aku tahu, kamu wanita hebat. Dan tidak butuh dikasihani," jawabnya.

"Jalan," kataku setelah itu mengalihkan pandangan ke samping jendela.

Kami sama-sama terdiam, dan sekarang aku merasa sangat canggung sekarang.

"Aku tidak suka kamu meminta Najwa memanggilmu ayah," kataku ketus.

"Aku tidak memintanya, Najwa yang menginginkannya," elaknya santai.

Aku memilih diam,

"Najwa berhak bahagia dengan sosok ayah. Kamu jangan khawatir. Aku tulus menyayangi Najwa," kata Max.

"Aku tidak mau ada gosip murahan tentang kita," jawabku lirih.

Max menatapku, dan kembali menatap lurus kedepan sambil melajukan mobil perlahan.

"Aku sudah lelah dengan semuanya, asal kamu tahu," lanjutku.

"Mau aku panggilkan tukang pijit atau aku yang pijitin?" Tanya Max dengan nada menyebalkan.

Aku menganga mendengar ucapannya. Kamu salah, mengajaknya bicara serius Khumaira. Sekali gesrek akan tetap gesrek.

"Ngga perlu!" Jawabku keras.

Dia mengangkat bahunya acuh. Oh, dosa tidak ya Tuhan. Jika aku jedotin kepala ini orang ke aspal sekarang juga?

Aku kesal sekali sekarang, dasar lelaki kardus. Otak udang!

Apa yang kamu pikirkan Khumaira, dia tidak akan pernah serius.

"Aku ngga tahu, apa aku bisa menjauh. Aku berjanji pada Najwa akan sering mengunjunginya dan mengajaknya jalan," katanya.

"Ngga perlu"

"Janji tetap janji. Kamu boleh menghindar atau apapun terserah padamu saja. Ikut malah aku senang," katanya serius, sepertinya sih dia serius.

"Kamu tahu, aku janda! Tolong, aku ngga mau anggapan negatif menyerangku," kataku putus asa.

"Jika aku menikahimu, apa itu tidak akan membuat anggapan negatif itu ada?"

Aku menatapnya dan mendekat ke arahnya. Memastikan aku tidak salah dengar.

Dia melajukan mobil dengan menambah kecepatannya. Aku kembali memundurkan wajahku.

ABI UNTUK NAJWA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang