END

79.6K 4.2K 110
                                    

"Ayah! handuknya taruh belakang dong," teriakku kesal.
"Iya, tadi lupa mah. Tolong Ummah yang beresin sekalian ya," kata Max dengan senyum mautnya.
Aku mengambilnya sambil mendengus, lelaki itu selalu sama sejak pertama kali kami menikah. Iya, sekarang sudah tiga tahun usia pernikahan kami.

Najwa kini sudah di pesantren tahfidz Al- Qur'an. Dan aku sedang hamil besar sekarang.

Max mengusap perutku halus, mengecupnya lama. Aku tersenyum melihat perlakuannya. Dia lelaki yang manis sebenarnya, tak pernah sekalipun dia menyakitiku. Meskipun semua perbuatannya bisa di kategorikan "gila". Kegesrekannya masih sama, masih hobi menggodaku dan mengesalkan.

"Ngga usah masak, kita beli saja," kata Max sambil memelukku erat. Mencium puncak kepalaku penuh sayang.

Aku mengangguk dan menurut saja, dia lelaki yang tidak suka di bantah. Jika di bantah, maka bersiaplah. Aku akan di permalukan di depan umum, bayangkan saja, tanpa segan dia akan menciumku berulang kali di depan banyak orang.

Sama seperti pertama kali kami menikah, menyebalkan bukan?

"Kapan kita jenguk, Najwa," rajukku pada Max sambil menarik - narik lengan bajunya.

"Astaghfirullah, baru seminggu lalu kita kesana. Ngga ada cerita ya, anak di pesantren kok di jenguk seminggu sekali," kata Max tegas.

Aku menunduk lesu, aku ingin menemui Najwaku. Rasanya belum rela berjauhan dengan Najwa.

"Sebentar saja, janji," kataku kekeh sambil merayu Max.

Najwa memaksa untuk masuk pesantren setahun yang lalu. Dia bersikeras ingin menjadi seorang Tahfidz.

Aku tahu, itu hanya alasan saja. Karena beberapa kali aku dan Kak Umar ribut setiap kali Kak Umar akan membawa Najwa ke rumahnya.

Aku tahu, aku egois. Tapi, itu tidak akan aku lakukan jika saja dulu Kak Umar bisa menjaga Najwa dengan baik.

Istrinya pernah menampar Najwa, bukan tidak mungkin Kak Umar juga pernah melakukannya bukan?

Aku tahu, Najwa kadang rindu pada babahnya. Aku ijinkan mereka bertemu, hanya di rumahku. Tidak di luar, atau bahkan di rumah Kak Umar. Itu tidak akan pernah aku ijinkan.

Sejak itu, kami sering ribut masalah hak asuh Najwa. Sampai akhirnya, Najwa memutuskan untuk masuk pesantren. Max bilang, itu adalah keputusan yang terbaik. Kami akan menjenguknya di pesantren.

Aku menitipkan Najwa di pesantren milik teman ameh Khadijah. Sebuah pondok pesantren putra dan putri yang dikelola di daerah jawa.

Meski awalnya berat, toh Najwa tetap menang. Dia berhasil masuk pondok pesantren atas dukungan semua orang. Lalu, aku bisa apa?

"Yah, kita jenguk Najwa. Kangen Najwa," kataku memaksa.

Max menggeleng tegas, lalu memelukku erat.

"Nanti Najwanya ngga kerasan disana. Ditegain saja, doakan yang terbaik buat Najwa," kata Max mencoba menenangkanku.

Aku merangsek di pelukan Max. Menangis sejadi-jadinya. Menghilangkan sesaknya di dada ini. Aku sangat merindukan Najwaku.

"Udah jangan nangis lagi. kita jenguk lagi awal bulan nanti," kata Max menenangkanku.

Aku melotot mendengarnya. Hah, awal bulan?

"Ngga mau!" Tolakku tegas.
Max terkekeh melihat reaksiku, lalu mencubit pipiku yang kata Max kini udah mirip bakpao.

"Sweetheart, masa anak di pesantren di jenguk terus. Sebulan sekali sudah cukup," kata Max.

"Nanti, siapa yang cucikan baju Najwa disana," kataku dengan air mata yang mengalir deras.
Membayangkan Najwa kesulitan mencuci baju saja membuatku bergidik ngeri.

"Sudah ada yang ngelondri sayang, lagian itu melanggar aturan pesantren. Apa ngga malu kena tegur terus?" Terang Max lembut.

"Nanti, kalau mau makan siapa yang suapin?" Tanyaku masih ragu.

"Ya makan sendiri, Sweetheart. Najwa bisa kok. Dia bukan anak manja, kamu saja yang berlebihan. Jangan khawatir, dia akan jadi anak mandiri," jawab Max tenang.

Aku masih saja belum merasa puas,
"Nanti- ," aku belum selesai bicara Max sudah membungkam mulutku dengan mulutnya. Max melumat bibirku lembut.

Cukup lama Max melakukan kegiatannya, sampai kami kehabisan nafas baru dia melepaskannya.

Dia selalu begitu saat aku marah dan merajuk. Itu sangat menyebalkan!

Eh, tapi enggak menyebalka  banget sih.hihihi....

"Sudah, berisik. Biarkan Najwa beradaptasi dan belajar banyak hal di sana. Dia akan baik- baik saja," kata Max sambil mengusap bibirku dengan jempolnya.

" Najwa akan menjadi anak yang pintar, akan membanggakan kedua orang tuanya. Ah, dia juga akan membanggakanku," lanjut Max.

Aku meraung, menangis lagi. Max membawaku ke pelukannya. Katakan aku berlebihan, tapi Najwa masih kecil. Bagaimana dia harus berjauhan denganku?

Siapa yang akan menjaganya di luar sana?

"Najwa keras kepala. Memaksa minta masuk pesantren padahal masih kecil," gerutuku dengan suara teredam karena sekarang aku masih di pelukan Max.

Max mengusap - usap puncak kepalaku lembut, dia lagi-lagi terkekeh. Menyebalkan!

"Jangan ketawa!" Hardikku kesal sambil melepas pelukannya. Aku mencubit perutnya keras sampai Max meringis.

Max hanya meringis, kemudian tersenyum kecil sambil mengusap perut bekas cubitanku pelan.

"Lagian kamu lucu, Najwa di sana santai kamu yang heboh," kata Max lagi.

Iya sih, waktu kami bertemu disana. Najwa terlihat sangat antusias. Dia terlihat senang dan menceritakan banyak hal. Katanya di pesantren banyak teman, mereka semua baik pada Najwa. Terlebih lagi gus disana. Dia sangat baik, sering membawakan masakan padang kesukaan Najwa.

Tapikan, bisa jadi sebenarnya dia sedih dan ingin pulang tapi terpaksa harus bohong. Apa ada, anak yang senang jauh dari ibunya?

Apalagi selama ini, hanya aku yang menjadi sandaran Najwa.

Ah, Najwa... Ummah kangen kamu.....
Max terdiam beberapa saat.

Dia menggendong ku dan membawaku ke dalam mobil yang terparkir di garasi rumah.

"Kita jenguk Najwa," katanya.
Aku menatapnya penuh haru, aku memeluk Max dan mencium pipinya berkali-kali.

Dia ngga akan pernah menang jika aku sudah merajuk. Max selalu begitu sejak pertama kami menikah. Dia akan selalu menurutiku meski awalnya harus debat kusir. Bahkan Najwa sampai menjuluki ayahnya sebagai bucin.

Aku malah baru tahu istilah itu dari Najwa.Kata Najwa bucin itu artinya budak cinta.

Max tertawa lepas,
"Kamu ini ya, mau cium-cium kalau ada maunya," katanya sambil menarik hidungku.

Aku hanya tertawa, terserah saja apa kata dia. Yang penting aku berhasil membujuknya untuk menjenguk Najwa. Lagi-lagi Max menganggapku semakin menggemaskan. Yang benar saja, dia memang aneh!

- END -

note:

ameh: saudara perempuan ibu

woaaaaah
maaf yaaa Max di tamatkan akhirnya karena ngga ada konflik lagi. Huhuhu.....

Tapi tenang saja, ada kisah Najwa yang sudah Up sampai 2 episode. Jiaaah......

mampir yaaa ke lapak " JATUH CINTA"

Disitu akan sering ketemu Najwa dengan kisah cinta di pesantren.

Tapi insyaallah pasti seru kok. Dee lagi pengen nostalgia masa -masa waktu di pesantren saja.

Hayooo... ada yang masih di pesantren??

Yuk, boleh laah bantuin Dee kasih ide cerita. bisa kirim pesan.

happy reading...

ABI UNTUK NAJWA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang