AUN-8. Masih mencintainya??

61.9K 4.8K 249
                                    

Yuk vote, komen dan follow yaa...
Biar Dee ada semangat buat up lagi...

...

Entah berapa lama aku tak mampu menggerakkan tubuhku sama sekali. Namun samar-samar, aku mendengar isak tangis suara itu. Aku mengenali persis, itu suara Najwa, Ummi, Abi dan 'dia' secara bergantian selama beberapa waktu.

Aku sendiri tidak bisa membedakan ini mimpi atau nyata. Aku sungguh tidak bisa membedakannya.

"Ummah, jangan tidur terus. Najwa kangen, hiks..hiks," suara Najwa terdengar semakin jelas.

"Khumaira, bangun. Aku lebih baik kamu maki-maki. Sungguh, aku sangat menyesal. Jangan menghukumku seperti ini. Aku masih  sangat mencintaimu"

Suara 'dia' terdengar sangat jelas sekarang. Ah, mungkin aku bermimpi.

Setetes air mengenai dahiku, aku mencoba membuka mataku. Sedikit demi sedikit cahaya silau terlihat. Dan yang pertama aku lihat adalah wajah 'dia'. 

Dia menangis?!
Aku tak percaya lelaki egois macam dia bisa menangis.

"Alhamdulillah... Kamu sudah sadar Khumaira, biar kak Umar panggilkan dokter!" Seru kak Umar lalu berlari meninggalkan ruangan.

"Ha-us," kataku terbata.

Najwa berhambur memelukku erat sambil menangis.

"Ummah kangen, Najwa janji tidak akan menemui babah. Najwa janji. Jangan tidur lagi. hiks..hiks," kata Najwa sambil terus memelukku.

Aku meneteskan air mataku. Aku egois, aku ibu yang sangat buruk.

Bagaimana bisa, Najwa berkorban demi ibu macam aku?

Bukankah bertemu ayahnya adalah hak Najwa?

Aku memeluk erat Najwa, menangis dalam pelukannya.

Suara derit pintu terdengar, dokter dan Kak Umar masuk.

Setelah selesai memeriksa, Dokter menatapku ramah.

"Bagaimana ibu, apa masih pusing?" Tanya Dokter lembut.

"Ha-us," ucapku terbata. Tenggorokanku kering sekarang. Kak Umar menyodorkan segelas air putih untukku.

Aku langsung meminumnya dengan bantuan Najwa.

"Apa yang dirasakan sekarang?" Tanya Dokter lagi.

"Sedikit pusing, Dok," jawabku lirih.

"Istirahat saja, jangan banyak bergerak. Jika ada apa-apa bisa hubungi saya. Kondisi ibu sudah stabil sekarang," kata Dokter sebelum pergi meninggalkan kami.

Aku memalingkan wajahku ke arah lain. Aku melihat tatapan sendu Kak Umar, Tuhan... Aku tidak ingin jatuh pada lubang yang sama.

"Khumaira, kamu mau makan? Biar kak Umar suapin, yah," kata Kak Umar lembut.

Aku menggeleng, aku sengaja tidak membuka suara sama sekali.

Aku benci Kak Umar, aku benci diriku sendiri, aku benci aku mencintainya.

"Khumaira," bisik kak Umar

"Pergi," akhirnya aku mampu mengucapkan sepatah kata. Aku mengucapkannya dengan nada dingin dan datar saja.

"Maafkan, kak Umar," kata Kak Umar lirih.

Aku memalingkan wajahku. Ku pegang tangan Najwa erat. Sungguh, aku sangat takut kehilangan Najwa.

Air mataku tak terbendung lagi.

"Maaf, maaf," kata Kak Umar lagi dengan kepala menunduk.

Aku masih terdiam, air mataku kini tak bisa lagi aku bendung. Aku tidak tahu, rasanya sesakit ini hanya dengan berada di dekatnya saja.

Dia, yang menghancurkan mimpiku...
Dia, lelaki egois yang memupus mimpiku dan cita-citaku sejak kecil saat dia menikahiku...
Dia, lelaki yang terus melukaiku..

Aku membenci lelaki dihadapanku ini, sangat membencinya...

Aku tak pernah tahu, apa aku benci melihat dia telah bahagia dengan "wanitanya" , sedangkan aku terseok sendiri bersama luka.

Atau aku benci karena aku masih  mencintainya dan dia tak pernah memberikan cintanya padaku?

Ah, aku mencintainya?
entahlah...

"Pergi. Biarkan saya bahagia bersama Najwa. Saya sudah lelah," Jawabku dengan suara parau.

"Maaf untuk semua luka, maaf Khumaira. Bisakah kita rujuk kembali?" Tanya kak Umar serius.

Aku tertawa perih. Sungguh, ini lelucon yang tak lucu bagiku.

"Tidak akan pernah!" Jawabku tegas.

Iya, aku tidak akan pernah kembali padanya. Aku tahu rasanya  terluka tak berdarah, tak bernanah saat suamiku menikahi wanita lain. Dan aku tidak akan melakukannya.

Bukankah cinta itu egois?

Iya, aku egois. Aku bisa menjadi ayah sekaligus ibu bagi putri ku. Sejak aku meminta berpisah darinya. Aku mencintai putriku lebih dari nyawaku sendiri.

"Kak Umar sangat mencintaimu. Sungguh, maafkan Kak Umar," katanya dengan suara rendah.

"Cukup! Silahkan pergi. Jangan pernah bawa Najwa," jawabku dengan tegas sekali lagi.

Kak Umar menatapku sendu. Aku mengeratkan pelukanku pada putriku.

Seegois inikah lelaki yang pernah aku cintai?

Ah, atau masih aku cintai?
Entahlah.

Aku rasa hatiku telah mati. Aku tak mampu lagi mencerna dan meraba apa yang hatiku rasakan.

Aku hanya tahu satu rasa.

Iya, satu rasa yang selama ini aku jalani...

...Sakit....

ABI UNTUK NAJWA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang