Ekstra part 2

72.3K 4.5K 57
                                    

Aku selalu kalap saat mengambil belanjaan di supermarket. Bahkan ada beberapa bungkus keripik kentang yang aku masukkan ke dalam troli. Kalau keripik kentang itu wajib ada sejak hamil.

Max masih setia membuntutiku sambil mendorong troli.

"Sayang, ini kemarin sudah beli segini banyak loh. Nanti Najwa marah karena ummah boros," kata Max mengingatkan.

Aku berhenti sejenak, aku baru ingat. Setiap minggu selalu kalap begini, membeli banyak barang kebutuhan Najwa yang sebenarnya sudah ngga dibutuhkan lagi saking seringnya aku belikan. hihihi...

"Ehm ... ya udah balikin ke raknya lagi. Ummah mau keripiknya aja," jawabku cuek.

Max melongo ditempatnya lalu menggelengkan kepala. Toh dia akan tetap meletakkan barang-barang tadi ke tempat semula. Setelah hampir dua jam kami berpetualang di dalam supermarket, kami hanya membawa beberapa keripik kentang setelah keluar.

Aku melenggang masuk ke dalam mobil, sambil mengunyah keripik kentang yang baru kami beli di supermarket tadi.

Setelah membukakan pintu dan membantuku duduk, Max meletakkan belanjaan kami. Ah, tidak! sebenarnya itu belanjaanku, lebih tepatnya stok keripik buat aku. Kemudian dia duduk di belik stir kemudi dan melanjutkan perjalanan kami.

"Yah, nanti ajak Najwa keluar pondok dong," bujukku pada Max.

Max menggeleng tegas, aku mencoba memasang wajah memelas.

"Ayah, mau ya.... Ajak Najwa keluar, di rumah saja," rayuku sekali lagi.

"Kita udah bahas ini berkali-kali. Najwa pengen jadi seorang hafidzoh. Biarkan saja, kita harus dukung dia," jawab Max tenang.

Aku memasang wajah jutek, selalu saja begitu jawabannya. Aku sengaja membuang muka ke jendela, malas menatap suami yang raja tega itu.

"Aku marah ya sama ayah, jangan pegang-pegang deh!" Hardikku kesal saat Max berkali- kali mengelus perut buncitku.

"Marah kok bilang-bilang. Jangan marah-marah terus, cepet tua nanti," ujar Max menggodaku.

Aku melotot mendengarnya menyebutku tua.

Plak!

plak!

plak!

Aku berkali kali memukul lengan Max saking sebalnya. Max kali ini hanya tertawa. Ah, bagaimana aku ngga tambah sebel kalo begini.

"Ish! Aku marah. Ngga boleh ketawa, aku gigit nih," ancamku dengan menatap mata Max garang.

"Iya, maaf sweetheart. Udah hampir sampai di tempat Najwa, jangan marah terus," kata Max segelah tawanya mereda.

Akhirnya, setelah perjalanan lumayan lama kami sampai juga di pondok pesantren tempat Najwa belajar. Ah, bukan belajar. Dia mah sok gede! Menyebalkan sekali, apa tidak kangen sama ummahnya?

Aku langsung keluar dari mobil begitu Max selesai memarkirkan mobil. Meninggalkan Max sendiri, dan aku setengah berlari menuju ndalem.

Max berteriak menghentikanku berlari, aku mengacuhkannya. Aku kangen Najwaku!

"Sweety, jangan berlari! Ya ampun itu perut kamu udah gede!" Teriak Max yang membuat beberapa santri menatap kami.

"Apa sih, berisik benget," bisikku kesal setelah Max mendekat. Aku mencubit perutnya. Yakinlah, mencubit perut Max sama seperti mencubit batu. Keras!

"Assalamu'alaikum," ucap kami bersamaan.
Aku tersenyum lebar karena kami mengucapkannya bersamaan. Kadang hal - hal kecil begini membuatku bahagia.

ABI UNTUK NAJWA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang