Malam semakin larut, rasanya aku masih belum bisa percaya semua ini nyata, seperti mimpi saja. Semua terjadi begitu cepat.
Najwa sudah sejak ba'da isya tadi di bawa ke rumah Ummi oleh Khal Ahmad. Namun sepertinya para tamu masih terus saja berdatangan. Entah ada berapa tamu yang diundang, dan kapan menyebarkan undangan itu sampai aku sendiri tidak tahu menahu soal ini semua. Mungkin, karena aku sibuk memikirkan Najwa.
Ah, Najwa...
Malam ini sepertinya akan menjadi malamku tanpa Najwa di pelukanku. Dan, akan menjadi malam pertamaku bersama suamiku.Ah, Ya Allah...
Sejak kapan aku menjadi se mesum ini. Rasanya pipiku memanas memikirkannya.
Astaghfirullah...Tiba - tiba aku tersentak kaget dan membawaku pada kenyataan sekarang, saat melihat orang "itu" tepat di hadapanku.
"Selamat, ya," kata Kak Umar saat berdiri di depan kami.
Aku dapat melihat tatapan sendu di matanya. Aku merasa kosong sekarang. Entahlah, apa yang aku rasakan sekarang.
Aku merasa kacau saat di hadapan Kak Umar.
"Terimakasih atas do'anya," jawab Max sambil merengkuh pinggangku posesif.
Aku terkesiap, lalu mengangguk dan menangkupkan ke dua tanganku.
"Jaga diri, ya," bisik Kak Umar lirih.
Pandangan kami bertemu untuk beberapa saat, aku dapat melihat jelas air mata yang menggenang di pelupuk mata Kak Umar.
Aku merasakan pelukan Max di pinggangku makin erat.
"Jaga pandangamu, Sweetheart," bisik Max di telingaku.
Aku memutuskan pandanganku. Kak Umar pergi dari tempat kami berdiri sekarang.
Aku masih terdiam, pikiranku kosong sekarang. Lamunanku buyar setelah Max berulang kali memghujani pipiku dengan ciuaman.
Seisi ruangan heboh karena ulah Max. Suara gelak tawa dan sindiran memenuhi ruangan. Wajahku memerah sekarang.
Aku mencubit lengan Max gemas, Max manatapku dengan pandangan serius. Aku jadi takut, ini pertama kalinya dia tidak bercanda sama sekali, di raut wajahnya terlihat dingin dan menyeramkan ku rasa.
"Jangan coba-coba melakukan hal itu lagi, memikirkan pria lain. Baik dibelakangku atau bahkan di hadapanku, Khumaira," bisik Max pelan namun terdengar semakin menakutkan bagiku.
Dia menyebut namaku, iya. Namaku, bukan sweety atau sweetheart seperti biasanya.
"Ma-Maaf," cicitku.
Max tak lagi melihat ke arahku.
"Kalau bule mah gitu yah, main sosor aja," kata Khalati Zainab menggoda kami.
"Sabar atuh, Kang. Masih banyak tamu," canda Kang Asep salah satu tetangga kami.
Gelak tawa kembali terdengar riuh, aku rasanya ingin berteleportasi langsung ke dalam kamar sekarang. Rasanya sangat malu.
Max terlihat santai sambil menatap para tamu Undangan.
"Sejak kapan undangan di bagi?" Tanyaku mengalihkan perhatiannya, dan berusaha mengajaknya mengobrol berharap sedikit meredakan kemarahannya.
Max menoleh ke arahku kemudian tersenyum tipis, dia masih terdiam dan tak menjawabku.
Aku menghela nafasku, sepertinya dia marah karena kejadian tadi. Padahal sungguh, aku tak bermaksud apapun.
Lagian wajar dong, kami pernah merasakan hidup bersama dan sekarang aku menatap wajah sendunya. Siapa yang bisa biasa saja?
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABI UNTUK NAJWA (End)
Spiritual#rank1 Repost- dalam tahap revisi Menjadi single mother diusia muda bukanlah hal mudah. Aku tahu perceraian adalah hal yang paling dibenci Allah... Tapi aku bisa apa?? 'Ummah kenapa babah ngga pernah pulang?' 'Kapan babah pulang ummah?' 'Ummah, apa...