AUN-14 Sandal jepit

53.7K 4.2K 15
                                    


Aku masih berjalan dengan cepat. Tiba-tiba tangan kekar menarik tubuhku. Hampir saja aku terjatuh, untung tubuhku ditopang oleh seseorang.

Setelah aku berdiri dengan tegak, dia berjongkok dan meletakkan sebuah sandal jepit di depanku. Dia lelaki cerewet itu, Max.

"Ck, kamu bisa jatuh kalau maksa pakai sepatu itu. Lepas," katanya sambil melepas sepatu di kakiku.

Rasanya aku jadi gugup, aku tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh lelaki. Tidak pernah sekalipun, meski itu kak Umar sekalipun. Ini adalah yang pertama.

"Ma-makasih," jawabku terbata. Ah, aku yakin sekarang ini wajahku pasti semerah tomat.

Dia menenteng heels milikku di tangan kanannya.

"Eh, sini sepatuku. Biar aku yang bawa," kataku pelan sambil mencoba mengambil sepatuku dari tangannya.

Max menganggkat sepatu itu tinggi-tinggi.

"Biar aku yang bawa. Dasar keras kepala, pasti mau dipake lagi kan?" Katanya ketus.

Aku mengulum senyum, sebenarnya lelaki ini tidak semenyebalkan itu kurasa.

Oh, astaga Khumaira! No!
Dia sangat menyebalkan!

"Mau kemana, biar aku antar," katanya dengan nada datar. Dia masih terus berjalan di depanku.

Aku heran, dia mau ngajak aku atau tukang cangcimen di depan itu sih?

"Hei, ditanya malah diem aja," katanya dengan nada kesal sambil berhenti dan berbalik ke arahku.

"Kamu ngomong sama aku?" Tanyaku sok polos.

"Iya!" Jawabnya ketus.

"Ngga perlu tahu, siniin sepatuku," kataku sebal.

Ini lelaki ngga ada manis-manisnya ya, menyebalkan sekali.


Lagi-lagi dia berjalan mendahuluiku sambil menenteng sepatuku. Aku rasa dia berjalan menuju mobilnya.

"Hei! kamu menyebalkan," kataku bersungut-sungut sambil setengah berlari mengikuti langkah lebarnya.

Dia masih saja terus berjalan. Sampai di sebuah mobil, dia masuk dan sepatuku ikut dibawa masuk ke dalam mobilnya.

"Ayo sini masuk, mau dibukakan pintu kaya sopir sama majikan?" Tanyanya dengan suara melengking.

Aku berdecak sebal, lagian siapa juga yang minta tumpangan. Dasar pria aneh!

"Masuk!" Katanya tegas.

Wajahnya menyeramkan kalau sudah begini. Akhirnya aku masuk dengan wajah ditekuk.

Oke, terpaksa masuk. Dari pada aku di cincang dan dijadikan pakan buaya kan gawat urusannya.

Mobil berjalan lurus dengan kecepatan sedang, aku masih diam saja.

"Mau kemana?" Tanyanya dengan nada sedikit lembut, catat! SE-DI-KIT!

"Jadwalnya Haris belajar," jawabku dengan nada datar.

"Dia hanya menganggukkan kepalanya.

Kami terdiam, aku kembali teringat Najwa. Air mataku mengalir begitu saja setiap mengingat Najwa.

Aku jadi takut, Kak Umar benar-benar membawanya kabur. Sebab sejak hari pertama Najwa dibawa, tidak ada kabar apapun.

"Kamu sebenarnya kenapa sih, hobi banget bengong sama nangis. Patah hati kamu?" Tanya Max lirih.

Aku usap air mataku dengan kasar. Aku coba mengatur nafasku lalu menoleh ke arahnya.

"Memangnya apa urusan kamu?" Tanya ku dengan ketus, aku rasa suaraku agak serak sekarang.

"Kamu bisa anggap aku teman. Aku pendengar yang baik loh," katanya penuh percaya diri.

Aku naikkan sebelah alisku. Aku merasa heran saja, dia sangat aneh.

"Ngga perlu, aku ngga butuh teman," jawabku ketus.

"Ck, keras kepala!" Katanya sambil berdecak.

Tanpa terasa mobil telah sampai di rumah Haris. Aku keluar dari mobil, lalu disusul Max setelahnya.

Mbak Asih menyambut kami dengan senyum lebarnya. Oke, beriaplah untuk terus di goda mbak Asih, Khumaira.

"Assalamu'alaikum," sapaku ramah.

"Wa'alaikum salam, Cie barengan nih," jawab Mbak Asih yang langsung menggodaku.

Max langsung menyambar tangan mbak Asih dan mencium tangannya lalu berlari masuk ke dalam rumah.

"Cie... Khumaira," kata Mbak Asih menggodaku.

Aku hanya geleng-geleng kepala heran.

"Kakak!" Teriak Haris sambil berlari dengan tas ransel digendongannya.

"Hai ganteng,kita belajar yah," kataku sambil tersenyum.

Haris mengagguk mantap. Oke, lupakan semua masalah, fokus belajar saja kali ini

ABI UNTUK NAJWA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang