15 - Home sweet home

150 17 1
                                    

13 april 2019

Jihan kembali menginjakkan kakinya ditempat yang sudah lama ia tinggal, rumah bernuansa serba putih itu terlihat sangat menentramkan mata. Beberapa bunga dengan macam berbeda ikut mempercantik halaman, stapak kecil menuju teras masih terlihat bersih. Sendal sendal tersusun rapih, tak ada sampah sedikitpun. Wangi lavender masih menyapanya dengan lembut begitu pintu pertama dibuka.

"Ayahh!!" Seru Jihan sambil berlari meninggalkan kopernya di depan pintu.

"Eh Jihan, loh? Bukannya besok ya baru pulang?" Sambut sang ayah.

"Em, sebenarnya sih gitu. Tapi karna kemarin udah selesai penamatannya jadi yah jadwal perpulangan udah di buka hari ini."

"Kok gak telfon Ayah sih biar Ayah jemput?"

"Hehe surprise Ayaahh!!" Ucap Jihan dengan cengiran khasnya.

"Hohoho begitu rupanya." Balas Hamka sembari mengacak puncak kepala Jihan.

"Ayah sehat kan? Ayah tinggal sama siapa disini? Ayah makannya teratur gak? Ayah gak pernah sak__"

"Sstt tanyanya satu satu dong," sela Hamka

"Hehe Ayah sehat kan?"

"Alhamdulillah, oh iya selama kamu di pondok, Ayah gak tinggal disini, tapi dirumah omah Tantri. Dan tau sendirikan kalo di rumah omah itu kaya gimana? Gak makan sekali aja langsung dibawain golok." Tutur Hamka dengan kekehan.

"Hehe iya sih."

"Terus Jihan disana gimana? Udah hafal berapa juz?"

"Ayah tau ga sih? Jihan ternyata udah hafal tiga juz loh.. udah gitu Jihan termasuk kategori siswa yang lulus dengan nilai terbaik, pasti Ayah gak nyangka kan? Jihan aja ga nyangka!" Celotehnya pada Hamka yang sudah terkekeh geli.

"Jangan lupa bilang Alhamdulillah sayang, lagian Ayah percaya aja kok kalo Jihan bisa seperti itu, kan sudah Ayah bilang, Jihan itu sebenarnya pintar. Cuma malas aja, makanya Ayah kirim Jihan ke pondok. Coba aja kalo Jihan dari SMP mondoknya, makin kelihatan kali kalo Jihan itu jenius." Jelas Hamka pada Jihan.

"Tapi Ayah tetap bangga kok, walau bagaimanapun Jihan adalah satu satunya harta paling berharga yang Ayah punya." Lanjut Hamka, kini Jihan hanya bisa tersipu malu.

"Oh iya yah, gimana kabarnya Idar?" Tanya Jihan mengalihkan pembicaraan, karna ia tau, berlama lama dengan pujian hanya akan menimbulkan sifat sombong.

-Haidar Angkasa Yunanda-
Satu satunya sahabat sekaligus tetangga dari kecil yang paling mengerti Jihan dalam situasi apapun. Karna disaat banyak teman yang meledek bahwa Jihan adalah anak pungut yang tidak memiliki Ibu, selalu ada Haidar yang membela. Dan nama Idar itu adalah nama panggilan Haidar dari Jihan.

"Oh, dia baik baik aja, dia dulu sering kesini nyariin kamu loh.. terus Ayah bilang aja kamu lagi mondok. Dia juga sekarang udah semester dua tuh, kemarin katanya pengen nawarin kamu untuk masuk univ yang dia tempati sekarang."

"Oh, emang sekarang dia kuliah dimana yah?"

"Di Universitas Indonesia."

"Widih, sok banget dia," ledek Jihan dengan kekehan

"Bukan sok namanya kalo emang pintar."
"Yaudah yuk, makan dulu. Mumpung mbak Lastri udah masakin, entar keburu dingin."

"Siap komandan." Balas Jihan memamerkan deretan gigi putihnya.

* * *

Matahari mulai menghilang, menyisakan semburat orange yang terlihat indah. Jihan menempatkan badannya di ranjang, kepalanya masih dibaluti handuk bekas keramas.

Black VeilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang