32 - Fakta pertama

159 12 1
                                    

Setelah perbincangannya dengan Khansa selesai, El langsung menuju kamarnya berniat untuk melihat Jihan

"Astaghfirullah Jihan!!" Panik El begitu ia melihat tubuh istrinya tengah tergeletak pucat di lantai dekat pintu kamar. Dengan sigap El mengangkat tubuh Jihan ke atas ranjang dan pergi mencari bantuan.

Kini wanita berusia sekitar tiga puluh tahun telah berdiri di samping ranjang yang tengah Jihan tempati. Bajunya di baluti jas putih selutut dan stetoscop yang tergantung di lehernya.

"Syukurlah, istri anda baik baik saja, dia hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat," ujar sang dokter sambil merapihkan alat alat yang sempat ia gunakan tadi.

"Oh iya, berikan dia makan yang banyak ya, saya rasa dia juga kehilangan energi karena perutnya belum terisi." Pikiran El langsung menerawang berusaha mengingat kalimat Jihan beberapa menit lalu.

"Jihan rela relain gak makan dulu sebelum kaka pulang dari kantor,"

Kata kata itu kembali terngiang di telinganya membuat perasaan bersalah semakin mencekam.

"Pak," suara sang dokter sukses membuyarkan lamunan El.

"Ah, eh, iya?"

"Ini ada vitamin buat penambah energi,"

"Oh, i-iya makasih dok." Sang dokter mencetak senyum.

"Sama sama, saya permisi dulu." Ujar sang dokter sambil beranjak pergi.

* * *

Sebenarnya hari ini El ada jadwal rapat bersama karyawan lainnya, namun ia batalkan demi menjaga istrinya yang tengah terbaring lemah di atas ranjang. Tangannya sedari tadi sibuk mengusap anak rambut yang sedikit menutupi wajah Jihan. Bubur yang ia buat juga sudah tersaji, sekarang dia tinggal menunggu Jihan sadar.

"Jihan," seru El dengan mata berbinar begitu ia melihat kelopak mata Jihan mulai terbuka. Tampaknya Jihan hendak membangkitkan tubuhnya. Tanpa disuruh El langsung membantu Jihan untuk duduk kemudian El menggapai segelas air putih yang sudah ia siapkan lantas memberikannya pada Jihan.
Usai meneguk air yang di beri El, Jihan tersenyum kaku. Wajahnya masih pucat.

"Makan dulu ya, nih ana udah buatin bubur." Tukas El sembari menyendok bubur yang ada di dalam mangkuk. Jihan mengangguk patuh, tak bisa di pungkiri, hari ini Jihan sangat lapar. Bagaimana tidak? Sedangkan dari kemarin siang ia tidak memakan makanan berat sedikitpun.

"Kak," panggil Jihan pelan di sela-sela keheningan.

"Hm," El menaikkan alisnya.

"Bagaimana jika kaka gak dapat bukti tapi Khansa terus mendesak untuk meminta pertanggung jawaban dari kaka?"

"Apa kaka akan menikahinya?" Sambung Jihan lesu, El tersenyum penuh makna. Ibu jarinya mengusap lembut pipi Jihan.

"Dengar ya.. aku sudah di takdirkan bersama satu bidadari, bagaimana mungkin aku mencari bidadari lain tanpa memperdulikan perasaan bidadariku ini?" Balas El santai diiringi senyuman manisnya. Sementara Jihan sudah setengah mati menutupi rona merah yang tengah menyapanya.

"Lagipula kan ana gak bersalah.." lanjut El sambil melepaskan tangannya yang sempat tertaut di pipi Jihan. El memang suka seperti itu, terkadang menyebut dirinya dengan kata 'aku', dan tak lama lagi berubah dengan sebutan 'ana'. Benar-benar tidak romantis!

"Terus kenapa kemarin kaka pulangnya lama sekali!? Udah gitu muka kaka kusut banget! Kan Jihan jadi takut! Jihan gak suka!" Komen Jihan dengan melingkarkan ke dua lengannya di dada.

"Kan sudah ana bilang.. ana pulangnya agak terlambat, karna ada tugas tambahan. Tentang muka ana kusut ya itu.. karna ana udah capek, ditambah harus membopong Khan__" ucapan El terputus begitu ia melihat wajah Jihan sudah terpasang cemberut.

Black VeilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang