18 - Jalan sama Ayah

134 12 1
                                    

Pagi ini, Hamka berniat mengajak putri satu satunya untuk berjalan jalan. Seperti biasa, tak ada riasan spesial di wajah Jihan. Ia hanya sekedar memakai  sun block untuk melindungi kulitnya dari sinar matahari. Ditambah sedikit bedak baby dan polesan lipbalm agar terlihat lebih fresh. Hari ini ia mengenakan gamis berwarna merah maroon berpadu hitam, dengan pashtan senada. Setelah beberapa menit ia meneliti penampilannya di cermin dan hatinya merasa cocok, barulah ia keluar kamar. Sepasang kaki jenjang yang di baluti gamis hitam maroon itu melangkah keluar dengan senyum yang tercetak lebar.

"Masya Allah.. princess nya ayah cantik bangett." Puji Hamka begitu Jihan memasuki mobil. Jihan hanya membalas dengan senyuman.

"Ngomong-ngomong Jihan mau kemana dulu nih?" Tanya Hamka, pandangannya masih fokus kedepan.

"Lah? Kan ayah yang ngajak Jihan." Balas Jihan dengan mengerucutkan bibirnya.

"Khusus untuk jalan-jalan kali ini, bebass mau kemana aja!" Tutur Hamka dengan wajah antusias.

"Hm, okey.. kita ke tempat wahana aja dulu." Ucap Jihan mengerling jahil.

"Yaudah yok!!" Lanjut Hamka tanpa pikir panjang.

* * *

Disisi lain

"Hai bro! Saya izin mau keluar dulu yah, mau ketemu teman lagi." Ucap Faruq pada Haidar yang tengah sibuk bersiap untuk kerja.

"Tidak perlu izin dengan saya." Balas Haidar acuh tak acuh. Beberapa hari ini memang Faruq sering keluar. Dengan alasan ingin bertemu teman, Haidar dan Faruq pun sudah terlihat sangat akrab. Walau hidup dalam datu naungan atap, tetap saja aktivitas mereka berbeda.

"Yah, sekedar info aja. Siapa tau nanti kau mencariku." Jawab Faruq mengangkat kedua bahunya.

"Yasudah, Assallamu'alaikum." Lanjutnya seraya melenggang pergi.
Selang beberapa menit, Faruq kembali menemui Haidar lagi.

"Kenapa? Pasti mau minjam motor?" Tebak Haidar pada Faruq.

"Hehe.. iya, boleh?" Tanya Faruq dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Hm, ya. Ingat! jangan ngebut ngebut, itu pemberian ayah saya." Peringat Haidar, kini ia sedang memakai pantofelnya.

"Oke siapp!"

* * *

Ckiiiiiittt!

Suara akibat rem mendadak terdengar begitu jelas kala mobil milik hamka nyaris menabrak pengendara motor yang berbelok tanpa melihat situasi.

Wait. Bukannya itu Faruq? Sedang apa dia? Siapa wanita yang sedang di boncengnya itu?

"Yah yah yah, coba sejajarin mobilnya sama motor yang hampir ketabrak tadi deh." Pinta Jihan. Tanpa banyak tanya Hamka menuruti perkataan putrinya.

"Ya Allah, itu beneran kak Faruq." Pekik Jihan kala ia melihat wajah pria yang tidak tertutupi kaca helm itu. Mereka bersampingan. Kini semua kendaraan terhenti, menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Hamka mulai penasaran dengan anaknya yang sedari tadi melihat ke jendela. Rupanya Jihan sedang ingin mencari tahu siapa wanita yang dibawa Faruq. Karna setahu dia. Faruq tidak mempunyai rumah ataupun keluarga di sini. Hatinya ingin menyapa tapi, logikanya berkata lain.

Berbeda dengan Hamka, begitu ia melihat pria yang dimaksud Jihan tadi. Seketika bola matanya melebar. Ia tak percaya dengan fakta ini, bagaimana mungkin anaknya mengenal pria itu?

3

2

1

Bremmmmm...

Kendaraan yang sedang berhenti tadi pun melaju ketika lampu merah telah berganti hijau.

"Jihan," panggil Hamka pelan.

"Eh? Iya?" Respon Jihan dengan mengalihkan pandangan yang semula ke luar jendela kini menatap Hamka dengan perasaan campur aduk.

"Siapa yang kamu lihat?" Tanya Hamka pura-pura tidak tahu.

"Ha? Eh, anu. Gak, Jihan cuma liat pemandangan aja. Hehehe." Dusta Jihan dengan senyuman kaku.

Suasana hening. Jihan tampak sedikit bersalah karena bohong dengan ayahnya. Sedari tadi ia hanya bisa bungkam dengan berbagai pertanyaan.

"Jangan pernah bergaul dengannya. Tidak aman." Ucap ayahnya nyaris tak terdengar. Jihan hanya mengeryit heran. Tak mengerti maksud ayahnya.

* * *

Setelah Hamka dan Jihan menaiki beberapa wahana. Mereka memutuskan untuk pergi mencari makanan di rumah makan terdekat. Keduanya terlihat sangat bahagia. Meski orang yang mereka sayang kini telah tiada.

"Ayah." Panggil Jihan pelan. Sekarang mereka sedang menunggu pesanan.

"Jihan kangen bundaa..." lirih Jihan dengan mata yang sudah dipenuhi bulir air mata.

"Sabar ya sayang, bunda baik baik saja kok disana." Balas sang ayah sambil mengusap lembut puncak kepala Jihan.

"Kenapa bunda jahat? Kenapa bunda tega ninggalin Jihan? Padahal Jihan belum sempat jalan jalan enak seperti ini." Rengek Jihan masih pelan.

"Dede bayi juga gitu. Masa baru lahir langsung tega ninggalin Jihan!" Lanjutnya masih tak peduli dengan tatapan para pengunjung lainnya.

"Huss.. gak boleh ngomong gitu, semua sudah diatur sama Allah. Jihan harus kuat. Semua keputusan Allah adalah yang terbaik." Bujuk Hamka masih dengan senyuman. Tak berapa lama seorang waiters menghampiri mereka dengan beberapa makanan yang sudah mereka pesan.

"Udah, jangan nangis, yuk makan dulu. Cacing-cacing ayah udah berisik nih dari tadi." Kata Hamka sambil memegang perutnya yang sudah tidak sixpack lagi.

Tbc 😘

Jan lupa voment-nya man-teman😘

Part ini sedikit ya? Ohiya jelas dong, karena setiap part emang udah punya porsi masing-masing.😎

Tenang aja kok, masih ada satu part lagi yang mau author publish! Di tunggu oke?

*okedeh😅







Black VeilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang