Hafa berdiri di depan bangsal VIP itu, ruangan dimana pria yang mengalami kecelakaan kemarin dirawat. Telapak tangannya menempel pada pegangan pintu, ragu-ragu. Ia mengintip melalui kaca sempit di pintu yang sama, tidak ada siapa-siapa di sana.
Entah dorongan darimana, kemudian ia mendorong pintu tersebut. Menemukan di sana, seorang pria yang terbaring tenang, dengan ditunjang selang-selang infus di kedua tangannya. Namun bukan itu yang membuat Hafa menghentikan langkahnya di tengah-tengah ruangan. Bukan itu yang membuat kelopak mata bermanik cokelatnya membulat dan hampir tidak bisa dikembalikan ke bentuk semula. Bukan tentang sakitnya, atau semua alat mengerikan itu yang membuat hatinya tiba-tiba saja seperti dihujam benda tumpul melihatnya. Bukan tentang sakitnya, aakn tetapi perasaan familiar yang menyergap.
Pria itu, yang kepalanya dibalut perban, mengingatkannya pada seseorang. Kepala Mumi-nya.
Ia berjalan lebih cepat, memburu. Tangannya terulur ingin menyentuh pria itu, ingin menemukan Kepala Mumi-nya, hingga, akal sehatnya kembali dan menghentikan gerakan tangannya di udara. Gadis itu menggeleng cepat, berusaha mengenyahkan pikirannya. Tidak mungkin kepala mumi yang itu. Tentu saja, semua orang yang menderita luka di kepala akan diperban kepalanya seperti pria ini.
Tapi... kenapa hatinya berdebar? Tapi kenapa ... ada semacam perasaan sesak yang aneh yang membayanginya semakin lama ia menatap pria yang terbaring di sana. Menatapnya... membuat lima belas tahun terasa bukan lagi apa-apa. Membuat Hafa dengan mudah kembali ke masa lalu.
"Kamu... nggak pa-pa?" tanyanya, ragu-ragu. Ia tidak tahu harus bagaimana menyapanya. Sapaan yang hanya dibalas oleh detak jam dinding di ruangan.
Hafa mendongak, menatap lewat jendela akan cuaca di luar. Langit sedang cerah, terik siang menjelang sore masih membekas, Hafa bahkan masih ingat panasnya ketika ia harus bersepeda ke sini di jam istirahatnya. Ia lalu kembali menatap pria mirip Kepala Mumi itu, tanpa sadar meraih satu tangannya. Lelaki itu... ia punya jemari panjang yang kokoh. Hafa menggenggamnya.
"Sekarang enggak lagi hujan, tapi... aku mau tetap berdoa pada peri hujan agar kamu sembuh," lirihnya.
"Kamu harus sembuh, tahu? Kalau kamu mati, aku akan dihantui rasa bersalah seumur hidup. Karena itu... peri hujan harus menyembuhkanmu. Kamu tahu peri hujan? Ini... rahasia, sebenarnya. Hanya aku, dan seorang Kepala Mumi yang tahu. Tapi karena kamu agak mirip Kepala Mumi, kayaknya... aku juga akan cerita sama kamu."
***
Dia datang lagi. Peri hujan. Sekarang aku bisa melihatnya kembali. Dia sudah tumbuh dewasa. Dan cantik. Cantik yang tidak bisa kudefiniskan. Begitu bersinar sampai-sampai aku kesulitan menatapnya.
Ia masih dengan mahkota bunga di kepalanya, gaun selutut berwarna putih yang ringan dan pas di tubuhnya, tanpa sepatu atau alas kaki apapun, bermandikan hujan putih, dan tentu saja, keping matahari pagi yang ia sematkan pada senyumnya. Satu-satunya hal berbeda adalah, ia tidak lagi memakai gelang peri, melainkan arlojiku. Kami menukarnya, dulu. Dan ia benar, kami saling menemukan, pada akhirnya.
Lagi, ia menggenggam tanganku dan aku bisa merasakan kehangatan tangannya. Aku hampir melupakan perasaan nyaman seperti ini, namun sekarang kembali bisa mengingatnya dengan tepat.
"Kamu... harus bangun. Janji?"
Tentu saja aku akan bangun. Apakah peri hujan itu nyata? Apakah ia benar-benar ada di dunia? Apakah saat ini seseorang yang nyata sedang menggenggam tanganku? Aku baru saja terpikir tentang itu dan keinginanku untuk membuka mata menjadi berkali lipat lebih besar. Aku ingin melihatnya.
Tapi jika aku bangun... apakah ia masih akan di sini?
Pelan. Dan sulit sekali. Aku tetap mengarahkan seluruh tenagaku untuk mencoba bangun, mencoba mengembalikan kesadaranku dan membuka mata. Aku ingin melihatnya. Peri hujan itu, sejak lima belas tahun lalu aku sungguh-sungguh ingin sekali melihatnya. Sekali saja.
Aku merasakan sakit berdenyut, perasaan kaku dan dingin, dan rasa lelah yang amat sangat ketika akhirnya aku dapat merasakan lagi tubuhku. Terasa remuk. Aku masih kesulitan membuka mataku. Berharap ia masih di sisiku. Kumohon.
Namun ketika aku berhasil megadaptasikan penglihatanku dengan suasana silau ruangan itu, aku tidak menemukannya. Aku bersusah payah memaksa mataku menatap sekeliling, namun tetap tidak menemukannya. Tidak ada siapapun bersamaku. Peri hujan itu... entah kenapa aku merasakan dia sesaat yang lalu di sini dan sekarang sudah pergi. Jika saja kakiku tidak kebas, aku mungkin sudah berlari mengejarnya.
Dan sekali lagi kesakitan menghantamku.
***
"Tante mau kemana lagi, sih? Enggak bisa gitu, diem tenang di kasur biar cepat sembuh? Biar orang juga enggak capek ngikutin Tante."
Leona tengah berdiri di ambang pintu ruangan yang lain, tempat Ayudya Devara, ibunya Levant dirawat. Sedang mencegah wanita itu untuk lagi-lagi berkeliaran ke kamar Levant dan memperburuk kondisinya sendiri. Ia capek sekali menghadapi kemacetan lalu lintas yang berpotensi membuat dirinya gila itu. Seakrang apa lagi?
"Leona, Tante dengar Levant udah sadar! Tante mau lihat!"
"What? Levant— Ah, aku juga harus lihat!"
***
Seperti biasa. Berhadapan dengan seorang Levant Elenio Devara adalah ajang uji kesabaran bagi Leona. Ini sudah menjadi kali ketiga dirinya coba menyuapkan sesendok bubur ke mulut Levant, namun pria itu masih berkeras tidak mau membuka mulutnya. Dan ia tidak bisa dibujuk dengan cara apapun.
"Hon, kamu beneran nggak mau makan? Yang ada kamu malah tambah sakit terus aku sama tante juga makin khawatir." Ditambah, aku udah capek banget megangin sendok. "Kamu mau mati dan ninggalin aku? Makan, ya?"
Tidak ada tanggapan. Bahkan meskipun Leona berbuih-buih coba mengutarakan alasan masuk akal, Levant tidak mau repot-repot mendengarkan. Pun tidak mau repot-repot menjawab walaupun sebenarnya yang ingin ia katakan adalah "Aku tidak keberatan untuk mati". Ia menoleh pada ibunya dan memasang tampak merajuk yang langka ia tunjukkan.
"Ma, gelang Levant... mana?"
"Gelang?" Leona mengerutkan alis, beralih menatap kepada Ayudya Devara yang nyaris sama bingungnya, sebelum akhirnya wanita itu segera sadar apa yang Levant maksud.
"Oh! Gelang yang dulu kamu bawa kemana-mana itu?"
"Hm."
Gelang perak dengan lima rangkaian semanggi berdaun empat. Gelang yang diberikan peri hujan padanya. Entah kenapa... saat ini ia begitu merindukannya hingga sesak. Ia tidak butuh makan atau apapun, hanya gelang itu.
"Nanti Mama suruh Pak Supir buat bawain gelang itu ke sini. Tapi sekarang kamu makan dulu, ya?"
Levant menghembuskan napas, cukup keras hingga membuat rusuknya sakit. "Gimana caranya makan dengan muka penuh perban begini?" Rasanya, ia ingin melepasnya sekarang juga. Perban tidak hanya menyelimuti kepalanya, namun juga mata sebelah kirinya, hidung, memanjang hingga ke dagu. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. Dan ia tidak bisa menggerakan otot rahangnya tanpa merasa sakit. "Kapan benda sialan ini dilepas?"
"Lusa," semua orang menoleh. Seorang dokter muda dengan nametag 'dr. Evandaru Irawan' sedang berjalan mendekati mereka. Seorang perawat mengikuti di belakang.
"Lusa sepertinya perban itu sudah bisa dilepas dan kamu sudah bisa pulang, Levant," jelasnya sambil tersenyum. Merasa aneh melafalkan nama itu. Levant. Levant yang baru ia ketahui namanya beberapa saat lalu. Levant yang baru ia ingat beberapa waktu lalu. Setelah sekian lama, melewati masa lima belas tahun.
Kita bertemu lagi, Levant Elenio Devara.
***
Jeng! Jeng! Jadi siapakah sebenarnya Pak Dokter itu? uwu
Sampai ketemu di part selanjutnya <3
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Rain [RE-POST]
RomanceTentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa, yang dilempari payung. Gadis yang mempertahankan hidup demi adiknya. Gadis yang mencintai hujan. ...