Jika boleh, ia ingin memeluknya. Erat sekali sampai sesak napas. Melihat gadis itu di hadapannya, kelereng cokelat madu itu menatapnya lugu, diiringi fakta bahwa gadis itulah orang yang selama ini ia cari, membuatnya harus mati-matian menahan diri untuk tetap bersikap normal. Dan adalah hal yang sulit untuk mencoba tersenyum meski sebenarnya ia ingin sekali menangis.
Rasanya ... rindu sekali. Tahukah ia bahwa sekarang Levant sekarat hanya karena menahan diri agar tidak memeluknya seperti orang gila? Dan tidak pernah melepaskan.
"Pak Payung?"
Gadis itu tidak bertanya apa yang sedang Levant lakukan di sana, meski caranya menatap sudah jelas mengatakan semua itu. Mungkin tidak sempat, karena saat bersamaan, Ayres sudah berlari memeluk kakinya, membuatnya tidak mungkin mengabaikan anak itu. Ia berjongkok dan menatap Ayres lurus-lurus.
"Halo, saya tetangga baru kalian. Semoga teteh kamu nggak keberatan ya, bantu tetangga barunya beres-beres?"
"... Apa?!"
Levant mengendik pada tumpukan barangnya. "Banyak yang perlu dipindahin. Dan lantai di dalam masih kotor. Tolong, ya."
***
"Saya lapar."
Hafa mendelik sementara Levant memasang tampang polos yang sebenarnya minta dipukul. Demi Tuhan, Hafa baru saja berhasil menyeka keringat di keningnya setelah membantu mengepel dan menyusun peralatan di kediaman baru Levant. Asal tahu saja, pria itu tidak banyak bekerja, hanya memerintah ini itu tanpa belas kasih. Lalu, dengan seenaknya Levant duduk di sofa yang baru ia dengan susah payah seret, dan meletakkan kaki di atas meja yang taplaknya Hafa pinjami, menatap Hafa seolah gadis itu adalah pembantu rumah tangganya.
"Kamu congek, ya? Saya lapar."
Tahan! Tahan! Jangan mengumpat. Hafa mengelus dada. Namun, setelah beberapa detik, ia sadar bahwa emosinya telah meluap, menekan rasa sabarnya dalam-dalam. Ia melepaskan kain lap dan semprotan pembersih yang ia gunakan untuk membersihkan kaca jendela Levant, lalu bersedekap.
"Terus? Bapak mau lapar, kek, mau konser, kek, atau mau naik haji, terserah. Bukan urusan saya."
"Maksud saya, kamu 'kan bisa masak sesuatu. Kalau saya mati kelaparan di sini, itu tanggung jawab kamu."
Ia tahu gadis itu akan marah. Melihat caranya menghembuskan napas dan mulai membanting semprotan pembersih kaca, ia tahu hal itu mungkin terjadi dalam hitungan detik. Dan Levant harus menahan senyum tetap terkulum di bibirnya, menahan dirinya agar tidak tergelak. Kemarahan gadis itu, baginya merupakan hiburan tersendiri yang pasti akan menyenangkan. Levant sudah mempersiapkan diri untuk itu. Kupingnya akan digempur teriakan dalam ... Tiga ... dua ...
"Teu eucreug sia, teh! Saya pelintir, nyaho sia!"
Subtitle tidak ditemukan. Levant hanya dapat tersenyum ketika gadis itu keluar dengan menghentak-hentakkan kaki. Tidak lama, ia kembali, nyaris menghempaskan semangkuk mi instan kuah ditambah nasi dan telur mata sapi di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Rain [RE-POST]
RomanceTentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa, yang dilempari payung. Gadis yang mempertahankan hidup demi adiknya. Gadis yang mencintai hujan. ...