Siap untuk galau?
***
"Maaf, tapi kamu akan mati sebentar lagi."
Levant mengangguk, lantas melangkah keluar dari ruang pemeriksaan. Seketika, ia disambung hujan di pelataran rumah sakit. Ia melangkah dalam diam, menyusuri hujan, entah seberapa lama. Hingga, ia melihat gadis itu lagi di halte bus.
Hafa menoleh padanya, tersenyum.
"Saya mau bercerita tentang dongeng hujan..."
Tidak. Ia tidak menginginkan ini. Levant melangkah mundur, membiarkan hujan mengepungnya. Ia ingin kabur. Ia ingin... Ia berharap semua ini hanya mimpi.
Terdengar bunyi gorden ditarik, cukup mengganggu, namun Levant berusaha mengabaikannya. Barulah ketika cahaya matahari yang melimpah menembus jendela kaca besar yang menjajari dinding dan memantul hingga persis ke wajahnya, Levant membuat gerutuan karena terusik. Ia segera duduk dan bangun, berniat menyumpah pada siapa saja yang lancang membangunkannya dengan cara semengerikan itu—dan memecatnya—saat melihat siapa yang berdiri di belakang jendela. Wanita itu bertubuh langsing, tinggi sedang, dan berambut pendek sebahu. Ia terlihat mengenakan daster payet dengan warna biru kesukaannya dan menatap Levant, tersenyum.
"Ma?" Levant mengusap sisa kantuk dari matanya. "Tumben, ada apa pagi-pagi bangunin Levant?"
Ayudya berdecak, ia menghampiri Levant sambil berkacak pinggang dan dagunya menunjuk jam yang tergantung di atas layar televisi LED yang menempel ke dinding. Jarum pendeknya menunjukkan sekitar pukul sembilan sementara jarum panjang menunjuk angka dua.
"Sudah jam berapa ini? Kamu ngapain semalam sampai para asisten rumah tangga aja menyerah membangunkanmu, hm? Kamu sudah telat banget ke kantor, Levant. Ayah kamu udah berangkat dua jam yang lalu."
Itu tadi ... hanya mimpi, kan? Tentang umurnya yang divonis tidak lama lagi. Tentang Peri Hujannya. Itu ... hanya mimpi buruk, kan?
Dengan malas-malasan Levant bangkit duduk, menyentuhkan kaki telanjangnya pada ubin yang terasa dingin sebelum mencelupkannya pada sandal rumah. Meski limbung, ia memaksakan dirinya yang setengah bangun untuk menuju kamar mandi sementara Ayudya merapikan kasurnya. Mulanya ia merasa baik-baik saja. Ia merasa bisa tersenyum pagi itu hanya karena ia masih bangun, masih sebagai seorang Levant, masih harus bekerja, dan masih melihat ibunya. Mulanya semua terasa seperti semua yang terjadi hanyalah mimpi, sampai ketika sebelah kakinya melewati ambang pintu kamar mandi, tempat wangi uap air panas bercampur wangi lavender mengembang di udara, ia tidak bisa merasakan mereka. Karena saat itu juga sakit kepala itu kembali. Sakit yang parah. Sakit mengerikan yang memaksanya mencengkeram erat dinding agar dirinya tidak jatuh dan menarik perhatian ibunya. Sebisa mungkin ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, mencegah dirinya sendiri berteriak kesakitan. Ayudya ada di sana. Ibunya ada di sana dan wanita itu tidak boleh tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Rain [RE-POST]
RomanceTentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa, yang dilempari payung. Gadis yang mempertahankan hidup demi adiknya. Gadis yang mencintai hujan. ...