20. A Ride

9.9K 1.7K 149
                                    

Yang semangat ya, vote dan komennya ^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang semangat ya, vote dan komennya ^^

***

"Temui."

"Jangan."

"Temui."

"Jangan."

"Temui....," Leona menghentikan hitungannya tatkala jemarinya menyentuh kelopak mawar terakhir dari berbatang-batang mawar yang telah ia cabuti sejak tadi. Hanya tersisa satu kelopak, dan itu artinya... "Jangan."

Dengan kesal, ia melempar batang mawar itu ke atas meja rias dan mengacak rambut. "Haaah! Rasanya aku akan gila kalau nggak ketemu di brengsek itu!"

Leona menatap pantulan dirinya di cermin, mengabaikan rambutnya yang sekarang kembali berantakan meskipun barusaja ditata dengan begitu apik. Ia tahu perbuatannya ini hanya akan membuat penata riasnya menyumpah, tapi siapa peduli, ia memang dibayar untuk itu. Gadis itu membenturkan kepalanya ke meja, membuat wajahnya tenggelam oleh helai rambutnya sendiri dan tidak berniat mengangkatnya kembali. Benar apa yang ia katakan, ia seperti hampir gila.

Aiden yang saat itu sedang melakukan perawatan mendalam pada kamera tercintanya meringis. Ini bukan pertama kali ia berhadapan dengan Leona yang sedang kacau hanya karena seorang Levant. Bukan pertama kali ia mendapat getah atas apapun yang si Levant-Levant itu lakukan terhadap Leona Karlesha Bekker-nya. Tetap saja, ia kesulitan membiarkan Leona yang seperti itu, yang biasanya akan berakhir dengan ia mengorbankan diri untuk menjadi korban pelampiasan Leona. Entah itu dijambak, dipukul, atau disemprot dengan kata-kata mengerikan. Ia sudah memiliki sistem imun tersendiri untuk itu. Dan sepertinya pula, hari ini ia harus mempersiapkan banyak obat kebal. Leona tampak terlalu suntuk untuk diganggu.

Tanpa membuat suara gaduh, pria itu pergi ke pantri kecil di belakang studio. Ketika ia kembali, secangkir kopi vanilla panas di tangannya. Ia meletakkannya di meja yang sama tempat dimana gadis itu masih mengubur wajah. Aroma vanilla latte kesukaannya tidak lantas membuat gadis itu berselera, pertanda moodnya benar-benar dalam titik terendah.

"Nana," Aiden mengetuk ubun-ubun gadis itu. "Nana bodoh! Kalau kamu kangen sama dia, temui aja, apa susahnya? Jangan uring-uringan kayak gini dan menakuti semua orang, hm? Berhenti menyiksa diri. Apa perlu aku yang telepon dia bilang kalau kamu kangen?"

Berkat kata-kata ajaib Aiden barusan, atau berkat kopi yang baru memberikan efeknya sekarang, Leona mendongak, pandangannya langsung tertuju pada Aiden. Ia menatap pria itu baik-baik seakan menatap sesuatu yang baru.

"Apa kamu Aiden asli?"

Aiden berdecak dan mengacak-acak rambut Leona. Jika penata rias melihat ini, dia bisa terkena stroke. "Emangnya siapa lagi yang tahan berada di dekatmu dalam keadaan kayak gini selain aku?"

Leona masih menatapnya, tidak mengindahkahkan apapun yang Aiden ucapkan. "Terus kenapa kamu nyuruh aku menemui Levant?"

Mata berlensa abu-abu milik gadis itu semakin intens memerangkap iris cokelat gelap Aiden yang selalu bersinar seperti mata anak kecil. Memaksa pria itu untuk salah tingkah, terutama setelah Leona menyipitkan matanya.

The Tale of Rain [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang