Sewaktu kecil, Levant permah bermimpi akan datang hari seperti hari ini. Mimpi yang kian terkikis seiring bertambahkan usia, bertambahnya kesadaran akan realita. Bahwa ... keinginan naifnya itu tidak lebih dari angan-angan, tidak akan pernah dapat ia wujudkan. Namun tiba-tiba saja, mimpi itu sekarang berada di depan mata.
"A! Awas A!"
Levant mengerjap, namun terlambat baginya untuk menghindar, bola yang ditendang Ayres telah terlempar tepat mengenai kepalanya yang tidak siap. Levant memegangi kepalanya yang berdenyut, lalu menggeleng mengibaskan rambutnya dari debu dan rumput yang menempel pada bola ke rambutnya.
Ternyata ini bukan mimpi.
Dan karenanya, ia terkekeh. Ayres segera berlari ke hadapannya. "Maap, A. Ayes nggak sengaja!"
Dengan senyum kecil yang tersungging di sudut bibirnya, Levant berjongkok di hadapan Ayres, menyejajarkan pandang. Tangannya kemudian terulur untuk mengacak rambut anak laki-laki itu. "Tadi itu keren! Kamu mau jadi pembalap atau jadi pemain bola, sebenarnya?"
"Pengen jadi dua-duanya!" sahut Ayres bersemangat. Kemudian, seolah punya pemikiran kedua, ia menggeleng. "Tapi Ayes pengen jadi presiden juga! Atau bos kayak A Levant!"
Levant berdecak. Ia merasa seakan bercermin pada dirinya dua puluh tahun silam. Terlalu banyak keinginan, harapan, sebelum ia tahu bahwa hidup bukanlah tentang bermain bola sampai petang, atau bersepeda sampai lupa makan. Jika semua bayi tahu bahwa hidup dan menjadi dewasa akan seberat ini, pasti tidak ada di antaranya yang setuju untuk dilahirkan.
"Hidup itu sebentar," ujarnya, menepuk kepala Ayres dengan pelan. "Dibandingkan jadi presiden, atau CEO, atau pemain bola, jadi orang baik yang menikmati hidupnya akan jauh lebih menyenangkan."
"Aa kayak gitu?"
"Menikmati hidup? Hari-hari sekarang..., ya."
"Yes~ Ayes! Sini bentar!"
Lima detik berlalu. Sepuluh. Lima belas. Hafa kemudian muncul di pintu dengan spatula di tangan. Langkahnya tergopoh dan matanya dipicingkan. Benar-benar pemandangan yang menyeramkan. "AYES! TETEH PANGGIL-PANGGIL. DENGER, NGGAK?!"
Keduanya menoleh pada Hafa, kemudian bertukar pandang. Dengan cepat, Ayres berusaha bersembunyi di balik punggung Levant sementara Levant sendiri berusaha sebaliknya. Sehingga, keduanya saling dorong.
"Ayes! Pak Payung!"
"Apa sih, Teh. Marah-marah terus." Akhirnya, Ayres yang maju.
Meletakkan satu tangan di pinggang, Hafa meneruskan omelan. "Kamu dari tadi dipanggil nggak nyahut. Main bola terus." Matanya kemudian beralih pada Levant, memelototinya, karena ... siapa lagi yang dapat disalahkan?
Ayres memang senang bermain bola, tapi ia tidak punya bola ataupun teman untuk diajak bermain selain Nasya. Tetapi Levant dengan sok pahlawannya membelikan bola tersebut, membuat Ayres mereka bermain hingga lupa diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Rain [RE-POST]
RomanceTentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa, yang dilempari payung. Gadis yang mempertahankan hidup demi adiknya. Gadis yang mencintai hujan. ...